SKT Disalahgunakan untuk Hambat Akses Informasi
Berita

SKT Disalahgunakan untuk Hambat Akses Informasi

Peraturan Komisi Informasi dianggap sebagai salah satu penyebabnya.

ADY
Bacaan 2 Menit
Komisi Informasi Pusat. Foto: Sgp
Komisi Informasi Pusat. Foto: Sgp
Organisasi masyarakat sipil mencium indikasi penyalahgunaan syarat Surat Keterangan Terdaftar (SKT) untuk menghambat akses informasi di daerah. SKT adalah syarat yang diatur dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Syarat ini sebenarnya tak berhubungan langsung dengan rezim keterbukaan informasi yang diatur UU No. 14 Tahun 2008.

Tetapi di beberapa daerah SKT justru dijadikan amunisi untuk menghambat akses informasi. Pengalaman Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumatera Utara dan Banten terhambat mengakses informasi gara-gara SKT bisa dijadikan contoh. Hal yang sama terjadi di Mesuji, Lampung dan Kapus Hulu, Kalimantan Barat. Di kedua daerah ini, lembaga swadaya masyarakat dipersulit mendapatkan informasi kalau tak mengantongi SKT dari kantor Kesbangpol setempat.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri, mengecam penyimpangan SKT untuk menghambat akses informasi. Ia menegaskan, sesuai  Pasal 15 UU Ormas, ormas yang sudah terdaftar sebagai bagan hukum tidak perlu memiliki SKT. Masalahnya, ada celah pada Pasal 16 UU Ormas. Pasal 16 menyebutkan ‘pendaftaran ormas yang tidak berbadan hukum dilakukan dengan pemberian surat keterangan terdaftar’.Namun Ronald menegaskan tidak ada frasa yang menyaratkan pendaftaran ke Kesbangpol agar dapat status badan hukum. Celah inilah yang ditafsirkan secara berbeda.  Jika ada LSM yang meminta informasi, Badan Publik meminta bukti SKT.

“Itu celah yang ada dalam UU Ormas. Padahal ketentuan pendaftaran dalam UU Ormas itu tidak jelas apakah pendaftaran itu sifatnya perintah, kewajiban atau sukarela,” kata anggota Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) itu dalam diskusi yang digelar Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) di Jakarta, Selasa (21/10).

Ronald menilai kewajiban registrasi tersebut berdampak pada pelanggaran hak atas akses informasi publik bagi organisasi masyarakat sipil. Ia berharap persoalan itu dapat dibenahi pemerintah baru. Apalagi, visi-misi Joko Widodo dan Jusuf Kalla salah satunya mau menghapus peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan tidak selaras dengan HAM, termasuk keterbukaan publik.

Bagi Ronald, komitmen terhadap visi-misi itu dapat dibuktikan Jokowi-JK diantaranya dengan menghapus RPP tentang implementasi UU Ormas. Ia mendapat informasi RPP itu sudah sampai di Kementerian Hukum dan HAM untuk diharmonisasi.

Perki
Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP), John Fresly Hutahaean, mengakui ada persoalan dalam peraturan yang diterbitkan Komisi Informasi dan berkaitan dengan implementasi UU Ormas. Pasal 11 Peraturan Komisi Informasi (Perki) No. 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik menyaratkan ada kelengkapan administratif yang harus dipenuhi sebagai pemohon.

Jika pemohon selaku warga negara Indonesia maka harus dibuktikan lewat fotokopi kartu identitas seperti KTP. Sedangkan pemohon berbadan hukum harus membuktikan kapasitasnya lewat akta notaris atau pengesahan. Praktiknya, ketentuan itu kerap dikaitkan dengan Pasal 16 UU Ormas. Sehingga, muncul tafsir badan hukum bisa menjadi pemohon harus mengantongi SKT terlebih dulu.

Sampai saat ini, John mengatakan Komisi Informasi berupaya untuk memperbaiki masalah tersebut diantaranya akan merevisi Perki No.1 Tahun 2013 itu. Sebagai langkah awal, John mengatakan Komisi Informasi akan menerbitkan Surat Edaran yang ditujukan kepada Komisi Informasi di daerah. Dengan Surat Edaran itu diharapkan dapat mencegah penolakan permohonan penyelesaian sengketa informasi oleh badan hukum karena tafsir Pasal 16 UU Ormas.

“Kami sedang memperbaiki itu dan langkah awal yang bakal ditempuh adalah menerbitkan Surat Edaran Kepada Komisi Informasi di daerah,” ujar John.

Pada dasarnya John menilai tidak ada korelasi antara Pasal 16 UU Ormas dengan Pasal 11 Perki No. 1 Tahun 2013. Jika ada komisi informasi di daerah yang menolak permohonan karena badan hukum yang bersangkutan tidak mengantongi SKT maka dapat dikategorikan pelanggaran etik.
Tags:

Berita Terkait