Mantan Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) itu menilai, pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi pun terjadi dalam penyusunan UU yang mengabaikan prosedur dan partisipasi publik yang berarti. Kondisi tersebut semakin menimbulkan keresahan masyarakat luas, khususnya dari kalangan akademisi perguruan tinggi.
Setidaknya terdapat enam maklumat yang disampaikan STH Indonesia Jentera atas keprihatinan tersebut. Pertama, desakan agar Jokowi menghentikan praktik negara yang serampangan dan melaksanakan kewajiban hukum sebagai kepala negara dan pemerintahan untuk menjunjung tinggi hukum, etika dan konstitusi.
Kedua, mendesak Jokowi dan seluruh elemen pemerintah pusat, daerah dan desa berhenti menggunakan jabatan, fasilitas, birokrasi dan anggaran negara termasuk kebijakan administrasi pemerintah demi kepentingan politik elektoral. Ketiga, mendesak para pejabat negara dalam Kabinet Indonesia Maju Jilid II dan aparat pemerintahan yang menjadi bagian tim pemenangan agar mundur dari jabatannya.
Keempat, mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk berani berkomitmen dan tanpa diskriminasi menindak pelanggar hukum pemilu dan mengintensifkan pengawasan berkenaan potensi penyalahgunaan kewenangan dan anggaran negara. Kelima, mendesak DPR menggunakan hak interplasi dan angket untuk menginvestigasi intervensi Jokowi dalam Pemilu 2024.
Keenam, mendesak seluruh elemen pemerintah dan aparat penegak hukum menghentikan intimidasi terhadap sivitas akademika dan masyarakat sipil yang menyampaikan pendapat serta kegelisahaannya terhadap situasi saat ini.
Wakil Ketua STH Indonesia Jentera Bidang Pengabdian Masyarakat, Asfinawati menambahkan, kritik terhadap pemerintah yang menyalahgunakan kewenangannya demi memenangi Pemilu 2024 ini merupakan bentuk keresahan dunia akademisi. Dia menyampaikan Indonesia seharusnya dijalankan dengan prinsip rule of law bukan rule by law.
“Penguasa seharusnya berpihak pada rakyat dan tidak semena-mena,” pungkas mantan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu.