Sistem Proporsional Terbuka Sesuai Keinginan Masyarakat dan Parpol
Terbaru

Sistem Proporsional Terbuka Sesuai Keinginan Masyarakat dan Parpol

Mayoritas fraksi partai di parlemen meminta MK konsisten dengan putusan MK No.22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008 dengan mempertahankan Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Adanya upaya mengubah sistem kepemiluan dari sistem proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup menjadi dinamika dalam berdemokrasi. Tapi, sistem proporsional terbuka sejatinya telah menjadi harapan masyarakat dan partai politik yang tercermin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008 silam. Karenanya, penerapannya telah berlangsung sejak Pemilu 2009 dan Pemilu 2019.

“Mayoritas partai politik masih menginginkan sistem proporsionalitas terbuka. Begitu juga masyarakat banyak yang mengharapkan agar Pemilu 2024 tetap dilaksanakan dengan sistem yang sama dengan tiga kali pemilu sebelumnya,” ujar Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) Saleh Partaonan Daulay melalui keterangannya kepada Hukumonline, Selasa (3/1/2023).

Baginya, pendapat dan aspirasi publik dan partai politik perlu didengar sembilan hakim konstitusi ketika menguji materi Pasal 168 ayat (2) UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan 6 pemohon. Seperti Deman Brian Wicaksono (pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto dan Nono Marijono.

Sejatinya, kata anggota Komisi IX DPR itu, pemilu sebagai hajatan besar pesta demokrasi menjadi milik masyarakat. Sementara pesertanya notabene anggota masyarakat yang tergabung dalam organisasi bersama parpol. Karena itu, semestinya penyelenggaraanya sesuai dengan harapan mayoritas masyarakat. Dalam sistem proporsional terbuka, partisipasi politik masyarakat dipastikan lebih luas cakupannya.

Namun begitu, Saleh mengakui sistem proporsionalitas terbuka boleh jadi tidaklah sempurna. Tapi tidak berarti sistem proporsional terbuka diubah dengan yang jauh tidak sempurna. Padahal ketidaksempurnaan semestinya dilengkapi dan diperbaiki. “Katanya, sistem proporsional terbuka akan membuka peluang money politic. Jika itu benar, bukan berarti sistemnya yang salah. Tetapi, instrumen pengawasan dan penegakan hukum yang perlu ditingkatkan,” kata dia.

Menurutnya, penyelenggara Pemilu sudah lengkap dengan adanya KPU dan Bawaslu termasuk jejaringnya hingga tingkat tempat pemilihan sementara. Selain itu, pengawasan dalam pelaksanaan pemilu tidak dilakukan sendiri oleh Bawaslu. Tapi bekerja sama dengan aparat penegak hukum maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemantau pemilu.

Mantan Ketua Umum Pemuda Muhamadiyah itu menilai praktik politik uang sejatinya tak hanya terjadi pada sistem proporsional terbuka, tapi juga sistem proporsional tertutup pun amat dimungkinkan terjadi praktik politik uang. Termasuk terjadi di lingkaran parpol dan masyarakat. Intinya, sepanjang semua pihak memiliki kesadaran politik, praktik politik uang dapat dihindarkan.

“Itu yang harus terus disosialisasikan di tengah masyarakat. Sebab, seberapa banyak uang yang dimiliki caleg, jika masyarakat tidak mau, tetap saja tidak akan mampu membayar suara rakyat, apalagi didukung dengan pengawasan yang baik,” tukasnya.

Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi berharap betul agar Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem prorporsional terbuka sebagai bentuk dari kemajuan berdemokrasi. Sebaliknya bila menerapkan proprosional tertutup, demokrasi yang telah berjalan bakal mengalami kemunduran, serta tidak mewakili aspirasi rakyat yang mengusung keterwakilannya di daerah pemilihan.

Baginya sistem proporsional terbuka banyak memiliki kelebihan terhadap calon anggota legislatif untuk dapat bertatap muka, serta melakukan interaksi dengan masyarakat pemilihnya. Interaksi tersebut setidaknya caleg dapat mendengar keluh kesah kehidupan masyarakat. Keberadaan partai politik dan anggota dewan terpilih dapat diketahui pemilihnya dan dikontrol oleh publik secara luas.

“Hal tersebut bakal menjadi motivasi untuk partai dan anggota legislatif terpilih dalam bekerja. Jika proporsional tertutup diberlakukan, belum tebtu rakyat di daerah pemilihannya mengetahui siapa anggota dewan yang terpilih untuk keterwakilannya di daerah pemilihannya,” imbuhnya.

Politisi Partai Golkar itu menyesalkan pernyataan Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang menyatakan kemungkinan sistem Pemilu 2024 bakal menggunakan sistem proporsional tertutup. Padahal, KPU semestinya melakukan komunikasi dengan DPR terlebih dahulu, bukan malah mengumbar pernyataan ke publik tanpa mempertimbangkan dampaknya memunculkan kegaduhan di masyarakat.

“KPU terkesan memiliki kewenangan penuh untuk menentukan pemilu dan tidak lagi mendengar DPR. Ini menjadi hal aneh dan merusak sistem ketatanegaraan,” imbuhnya.

Pernyataan sikap bersama delapan partai

Sementara terdapat pernyataan sikap bersama oleh delapan fraksi partai yang memiliki kursi di parlemen yakni Fraksi Partai Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, PKS, Demokrat, PAN, dan PPP. Sementara fraksi partai penguasa, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tidak ambil bagian. Sebab, salah satu pemohon uji materi Pasal 168 ayat (2) UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu adalah kader partai berlambang banteng merah itu.

Dalam pernyataan bersama yang diterima Hukumonline disebutkan Indonesia telah melaksanakan Pemilu sebanyak 5 kali sepanjang masa reformasi. Selama itu pula negara terus menyempurnakan sistem pemilu yang terus mendekatkan rakyat dengan pilihan orisinalitasnya. Indonesia termasuk negara yang menganut sistem Pemilihan langsung, terutama dalam Pemilihan Presiden dan Kepala Daerah. Begitu pula dalam pemilihan legislatif, yang semuanya diatur dalam UUD 1945.

“Itulah juga yang menjadi dasar saat MK mengeluarkan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008. Sejak itu, rakyat diberi kesempatan untuk bisa mengenal, memilih, dan menetapkan wakil mereka secara langsung orang per orang. Tidak lagi tertutup, tidak lagi menyerahkan sepenuhnya hanya melalui kewenangan partai politik semata,” demikian mengutip dari siaran pers bersama 8 partai parlemen.

Setidaknya rakyat telah terbiasa berpartisipasi dengan cara berdemokrasi. Karena itulah, kemajuan berdemokrasi perlu terus dipertahankan, dan tidak membiarkan kembali mundur dengan sistem proporsional tertutup. Atas dasar itulah kedelapan fraksi partai di parlemen secara bersama-sama menyatakan sikap.

“Kami meminta Mahkamah Konstitusi untuk tetap konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008 dengan mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU No.7 tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia.”

Tags:

Berita Terkait