Sistem OSS RBA Telah Terbitkan Lebih dari 200 Ribu Nomor Induk Berusaha
Terbaru

Sistem OSS RBA Telah Terbitkan Lebih dari 200 Ribu Nomor Induk Berusaha

Sistem OSS Berbasis Risiko sudah mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejak diluncurkan pada awal Agustus lalu.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Sejak secara resmi diluncurkan oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada Agustus lalu, Sistem Online Single Submission Berbasis Risiko (OSS RBA) telah menerbitkan lebih dari 200 ribu Nomor Induk Berusaha (NIB) yang sebagian besar adalah usaha mikro dan kecil (UMK).

Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui Sistem OSS ini merupakan bagian dari agenda reformasi struktural yang dilakukan pemerintah sebagai amanat dari Undang-Undang (UU) No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Sesuai dengan arahan Bapak Presiden pada saat peluncuran Sistem OSS Berbasis Risiko pada 9 Agustus yang lalu, sistem ini harus memberikan kemudahan kepada pelaku usaha, khususnya Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Dan data memang menunjukkan bahwa 98,8 persen NIB yang diterbitkan adalah pelaku UMK,” ujar Juru Bicara Kementerian Investasi/BKPM, Tina Talisa dalam keterengan resmi.

Total penerbitan NIB selama periode 4 Agustus hingga 18 September 2021 pukul 07.30 WIB adalah sebanyak 205.373. Jumlah ini terdiri dari usaha perseorangan sebanyak 187.435 dan badan usaha sebanyak 17.938. Rekor penerbitan NIB harian terjadi pada Jumat (10/09/2021) sejumlah 13.737. (Baca: Pelaku Usaha Temukan Sejumlah Kendala Saat Mengurus Izin di OSS Berbasis Risiko)

OSS Berbasis Risiko ini merupakan implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang merupakan aturan pelaksana UU Cipta Kerja. Aturan pelaksana lain yaitu PP Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, Pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

Di dalamnya mengatur kemudahan bagi pelaku UMK dengan tingkat risiko rendah yang mendapat keistimewaan berupa perizinan tunggal, yakni NIB berfungsi tidak hanya sebagai identitas dan legalitas, namun juga mencakup Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Sertifikasi Jaminan Produk Halal (SJPH) bagi produk yang wajib halal dan/atau SNI.

Pada periode 4 Agustus hingga 18 September 2021, jumlah perizinan tunggal yang telah diterbitkan sebanyak 93.859 NIB. Lima besar Bidang Usaha/KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) perizinan tunggal yaitu Perdagangan Eceran Berbagai Macam Barang yang Utamanya Makanan, Minuman atau Tembakau Bukan di Minimarket/Supermarket/Hypermarket (Tradisional)/47112 (22.708 proyek), Perdagangan Eceran Makanan Lainnya/47249 (10.802 proyek), Rumah/Warung Makan/56102 (8.757 proyek), Kedai Makanan/56103 (6.381 proyek) dan Perdagangan Eceran Berbagai Macam Barang Utamanya Bukan Makanan, Minuman atau Tembakau (Barang-barang Kelontong) Bukan di Toserba (Department Store)/47192 (3.471 proyek).

Seperti disampaikan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia saat peluncuran, Sistem OSS Berbasis Risiko saat ini dalam tahap 80 persen dari seluruh fitur dan fungsi yang harus disediakan. Proses perbaikan dan pengembangan dilakukan hingga akhir tahun ini. Tina Talisa menyampaikan, saat ini integrasi sistem dengan kementerian/lembaga terus dipercepat dan disempurnakan.

“Sejalan dengan itu, komunikasi dan edukasi kepada pelaku usaha dan pemerintah daerah juga menjadi bagian penting yang perlu ditingkatkan. Semua masukan, pertanyaan, dan saran dari berbagai pihak, terutama pelaku usaha sangat bermakna bagi perbaikan dan pengembangan sistem,” pungkas Tina Talisa.

Konsultan Easybiz Febrina Artinelli mengakui bahwa saat ini sistem OSS Berbasis Risiko sudah mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejak diluncurkan pada awal Agustus lalu. Saat ini sistem OSS RBA sudah terintegrasi dengan AHU sehingga mempermudah penarikan data.

“Kalau dulu awal-awal login saja masih sulit karena ada kendala. Ternyata memang awal-awal sistem OSS RBA belum berkembang sepenuhnya, jadi pada Agustus lalu BPKM melakukan pengembangan setiap hari dan setiap waktu ada perubahan. Awal-awal dulu kita login pakai OSS yang lama enggak bisa karena belum terintagrasi dengan sistem AHU,” kata Febri kepada Hukumonline, Kamis (23/9).

Meski demikian Febri menegaskan bahwa penarikan data AHU pada sistem OSS Berbasis Risiko belum dilakukan sepenuhnya dan masih dalam proses pengembangan. Hanya data-data terkait NIB yang sudah berlaku efeketif di OSS 1.1 yang bisa ditarik ke OSS Berbasis Risiko. Untuk NIB yang belum dinyatakan efektif dalam OSS 1.1, harus melakukan pengurusan ulang di OSS RBA.

Terkait dari sisi peningkatan minat masyarakat untuk menggunakan OSS Berbasis Risiko, Febri mengaku belum melakukan pengecekan data. Namun sejauh ini terjadi peningkatan untuk pengurusan perubahan KBLI 2017 ke 2020, sekaligus melakukan perubahan pemegang saham.

“Tambahannya untuk yang 358 KBLI sudah ditentukan kewenangan kementeriannya, tapi untuk alur proses permohonan, persyaratan serta kewajiban sertifikat standar dan izinnya belum masuk ke Permen masing-masing sektor,” pungkasnya.

Sebelumnya, pelaku usaha mengaku menemukan sejumlah kendala dalam proses mengurus perizinan lewat OSS Berbasis Risiko. Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sutrisno Iwantono, menyatakan bahwa pelaku usaha menemukan kendala saat mengurus perizinan melalui OSS Berbasis Risiko. Salah satunya adalah untuk bidang usaha pengelolaan air yang saat ini harus diurus melalui OSS. Surat Izin Pengelolaan Air (SIPA) yang wajib diurus oleh pelaku usaha tidak ditemukan dalam OSS.

“Kenyataannya tidak seindah itu. Contoh mengurs SIPA di Pemda, tetapi wajib ke OSS dulu. Ketika di OSS belum ada aplikasinya, seingga macet pengurusan izin itu,” kata Iwantono kepada Hukumonline, Selasa (31/8) lalu.

Iwantono juga mengeluhkan aturan untuk UMKM. Pasalnya, dengan OSS Berbasis Risiko usaha UMKM yang sudah berdiri dalam bentuk badan hukum CV, UD dan sejenisnya harus melakukan perubahan akte. Dengan skala usaha mikro dan kecil, mengurus perubahan akta ke notaris disertai sejumlah biaya dinilai cukup memberatkan.

“Untuk usaha yang sebelum tahun 2018 usaha kecil bentuk CV UD seperti itu, itu kan dulu disahkannya di pengadilan. Nah sekarang itu diwajibkan untuk punya no pengesahan di AHU. Kalau sepetrti itu harus melakukan perubahan akte supaya sesuai dengan KBLI, dan mengurus akta itu ke notaris biayanya Rp5-7 juta. Enggak mampu usaha kecil melakukan itu,” imbuhnya.

Atas dasar itu, Iwantono meminta pemerintah untuk memperhatikan kendala-kendala dalam penerapan OSS. Iwantono juga mengaku telah menyampaikan keluhan tersebut secara pribadi kepada pemerintah, namun belum ada respon dari pemerintah hingga saat ini.

“Sekarang mau mengganti email saja susah akibat dari itu, jadi OSS itu masih banyak mengandung masalah, ini yang harus diperhatikan. Secara pribadi sudah saya sampaikan keluhan itu tapi belum ada respons, kasian UMKM. Kasih kemudahan untuk UMKM, jangan seperti ini. Ini harus segera diperbaiki kalau tidak segera akan banyak UKM yang tidak menjalankan bisnis dan berusaha,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait