Sinergi dan Koordinasi Berujung Supervisi
OTT Oknum Jaksa:

Sinergi dan Koordinasi Berujung Supervisi

Pelimpahan perkara OTT Jaksa Kejati bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif (tengah). Foto: RES
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif (tengah). Foto: RES

Sinergi antar lembaga penegak hukum dalam menangani suatu tindak pidana memang sangat diperlukan, sebab selain bisa menjaga baik hubungan antar lembaga, sinergi terkadang diperlukan untuk memudahkan mengungkap perkara. Dalam kasus tindak pidana korupsi misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang kerap melibatkan lembaga lain untuk mendukung kinerjanya.

 

Contoh mudah apabila melakukan penggeledahan, penyidik KPK kerap kali meminta bantuan aparat kepolisian untuk melakukan pengawalan. Begitu juga bila melakukan pemeriksaan saksi di daerah, KPK seringkali meminjam kantor kepolisian untuk menggali keterangan para saksi yang dipanggil untuk melengkapi berkas perkara.

 

Sama halnya dengan kejaksaan, KPK juga sering kali melakukan sinergi dengan melakukan supervisi atau memfasilitasi dalam kasus tindak pidana korupsi. Seperti pada perkara korupsi dana Perusahaan daerah Konawe Selatan Tahun Anggaran 2012-2013 untuk kegiatan sewa alat berat. Kasus ini sudah disupervisi sejak 2018 lalu.

 

Tetapi sinergitas antar lembaga ini jangan juga salah kaprah. Seperti yang terjadi dalam dugaan korupsi yang melibatkan jaksa pada Kejati DKI Jakarta. Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung, Jan S Maringka, terang-terangan meminta KPK untuk memberikan kesempatan kepada Kejagung untuk menangani pengembangan kasus dugaan suap yang menjerat Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Agus Winoto. Agus merupakan salah satu tersangka dalam perkara ini.

 

Menurut Jan, hal ini bagian dari sinergitas antarlembaga dalam penanganan kasus korupsi. “Berikanlah kesempatan kepada kami untuk mengajukan melakukan sinergitas dalam penanganan perkara. Tadi sudah disampaikan beberapa tersangka, dan kemudian yang dikatakan kemarin OTT berikut dan dan barang buktinya akan diserahkan kepada kami termasuk dengan pihak-pihak terkait lain untuk dilakukan penangananan perkara selanjutnya," kata Jan saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (29/6).

 

Sementara Laode M Syarif mengaku yakin Kejaksaan Agung akan memproses secara profesional dua jaksa yang ikut terjaring tangkap tangan yaitu Kepala Subseksi Kejati DKI, Yadi Herdianto dan Kepala Seksi Kamnegtibum TPUL Kejati DKI Yuniar Sinar Pamungkas. Bahkan pihaknya telah memberikan sebagian barang bukti kepada kejaksaan.

 

“Jadi suudzon boleh, tapi kita juga boleh berprasangka baik kan? Jadi saya yakin kejaksaan akan sangat bersungguh-sungguh, untuk itu sebenarnya tim korsup juga sudah kita libatkan sekarang bahkan barang bukti yang kita miliki kita serahkan kesana (Kejaksaan),” ujar Syarif.

 

Baca:

 

Kritik pedas

Pakar hukum pidana Chairul Huda mengkritik keras langkah tersebut. Dalam status media sosialnya menyebut apabila ada pejabat yang meminta Kejaksaan Agung menangani kasus suap yang melibatkan oknum Jaksa, itu menunjukkan ia tidak paham mengenai kewenangan KPK. “Jika akhirnya KPK mengabulkan permintaan kejaksaan, maka sudah cukup beralasan membubarkan KPK,” kata Chairul.

 

Hukumonline telah mengonfirmasikan hal ini kepada Chairul, ia membenarkan tulisan tersebut memang tertera di media sosialnya. Ia mengatakan alasan menyatakan hal tersebut karena KPK mempunyai kewenangan yang diamanatkan Undang-Undang di antaranya menangani perkara korupsi yang dilakukan penegak hukum.

 

“Dan tidak ada aturannya pengambil-alihan perkara dari KPK ke Kejaksaan, yang ada sebaliknya perkara bisa diambil alih KPK,” ujarnya kepada hukumonline.

 

Chairul Huda juga berpendapat kedua jaksa yang terjaring OTT KPK sudah seharusnya menjadi tersangka, statusnya pun sebagai pelaku utama, bukan selaku perantara. KPK menangkap Yadi di kantor Kejati DKI pada Jumat sore, 28 Juni 2019 dari sana tim menyita uang Sin$8100 yang belum jelas sumbernya. Sebelum ditangkap, ia juga diduga telah menerima duit Rp200 juta dari pengacara bernama Alvin Suherman dan pengusaha, Sendy Perico untuk mengakali tuntutan jaksa dalam kasus penipuan yang diadili di Pengadilan Jakarta Barat.

 

Adapun Yuniarti ditangkap di Bandara Halim Perdana Kusuma pada hari yang sama. Dari tangannya, KPK menyita duit sebanyak Sin$20.874 dan AS$700 yang belum dijelaskan asal-usulnya. Yadi dan Yuniarti dibawa lebih dulu ke Kejaksaan Agung sebelum diperiksa di Gedung Merah Putih KPK pada sore hari.

 

“Kalau jaksa juga bukan perantara dong, dia dulu jadi tersangka, sebagai orang yang tertangkap tangan lalu dikembangkan kepada atasannya yaitu aspidum,” jelas Chairul.

 

Baca:

 

Tiga alasan

Kritik yang sama dilancarkan Indonesia Corruption Watch (ICW). Dalam keterangan tertulisnya, Kurnia Ramadhan, salah satu peneliti mengatakan jika koordinasi maupun sinergi justru berbuah supervisi perkara KPK malah ditangani kejaksaan adalah hal yang keliru. Setidaknya ada tiga argumentasi yang dapat dikemukakan.

 

Pertama, KPK adalah lembaga yang paling tepat untuk menangani kasus korupsi penegak hukum. Berdasarkan pasal 11 huruf a UU KPK, menyebutkan kewenangan KPK dalam menangani perkara yang melibatkan aparat penegak hukum. Pada operasi yang KPK, beberapa oknum yang tertangkap memiliki latar belakang sebagai Jaksa, maka KPK secara yuridis mempunyai otoritas untuk menanganinya lebih lanjut.

 

Kedua, tidak ada lembaga atau pihak manapun yang boleh mengintervensi penegakan hukum yang dilakukan KPK. Undang-undang telah menyebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Apabila dalam penanganan perkara ada pihak yang mencoba intervensi, dapat dianggap menghalang-halangi proses penegakan hukum (obstruction of justice) dengan ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun.

 

Dan ketiga, penanganan perkara harus bebas dari konflik kepentingan. “Jaksa Agung sebaiknya mengurungkan niatnya untuk menangani oknum jaksa yang tertangkap oleh KPK. Sebaiknya Jaksa Agung melakukan perbaikan di internal. Karena penangkapan oknum Jaksa di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta adalah bentuk penyelematan integritas Kejaksaan di mata publik. Setidaknya, langkah KPK dapat dimaknai juga sebagai upaya bersih-bersih internal Kejaksaan dari pihak-pihak yang mencoreng martabat Kejaksaan,” pungkas Kurnia.

 

Kasus bermula ketika Sendy Perico melaporkan seseorang yang menipu dan melarikan uang investasinya sebesar Rp11 miliar. Sebelum tuntutan dibacakan, Sendy dan Alvin telah menyiapkan uang untuk diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum. Uang ini diduga ditujukan untuk memperberat tuntutan kepada pihak yang menipunya.

 

Saat proses persidangan tengah berlangsung, Sendy dan pihak yang ia tuntut memutuskan perdamaian pada 22 Mei 2019. Pihak yang ia tuntut meminta kepada Sendy agar tuntutannya hanya setahun. Alvin kemudian melakukan pendekatan kepada jaksa melalui perantara. Alvin kemudian diminta menyiapkan uang Rp200 juta dan dokumen perdamaian jika ingin tuntutannya berkurang menjadi satu tahun. Sidang akan berlangsung di Pengadilan Jakarta Barat pada 1 Juli 2019. Penyerahan uang kemudian dilakukan pada 28 Juni 2019.

 

Alvin menyerahkan uang itu kepada Yadi Herdianto di kompleks perbelanjaan di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Setelah menerima uang di pusat perbelanjaan, Yadi kemudian menyerahkan uang sebanyak Rp200 juta kepada Asisten Bidang Tindak Pidana Umum Kejati DKI Jakarta Agus Winoto. Alasannya Agus sebagai Aspidum yang memiliki kewenangan untuk menyetujui rencana penuntutan dalam kasus ini.

 

Belakangan, Penyuap Asisten Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Agus Winoto diantar Jamintel Kejagung ke KPK, kemudian Sendy Perico juga menyerahkan diri. Agus telah ditetapkan sebagai tersangka, sebagai penerima ia dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Pemberantansan Tipikor. Sementara Sendy dan Alvin dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Bantah dilimpahkan

Juru Bicara KPK Febri Diansyah membantah jika pihaknya telah melimpahkan perkara ini ke Kejaksaan. Menurutnya sebagaimana OTT yang dilakukan KPK selama ini, tidak berarti semua yang dibawa harus menjadi tersangka, dalam kondisi tertentu ada pihak-pihak yang masih dibutuhkan sebatas permintaan keterangan atau klarifikasi awal.

 

“Sedangkan pihak yang ditetapkan tersangka adalah mereka yang diduga sebagai pelaku berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalam kasus ini, awalnya KPK mengamankan 5 orang, sedangkan 1 orang Aspidum Kejati DKI diantar oleh Jamintel ke KPK. Sehingga total dari 6 orang yang diperiksa malam kemarin tersebut, tiga diantaranya menjadi tersangka dan tiga lainnya (1 pengacara dan 2 jaksa) masih sebatas sebagai saksi,” pungkasnya.

 

Kemudian terkait dua orang jaksa itu merupakan pegawai Kejaksaan, maka Febri beranggapan wajar jika mereka diserahkan ke institusinya masing-masing untuk menjalani pemeriksaan internal. “Hal itulah yang kami sebut KPK percaya Kejaksaan akan profesional menangani atau memproses dua orang tersebut,” tuturnya.

 

Terkait dengan perkara ini setidaknya ada tiga orang yang dicegah bepergian keluar negeri. Pertama Sendi Pericho (telah menyerahkan diri), Arih Wira Suranta yang diketahui merupakan salah satu jaksa dalam perkara penipuan yang berujung suap ini, kemudian yang terakhir Tjhun Tje Ming, pihak swasta. Mereka dicegah bepergian keluar negeri selama 6 bulan ke depan mulai 29 Juni 2019.

Tags:

Berita Terkait