“Karena jika pihak yang menggunakan hak ingkar tidak mampu membuktikan benefit of interest tersebut maka bisa dianggap kita telah menghina dia, dan justru ini akan membuat aura negatif terhadap kita dalam proses arbitrase,” ungkap Erie.
Adapun untuk waktu penyelesaian sengketa, kata Erie, khusus untuk arbitrase Indonesia relatif lebih cepat, yakni terselesaikan dalam jangka waktu 180 hari sejak Majelis Arbitrase terbentuk. Jika dibandingkan dengan Singapore International Arbitration Court (SIAC) tidak ada batasan waktu penyelesaian sengketanya, sehingga cenderung bisa lebih lama.
(Baca juga: Ketua MA: Kami Dukung Arbitrase unuk Mengurangi Tumpukan Perkara)
Menariknya, sambung Erie, jika para pihak yang beracara di SIAC menginginkan proses pemeriksaan perkara cepat, maka juga dapat diselesaikan dalam waktu 180 hari. Dengan catatan, ada threshold yang harus dipenuhi, yakni sebagai berikut:
|
“Cuma tidak serta merta gampang mengajukan acara cepat, threshold ini harus dipenuhi,” tukas Erie.
Luar biasanya, salah satu keunikan yang disediakan SIAC menurut Erie adalah ketentuan terkait penunjukan Emergency Arbitrators. Artinya, sekalipun tribunal atau majelis arbitrase belum terbentuk, tapi para pihak sudah bisa mengajukan permohonan sita yang dikeluarkan oleh emergency arbitrator melalui putusan sela.
“Hal seperti ini memang tidak bisa dilakukan di Indonesia. itu mengapa saya sebut SIAC pengaturannya sangat advance, sehingga banyak negara memilih bersengketa di SIAC. Karena SIAC selalu berpikir 2 langkah ke depan dalam mengakomodir kebutuhan pelaku usaha,” pungkas Erie.
Beda jauh dengan Indonesia, kata Erie, bahkan patokan untuk menentukan definisi arbitrase internasional hanya terpaku pada Pasal 9 ayat (1) UU 30/1999, yakni sepanjang itu di luar teritori wilayah Indonesia, maka itu akan dianggap sebagai putusan arbitrase internasional. Jadi, sambung Erie, sekalipun para pihaknya asing, namun selama arbitrasenya dilakukan di Indonesia maka akan dianggap sebagai putusan arbitrase domestik.