Simak Ulasan Seputar Arbitrase Internasional Ala Expert Lawyer
Utama

Simak Ulasan Seputar Arbitrase Internasional Ala Expert Lawyer

Mulai dari perumusan klausul arbitrase, tips bijak menggunakan hak ingkar, waktu penyelesaian sengketa termasuk threshold untuk percepatan arbitrase di SIAC, penerapan emergency arbitrators dan kebutuhan akan ratifikasi UNCITRAL Model Law.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Partner firma hukum Soemadipradja & Taher, Erie Hotman Tobing. Foto: RES
Partner firma hukum Soemadipradja & Taher, Erie Hotman Tobing. Foto: RES

Dalam berbagai perjanjian yang disepakati pelaku usaha, baik asing maupun domestik seringkali merumuskan klausul arbitrase untuk menghindari terjadinya penyelesaian konflik di Pengadilan. Pasalnya, penyelesaian sengketa melalui arbitrase dianggap memiliki segudang kelebihan ketimbang penyelesaian lewat jalur litigasi (di Pengadilan).

 

Menariknya, penyelesaian sengketa melalui arbitrase meniscayakan para pihak untuk memilih sendiri melalui klausul arbitrase akan beracara pada badan arbitrase mana (choice of jurisdiction), menggunakan hukum negara mana (choice of law/rechtswahl), menggunakan bahasa apa dan sebagainya.

 

Contoh klausul Arbitrase:

“any dispute arising out of, or in connection with, this agreement, shall be referred to, and finally resolved by, arbitration in London, England, by a three (3) person arbitration panel under, and in accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules.

Sumber: Materi Presentasi Erie Hotman Tobing

 

Partner firma hukum Soemadipradja & Taher, Erie Hotman Tobing, menjabarkan beberapa keunggulan arbitrase yang membedakannya dengan Pengadilan, di antaranya ditangani langsung oleh arbiter yang expert di bidangnya, bahkan arbiter dapat dipilih langsung oleh para pihak, kerahasiaan bahasan (confidentiality) terjamin serta para pihak yang berlainan negara bisa memilih badan arbitrase di luar kedua negara tersebut untuk menghindari keberpihakan (no home court advantage).

 

Tidak sampai di situ, kata Erie, merujuk pada Pasal 22 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, para pihak memiliki hak ingkar atas penunjukan arbiter. Hak ingkar ini dapat diajukan ketika terdapat cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter tersebut akan berpihak dalam mengambil keputusan.

 

“Contoh, hak ingkar bisa diajukan saat diketahui ternyata arbiter tersebut pernah terima fee atau dari trackrecordnya pernah jadi lawyer atau CEO perusahaan itu,” kata Erie.

 

(Baca juga: Relevankah Protokol Arbitrase-Mediasi-Arbitrase Buatan Singapura Diterapkan di Indonesia

 

Poin penting yang harus diingat, kata Erie, dalam penggunaan hak ingkar ini selain berlaku prinsip Actori Incumbit Probatio (siapa yang mendalilkan, dia yang membuktikan), pemberlakuannya juga sangat terbatas pada benefit of interest. Sehingga, jika para pihak ingin menggunakan hak ingkar, hendaknya pertimbangkan terlebih dahulu kekuatan bukti atas keberpihakan arbiter tersebut dengan bijaksana.

 

Karena jika pihak yang menggunakan hak ingkar tidak mampu membuktikan benefit of interest tersebut maka bisa dianggap kita telah menghina dia, dan justru ini akan membuat aura negatif terhadap kita dalam proses arbitrase,” ungkap Erie.

 

Adapun untuk waktu penyelesaian sengketa, kata Erie, khusus untuk arbitrase Indonesia relatif lebih cepat, yakni terselesaikan dalam jangka waktu 180 hari sejak Majelis Arbitrase terbentuk. Jika dibandingkan dengan Singapore International Arbitration Court (SIAC) tidak ada batasan waktu penyelesaian sengketanya, sehingga cenderung bisa lebih lama.

 

(Baca juga: Ketua MA: Kami Dukung Arbitrase unuk Mengurangi Tumpukan Perkara)

 

Menariknya, sambung Erie, jika para pihak yang beracara di SIAC menginginkan proses pemeriksaan perkara cepat, maka juga dapat diselesaikan dalam waktu 180 hari. Dengan catatan, ada threshold yang harus dipenuhi, yakni sebagai berikut:

 

  1. Jumlah dispute tidak lebih dari S$ 6 juta, kalau di atas itu tidak bisa beracara cepat;
  2. Harus disepakati oleh para pihak; dan
  3. Jika memang ada hal yang sangat mendesak.

 

“Cuma tidak serta merta gampang mengajukan acara cepat, threshold ini harus dipenuhi,” tukas Erie.

 

Luar biasanya, salah satu keunikan yang disediakan SIAC menurut Erie adalah ketentuan terkait penunjukan Emergency Arbitrators. Artinya, sekalipun tribunal atau majelis arbitrase belum terbentuk, tapi para pihak sudah bisa mengajukan permohonan sita yang dikeluarkan oleh emergency arbitrator melalui putusan sela.

 

“Hal seperti ini memang tidak bisa dilakukan di Indonesia. itu mengapa saya sebut SIAC pengaturannya sangat advance, sehingga banyak negara memilih bersengketa di SIAC. Karena SIAC selalu berpikir 2 langkah ke depan dalam mengakomodir kebutuhan pelaku usaha,” pungkas Erie.

 

Beda jauh dengan Indonesia, kata Erie, bahkan patokan untuk menentukan definisi arbitrase internasional hanya terpaku pada Pasal 9 ayat (1) UU 30/1999, yakni sepanjang itu di luar teritori wilayah Indonesia, maka itu akan dianggap sebagai putusan arbitrase internasional. Jadi, sambung Erie, sekalipun para pihaknya asing, namun selama arbitrasenya dilakukan di Indonesia maka akan dianggap sebagai putusan arbitrase domestik.

 

Bila dilihat ketentuan Pasal 1 ayat (3) UNCITRAL Model Law, kata Erie, di situ diatur lebih komprehensif soal kriteria suatu proses arbitrase dikatakan arbitrase internasional, yakni;

 

  1. Tempat berbisnis terletak di beda negara;
  2. Tempat pelaksanaan arbitrase/contract performance/subject matter of dispute (pokok masalah yang disengketakan) berada di sebuah negara selain negara dimana para pihak melaksanakan bisnisnya; dan
  3. Setuju bahwa pokok permasalahan yang diatur dalam perjanjian arbitrase (the arbitration agreement) berhubungan dengan lebih dari satu negara.

 

Sayangnya, kata Erie, hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi atau mengadopsi aturan yang dimuat dalam UNCITRAL Model Law. Sementara hingga saat ini, dari pantauan Erie sudah sebanyak 80 negara yang mengadopsi UNCITRAL Model Law. Bahkan untuk wilayah service Asia, Vietnam, Brunei, Malaysia dan Singapura sudah meratifikasi.

 

“Saran saya, Indonesia adopsi konsep UNCITRAL karena memang sangat relevan untuk menggaet pihak-pihak yang saat ini maunya arbitrase di luar, karena mereka menganggap Indonesia teralienasi sendiri dari rezim international arbitration,” saran Erie.

 

Padahal sebetulnya, kata Erie, BANI punya integritas dan kualitas yang baik, hanya saja kurang familiar ketimbang SIAC. Sebagai informasi, berdasarkan rilis SIAC per-10 May 2018, SIAC menempati peringkat pertama paling banyak dipilih di Asia, dan menempati posisi ketiga dari Top 5 institusi arbitrase di dunia berdasarkan survey yang dilakukan oleh Queen Mary University of London International Arbitration Survey (QMUL Survey).

 

Tak tanggung-tanggung, total kasus yang ditangani SIAC per-2017 mencapai 457 kasus, meningkat dibandingkan tahun 2016 sebaganyak 343 kasus. Erie tak heran dengan pencapaian SIAC yang begitu gemilang, pasalnya, SIAC dalam merumuskan hukum arbitrasenya mengumpulkan ahli-ahli terbaik dari seluruh dunia untuk mengubah ketentuan arbitrase SIAC sedemikian rupa agar lebih user friendly kepada pengguna.

 

Sekadar catatan, penyelesaian sengketa melalui arbitrase berkaitan dengan kepercayaan. Advokat Indonesia, Ahmad Fikri Assegaf, pernah berpandangan maju ke badan arbitrase dipengaruhi oleh kepercayaan. Jika pengusaha lebih memiliki SIAC sebagai pilihan, itu berarti lembaga arbitrase Singapura itu lebih dipercaya pengusaha.

 

“Tidak percaya dengan lembaga arbitrase di sini, arbitrase itu syaratnya harus punya track record yang bagus,” katanya kepada hukumonline beberapa waktu lalu.

 

Tags:

Berita Terkait