Simak Tanggapan Ahli Soal Usulan Definisi Terorisme di RUU Anti Terorisme
Utama

Simak Tanggapan Ahli Soal Usulan Definisi Terorisme di RUU Anti Terorisme

Definisi terorisme yang diusulkan tidak cukup memadai. Perspektif hak-hak korban terabaikan dalam RUU Anti Terorisme.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penanganan aksi terorisme di Sarinah, Jakarta. Foto: RES
Ilustrasi penanganan aksi terorisme di Sarinah, Jakarta. Foto: RES

Rancangan revisi UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang (UU Anti Terorisme) terganjal pada soal definisi terorisme. Belum ada kata sepakat mengenai definisi terorisme yang akan menjadi acuan. Berikut usulan definisi yang diajukan terakhir kali pada pembahasan 17 April 2018 lalu, beserta tanggapan para ahli yang berhasil dihubungi hukumonline, Jumat (18/5).

 

Terorisme adalah segala perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan atau dengan maksud menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional yang disertai dengan tujuan ideologi, tujuan politik, dan/atau ancaman terhadap keamanan negara.

 

Demikian teks yang tertulis sebagai usulan definisi terorisme pada RUU Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (RUU Anti Terorisme) per tanggal 17 April 2018.

 

Pengajar Hukum dan HAM Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Heru Susetyo, menanggapi definisi ini terlalu ‘karet’ dan ‘pukul rata’. “Seolah-olah pelakunya hanya warga non-negara. Bagaimana kalau negara yang melakukannya? Dilakukan tokoh-tokoh yang mewakili rezim atas nama negara kepada rakyatnya, apakah itu bukan terorisme?” kata Heru kepada hukumonline.

 

Heru mengakui dengan kenyataan bahwa tidak ada standar baku terorisme yang diakui di tingkat global, definisi terorisme sangat elastis dirumuskan oleh politik hukum masing-masing negara. Namun ia menolak jika atas nama pemberantasan terorisme membenarkan lahirnya produk hukum otoriter yang mengancam hak-hak kebebasan sipil.

 

“Bagaimana dengan pelaku individual yang dimotivasi kebencian lalu membantai banyak orang, apakah terorisme?” kata dia menambahkan.

 

Menurut Heru, ada kesan definisi terorisme yang diusulkan itu cenderung mengaitkan dengan masalah gangguan pada motif politik dan ideologi. Hal ini rentan disalahgunakan di kemudian hari. Meskipun Heru tidak menolak ada fakta kejahatan terorisme yang harus diberantas.

 

Maraknya aksi kejahatan yang disebut terorisme membuat kehadiran payung hukum yang kuat untuk menanganinya menjadi harapan. Asumsinya, aparat penegak hukum akan bisa bekerja lebih baik untuk memberantas terorisme.

 

Di sisi lain, keberadaan UU Anti Terorisme sendiri mendapatkan sejumlah catatan kritis dari para pegiat hak-hak masyarakat sipil. Tim Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam penyikapan kritisnya menyatakan, perlunya menyeimbangkan kebutuhan keamanan dan perlindungan kebebasan sipil dalam penanganan terorisme. Koalisi lebih dari 14 organisasi masyarakat sipil ini (Imparsial, Kontras, ELSAM, Lesperssi, Lokataru, YLBHI, LBH Jakarta, ICW, INFID, ILR, ICJR, Setara Institute, LBH Pers, PSHK, dll.) menyebut bahwa sikap reaktif telah menjadi bagian dari lahirnya UU Anti Terorisme hingga wacana revisinya.

 

“Logika pemberantasan terorisme seperti ini tentunya membahayakan bagi masa depan kebebasan sipil dan penegakkan hak asasi manusia di Indonesia,” kata koalisi dalam bagian pembuka kertas posisi yang diterbitkan pertengahan 2017 silam.

 

Menurut koalisi, pandangan yang digunakan saat ini cenderung menilai semakin luas wewenang koersif negara maka semakin ampuh pula upaya pemberantasan terorisme. Padahal ada sejumlah catatan serius yang tidak tuntas sejak pertama kali UU Anti Terorisme hadir. Perlu diingat, UU Anti Terorisme sebelumnya adalah Perppu yang ditetapkan Presiden Megawati untuk merespons aksi teror Bom Bali.

 

(Baca Juga: Begini Hukumnya Libatkan Anak dalam Aksi Terorisme)

 

Dari beberapa catatan kritis koalisi, masalah definisi terorisme adalah salah satunya. Ada tiga rekomendasi dalam kertas posisi ini soal definisi terorisme. Mereka menuntut harus ada panduan batasan dan prinsip sekalipun komunitas internasional belum memiliki suatu definisi yang baku.

 

Pertama, perlu memisahkan tindakan terorisme dengan ekspresi politik yang lazim disebut sebagai praktik separatisme. Kedua, operasionalisasi terorisme harus dikategorikan sebagai kejahatan kriminal dan tindak pidana. Terakhir, dalam konteks Indonesia, operasionalisasi dari kejahatan terorisme juga harus pula melihat fakta bahwa banyak praktik teror yang dialami dan dirasakan warga negara Indonesia adalah sebagai bentuk tuduhan negara atas nama “menjaga stabilitas”. Dalam hal ini sikap negara untuk merepresi warganya akan menciptakan bentuk teror yang tidak akan pernah bisa diakui oleh perundang-undangan.

 

Ahli lainnya yang memberi tanggapan adalah Ketua Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia, Angkasa. Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman ini menilai bahwa penanganan terorisme harus memperhatikan aspek kompensasi bagi korban. “Secara definisi bisa saja (seperti tersebut di atas-red.), tapi harus seimbang, bagaimana tentang korban?” katanya kepada hukumonline.

 

Menurut Angkasa, fokus RUU Anti Terorisme saat ini lebih mempersoalkan perluasan kriminalisasi pelaku teror ketimbang hak-hak korban yang harus dipenuhi negara. Perlu diingat bahwa dalam UU Anti Terorisme yang masih berlaku sejak masih menjadi Perppu, disebutkan hak kompensasi bagi korban.

 

Pasal 36

  1. Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi.
  2. Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah.
  3. Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya.
  4. Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.

 

Pendapat angkasa ini senada dengan catatan kritis Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang mengatakan bahwa begitu banyaknya kelemahan terkait hak korban dalam UU Anti Terorisme yang tidak diperkuat pemerintah dalam RUU Anti Terorisme. RUU ini menurut ICJR lebih mengatur mengenai tersangka atau terpidana sampai dengan urusan mengenai radikalisasi.

 

“Perbincangan terorisme lebih berorientasi kepada pelaku (offender oriented) ketimbang korban (victim oriented). Padahal korban merupakan subyek yang paling terzalimi akibat kesadisan aksi terorisme,” tulis ICJR dalam pengantar catatan kritisnya.

 

(Baca Juga: Kegentingan Memaksa Terpenuhi, Ahli Setuju Presiden Terbitkan Perppu Anti Terorisme)

 

Kelemahan itu antara lain tidak ada pencantuman pengertian korban yang memadai, tidak ada pencantuman hak korban terorime secara spesifik, kompensasi masih tergantung kepada pengadilan, tidak adanya kejelasan atau ketegasan bantuan medis bagi korban yang bersifat segera, dan kejelasan hak rehabilitasi bagi korban salah penanganan, salah prosedur oleh penegak hukum termasuk pula dalam hal terjadi malpraktek pengadilan (miscariege of justice).

 

Beberapa Kasus Salah Tangkap-Penyiksaan

Beberapa Kasus Salah Tangkap-Penyiksaan Kasus

Penangkapan

Keterangan

Andika Bagus Setiawan Siswa SMA Kelas 2 MAN Warga Semanggi RT 01/07 Kelurahan Semanggi, Solo, Jawa Tengah

Ditangkap di sekitar Hotel Paragon pada 29 Desember 2015.

Dianggap terlibat dalam jaringan teroris Ibad ini di tahanan babak belur. Saat orang tua Andika menjenguk putranya, orangtua mendapatkan kondisi putranya mengalami penyiksaan

Nur Prakoso alias Hamzah Siswa SMA Kelas 2 MAN Warga jalan Dr. Rajiman, Baron Cilik, RT 04/06 Kelurahan Bumi, Laweyan, Solo, Jawa Tengah

Ditangkap di sekitar Hotel Paragon pada 29 Desember 2015.

Tak bisa berjalan dan terpaksa merangkak karena di siksa saat pemeriksaan. Hamzah mendapatkan kekerasan fisik. diminta untuk tidur terlentang. Kemudian, pahannya di kasih balok. Dan diatas balok ditaruk kayu. Kemudian kayu itu diinjak berulang-ulang. Kemudian dipasangkan sesuatu di dalam bajunya. Usai dipasangkan, Hamzah pun dipukuli dan ditendang berulang-ulang. Hingga bagian Ulu hatinya sakit. Bahkan Hamzah mengaku saat itu sampai terkencing-kencing. Sampai Hamzah ini kepalanya di masukan ke dalam WC hingga tidak bisa bernafas. Kemudian, kemaluannya dipukul hingga kulitnya lecet.

Sapari43 dan Mugi Hartanto

Juli 2013, di depan sebuah warung Jalan Pahlawan, Kota Tulungagung, Jatim

Dua warga Muhammadiyah Tulungagung yang menjadi korban salah tangkap saat penggerebekan terduga teroris di depan sebuah warung Jalan Pahlawan, Kota Tulungagung, Jatim. Dia bersama Mugi Hartanto tengah berdiri di tepi Jalan Pahlawan bersama Rizal dan Dayat, saat tiba-tiba tim Densus datang. tidak mengetahui apa yang tengah terjadi hingga didorong pria bersenjata ke dalam mobil. Saat itu juga kedua matanya dilakban hingga tidak mengetahui dibawa ke mana.

Ayum Penggalih

29 Desember 2015,

di Jalan Haryo Panular, RT 002 RW 006, Kelurahan Panularan, Laweyan, Solo, Jawa Tengah

Saat hendak sholat zuhur menuju Masjid SMA 1 Al Islam Solo dengan motor, tiba-tiba ia ditabrak mobil hingga jatuh.Ia lalu ditangkap Ditodong, diborgol, mata ditutup sweater dan dimasukkan kedalam mobil oleh beberapa pria berbadan tinggi besar, kepala di aspal, tangan ditarik di belakang, punggung diinjak dengan lutut serta diintimidasi.

Wahono (30 th) alias Bawor warhga Jalan Durian II, Jalan Imam Bonjol, Bandar Lampung

20 Agustus 2010- Di Bandar Lampung pada 20 September

Dia batal menikah setelah ditangkap, mata ditutup lakban, kepala ditutupi, dan tangan diikat dengan tali plastik, dipukul dan ditendang oleh Densus 88 karena diduga terlibat jaringan teroris. Setelah diinterogasi, ternyata dia dipastikan tidak terlibat. Wahono lantas dilepas karena tidak cukup bukti. Tapi, perempuan yang seharusnya menjadi istrinya telanjur dinikahi adiknya. Polisi pun tak mau memulangkan Wahono ke Lampung, dan justru meminta pihak keluarga menjemputnya ke Jakarta. Persoalannya, keluarga wahono tak punya uang untuk ke Ibu Kota.

Sumber: Catatan Kritis ICJR Atas RUU Pemberantasan Terorisme

 

“Harus dilihat juga korbannya, itu harus diusung dalam satu paket undang-undang yang sama, jadi ada kesetaraan, begitu hemat saya,” kata Angkasa.

 

Tags:

Berita Terkait