Simak Tanggapan Ahli Soal Usulan Definisi Terorisme di RUU Anti Terorisme
Utama

Simak Tanggapan Ahli Soal Usulan Definisi Terorisme di RUU Anti Terorisme

Definisi terorisme yang diusulkan tidak cukup memadai. Perspektif hak-hak korban terabaikan dalam RUU Anti Terorisme.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Maraknya aksi kejahatan yang disebut terorisme membuat kehadiran payung hukum yang kuat untuk menanganinya menjadi harapan. Asumsinya, aparat penegak hukum akan bisa bekerja lebih baik untuk memberantas terorisme.

 

Di sisi lain, keberadaan UU Anti Terorisme sendiri mendapatkan sejumlah catatan kritis dari para pegiat hak-hak masyarakat sipil. Tim Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam penyikapan kritisnya menyatakan, perlunya menyeimbangkan kebutuhan keamanan dan perlindungan kebebasan sipil dalam penanganan terorisme. Koalisi lebih dari 14 organisasi masyarakat sipil ini (Imparsial, Kontras, ELSAM, Lesperssi, Lokataru, YLBHI, LBH Jakarta, ICW, INFID, ILR, ICJR, Setara Institute, LBH Pers, PSHK, dll.) menyebut bahwa sikap reaktif telah menjadi bagian dari lahirnya UU Anti Terorisme hingga wacana revisinya.

 

“Logika pemberantasan terorisme seperti ini tentunya membahayakan bagi masa depan kebebasan sipil dan penegakkan hak asasi manusia di Indonesia,” kata koalisi dalam bagian pembuka kertas posisi yang diterbitkan pertengahan 2017 silam.

 

Menurut koalisi, pandangan yang digunakan saat ini cenderung menilai semakin luas wewenang koersif negara maka semakin ampuh pula upaya pemberantasan terorisme. Padahal ada sejumlah catatan serius yang tidak tuntas sejak pertama kali UU Anti Terorisme hadir. Perlu diingat, UU Anti Terorisme sebelumnya adalah Perppu yang ditetapkan Presiden Megawati untuk merespons aksi teror Bom Bali.

 

(Baca Juga: Begini Hukumnya Libatkan Anak dalam Aksi Terorisme)

 

Dari beberapa catatan kritis koalisi, masalah definisi terorisme adalah salah satunya. Ada tiga rekomendasi dalam kertas posisi ini soal definisi terorisme. Mereka menuntut harus ada panduan batasan dan prinsip sekalipun komunitas internasional belum memiliki suatu definisi yang baku.

 

Pertama, perlu memisahkan tindakan terorisme dengan ekspresi politik yang lazim disebut sebagai praktik separatisme. Kedua, operasionalisasi terorisme harus dikategorikan sebagai kejahatan kriminal dan tindak pidana. Terakhir, dalam konteks Indonesia, operasionalisasi dari kejahatan terorisme juga harus pula melihat fakta bahwa banyak praktik teror yang dialami dan dirasakan warga negara Indonesia adalah sebagai bentuk tuduhan negara atas nama “menjaga stabilitas”. Dalam hal ini sikap negara untuk merepresi warganya akan menciptakan bentuk teror yang tidak akan pernah bisa diakui oleh perundang-undangan.

 

Ahli lainnya yang memberi tanggapan adalah Ketua Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia, Angkasa. Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman ini menilai bahwa penanganan terorisme harus memperhatikan aspek kompensasi bagi korban. “Secara definisi bisa saja (seperti tersebut di atas-red.), tapi harus seimbang, bagaimana tentang korban?” katanya kepada hukumonline.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait