Simak! Cara Pengutipan Sumber Referensi untuk Penulisan Jurnal Ilmiah
Utama

Simak! Cara Pengutipan Sumber Referensi untuk Penulisan Jurnal Ilmiah

Sebaiknya saat menulis artikel ilmiah, pastikan referensinya berasal dari jurnal juga dan hindari mengutip hanya dari satu jurnal saja. Hindari pula mengutip referensi yang berasal dari buku; hindari kutipan dari tulisan skripsi, tesis, dan disertasi.

Willa Wahyuni
Bacaan 4 Menit
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Prawitra Thalib dalam Coaching Clinic Hukumonline, Senin (22/7/2024).
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Prawitra Thalib dalam Coaching Clinic Hukumonline, Senin (22/7/2024).

Jurnal internasional bereputasi biasanya memiliki standar yang ketat untuk menerima artikel ilmiahnya, termasuk dalam rujukan referensi. Referensi ini merupakan sumber informasi yang dijadikan acuan untuk mendukung atau memperkuat pernyataan.

Khusus penulisan artikel ilmiah, ada standar yang perlu diperhatikan ketika menggunakan referensi. Salah satunya adalah hindari mengutip referensi yang berasal dari buku. Sebaiknya referensi dalam penulisan artikel jurnal ilmiah juga berasal dari artikel jurnal ilmiah.

"Sebisa mungkin saat menulis artikel ilmiah, pastikan referensinya berasal dari jurnal juga, bukan dari buku,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Prawitra Thalib dalam Coaching Clinic Hukumonline, Senin (22/7/2024).

Baca Juga:

Perhatikan Hal-hal Ini Sebelum Menulis Artikel di Jurnal Hukum

Simak! Tips Tembus Jurnal Hukum Bergengsi bagi Peneliti Pemula

Prawitra melanjutkan penggunaan referensi dari buku seminimal mungkin digunakan. Ia menyarankan referensi dari buku paling banyak dua buku saja. Selebihnya harus memaksimalkan referensi dari jurnal ilmiah.

Mengutip artikel jurnal juga tidak boleh dengan self-citation atau mengutip hanya dari satu jurnal saja. Sebisa mungkin juga harus dihindari kutipan dari tulisan skripsi, tesis, dan disertasi. “Reviewer pasti akan melihat referensi yang digunakan, kalau kedapatan referensinya dari tugas akhir, maka reviewer pasti menyarankan untuk diperbaiki,” ungkap Prawitra.

Namun, ada perbedaan pendapat dari masing-masing jurnal dalam memberlakukan rujukan atau referensi dari jurnal yang ditulis. Ada beberapa jurnal yang tidak menolak jika referensi berasal dari tugas akhir. Prawitra menekankan jurnal terindeks Scopus tidak menerima referensi dari tugas akhir.

Selain memperhatikan referensi dari penulisan jurnal, penulis artikel ilmiah harus mengetahui artikel yang tidak layak dipublikasikan untuk menghindari kesalahan-kesalahan pada saat menulis. Artikel yang tidak akan dipublikasikan adalah artikel yang tidak ada aspek saintifiknya, artikel yang tidak ada kebaruan, artikel yang sudah kedaluwarsa, dan plagiasi dari penelitian sebelumnya.

“Naskah yang diterima nantinya tidak akan lepas dari empat indikator yaitu orisinalitas, sebanyak apa plagiasinya, kemutakhiran, serta ketetapan dan metode substansi,” ujar Prawitra. Empat pilar tersebut adalah indikator mutlak agar artikel dapat terbit di jurnal internasional bereputasi atau tidak. Empat indikator itu akan menghasilkan empat hal yaitu jurnal diterima tanpa revisi, jurnal diterima dengan revisi minor, jurnal diterima dengan revisi major, atau jurnal ditolak.

“Jurnal internasional bereputasi yang baik pasti akan mempublikasikan artikel dengan dua kondisi saja yaitu diterima dengan revisi minor atau revisi major,” jelasnya melanjutkan.

Penolakan dalam publikasi artikel jurnal adalah hal lumrah yang biasa terjadi. Selalu penting untuk tidak menyerah setelah penolakan. Menjadi seorang penulis akademis membutuhkan ketekunan dan kemampuan untuk menghadapi penolakan sebagai bagian dari proses. 

Prawitra mendorong agar penulis tidak putus asa. Ketika satu jurnal menolak, ia menyarankan penulis untuk tidak mengirimkan ke jurnal yang sama. Sebaiknya, penulis mengirimkan kepada jurnal yang berbeda. Kalau pun masih ingin mempublikasikan artikel ilmiah di jurnal yang telah menolak, topik artikel dapat dibedakan dengan yang telah ditolak sebelumnya.

“Kalau artikel sudah ditolak, itu tandanya tidak ada harapan. Cobalah untuk publish di tempat lain,” sarannya. Sebagai pekerjaan ilmiah yang membutuhkan wawasan dan keterangan ilmiah di dalamnya, Prawitra juga mendorong penulis tidak menggunakan Artificial Intelligence. Termasuk juga menggunakan aplikasi parafrase lainnya dalam penulisan jurnal ilmiah.

Koreksi pada hasil tulisan adalah proses dalam penulisan artikel ilmiah. Menggunakan deskripsi dan wawasan sendiri adalah yang utama. “Penggunaan Artificial Intelligence akan membuat naskah menjadi berbahasa robot dan kurang keilmiahannya.”

Melihat permasalahan 

Dalam kesempatan yang sama, Chief Editor Padjajaran Journal of Law Irawati Handayani menerangkan seorang editor serta reviewer akan dapat menilai suatu artikel layak dipublikasikan hanya dengan melihat permasalahan dan kontribusi yang menjadi tujuan dari penulisan artikel.

“Soal penulisan pendahuluan, seringkali pendahuluan atau tulisan pembuka ditulis sepanjang mungkin,” ujar Irawati.   

Hukumonline.com

Chief Editor Padjajaran Journal of Law Irawati Handayani.

Irawati mendorong agar penulis dapat menuliskan pendahuluan dengan kalimat aktif dan ringkas. Selain itu, ia mendorong penulis agar menggunakan kata kerja yang lebih kuat. Jangan terlalu sering menggunakan kata ganti orang pertama. Terakhir, susun tulisan dari yang luas ke yang spesifik.

“Perhatian bagi penulis, jangan mengambil porsi yang banyak di pendahuluan. Buatlah pendahuluan yang compact yang isinya inti saja,” saran Irawati. 

Intinya penulisan sebuah jurnal harus disiapkan dengan baik terutama dalam penulisan abstrak. Penulis harus benar-benar mengetahui target jurnal yang diberikan. Target jurnal ini meliputi lingkup jurnal, fitur aksesibilitas, hingga jenis artikel yang dibutuhkan.

Tags:

Berita Terkait