Silang Pendapat tentang Penjatuhan Hukuman Badan dalam Perkara Pidana
Utama

Silang Pendapat tentang Penjatuhan Hukuman Badan dalam Perkara Pidana

Prof. Romli mengkritik pendekatan penegakan hukum yang cenderung memenjarakan pelaku tindak pidana. Nilai kemaslahatan pemenjaraan badan tidak sebanding dengan nilai filosofis, sosial dan ekonomi tujuan hukum.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Sejumlah narasumber dalam diskusi peluncuran buku Romli Atmasasmita di Jakarta, Selasa (07/11). Foto: AJI
Sejumlah narasumber dalam diskusi peluncuran buku Romli Atmasasmita di Jakarta, Selasa (07/11). Foto: AJI

Kapasitas lembaga pemasyarakatan sering disebut tidak lagi mampu menampung jumlah narapidana di seluruh Indonesia. Jumlah narapidana terus bertambah karena banyaknya putusan yang menghukum badan. Bahkan semakin banyak jenis tindak pidana, potensi memenjarakan orang kian besar. Demikian pula jika berkembang pandangan bahwa setiap pelaku korupsi harus dihukum penjara badan.

Masalah itu pula yang disinggung Romli Atmasasmita saat peluncuran buku terbarunya, Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, di Jakarta, Selasa (07/11) pekan lalu. Ini adalah karya Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung itu yang dihasilkan dari pengalaman, pengamatan dan pemahaman perbandingan hukum. Sebelumnya, Prof. Romli juga telah menulis buku Teori Hukum Integratif (2015) dan Analisis Ekonomi tentang Hukum Pidana (2016).

Sesuai bidang studi yang digelutinya selama ini, Romli melihat penegakan hukum pidana tak mengalami banyak perkembangan. Pola pikir yang bertahan adalah penegakan hukum dengan pemenjaraan badan. Padahal, Romli berharap hukum pidana itu ditegakkan secara bijak. Pemenjaraan badan sudah lama dianggap tidak efektif. “Pola berfikirnya lain bahwa selama ini hukuman segalanya, bisa mengubah seseorang menjadi lebih baik, hukuman bisa menimbulkan kesejahteraan, keadilan sosial, ternyata enggak,” ujar Romli kepada wartawan.

(Baca juga: Tujuan Hukum ala Prof. Romli)

Ia berpendapat pola penghukuman selama ini lebih menyengsarakan rakyat dan membuat keadilan sosial tidak terwujud. Untuk kasus korupsi, misalnya, penanganannya dengan melakukan pemidanaan terhadap pelaku juga tak maksimal karena tidak banyak membantu mengembalikan kerugian keuangan negara. “Setelah saya teliti memang pemikiran kita yang tertuang dalam azas hukum pidana itu sudah kelewat zaman, kadaluarsa. Di negara Barat pemikiran seperti itu ditinggalkan secara perlahan. Amerika, Uni Eropa melihat apa manfaatnya. Nah ini perbedaan pola berfikir hukum pidana di negara-negara besar,” tuturnya.

Selain kurang bermanfaat, Romli mengatakan hukuman badan kepada pelaku tindak pidana telah menyerap uang negara cukup besar. “Itu tiga perempat anggaran Kemenkumham untuk Lembaga Pemasyarakatan dan seperempatnya untuk kebutuhan lain. Bayangkan,” imbuhnya.

Dalam buku terbarunya Romli menuliskan bahwa nilai (value) dari kemaslahatan memenjarakan setiap pelaku kejahatan tidak sebanding dengan aspek nilai filosofis, sosial dan terutama nilai ekonomi dari tujuan hukum di tengah masyarakat Indonesia. Ia memberi contoh jika setiap tahun ada 100 ribu orang narapidana, dan setiap orang dibiayai 15 ribu per hari, maka dalam setahun tergerus dana Rp547,5 miliar dari APBN, hanya untuk narapidana. Itu belum termasuk biaya perkara yang harus dikeluarkan negara sekitar 1,6 triliun untuk hukuman 3 tahun penjara dan Rp2,7 triliun untuk hukuman 5 tahun penjara.

(Baca juga: Kesejahteraan Napi dan Petugas Lapas Sama-Sama Memilukan).

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polkhukam), Wiranto, menyebut kebiasaan masyarakat ikut berperan. Menurut dia, selama ini masyarakat lebih cenderung mengambil langkah hukum dalam menyelesaikan masalah. Padahal, tidak semua kasus hukum seharusnya dibawa ke pengadilan dan bisa diselesaikan dengan melakukan musyarawah atau mediasi yang sesuai dengan budaya asli Indonesia.

Ia mencontohkan penyelesaian konflik antar suku di Papua bisa diselesaikan dengan sebuah upacara bakar batu. Kemudian juga di daerah Jawa Tengah ada pasangan yang tertangkap melakukan perzinahan. Tetapi masyarakat tidak melaporkannya kepada pihak berwajib dan mengambil keputusan untuk mengusir pasangan tersebut.

“Tapi itu hilang semua kalau di KUHP. Budaya masyarakat hilang, kemudian diganti budaya loser and winner. Pengalaman saya di Pilkada, saya mantan ketua umum parpol ya. Kalau kalah itu tidak siap, cari alasan ke pengadilan, habis itu demonstrasi,” tutur Wiranto.

(Baca juga: Ini Sejumlah Persoalan dalam RKUHP).

Menurut Wiranto sistem hukum saat ini membutuhkan pemikiran baru yang berbeda dengan sebelumnya. Ia sendiri mengaku telah mengusulkan adanya lembaga baru bernama Dewan Kerukunan Nasional yang nantinya bisa membantu menyelesaikan masalah tanpa harus melalui proses pengadilan. Lembaga ini kelak dapat diisi para tokoh yang kredibilitasnya telah teruji.

“Kita kerepotan, lembaga pemasyarakatan tidak semuanya bisa menampung, over capacity, pas atau di bawah kapasitas tidak ada. Jadi pendidikan kejahatan yang dibiayai pemerintah. Di sana saling mendidik yang tadinya nyolong ayam jadi pengedar narkoba,” ujarnya.

Namun, mantan hakim agung Komariah E. Sapardjaja tidak sepenuhnya sependapat dengan gagasan menghapus hukuman badan. Menurut dia, tidak semua kasus hukum bisa diselesaikan dengan mediasi atau membayar denda semata. Contohnya, dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi. Pelakunya perlu dijatuhi pidana penjara berupa kurungan badan. Mengapa? Korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Akibat yang ditimbulkan perbuatan pelaku cukup besar apalagi jika berkaitan dengan uang negara. Meskipun masyarakat memang tidak secara langsung merasakan dampak dari perbuatan tersebut, akibat dari perbuatan itu akan berlangsung cukup panjang hingga ke generasi mendatang.

“Contoh dari buku prof Romli, kalau sudah bayar ganti rugi, harta benda dirampas, sudah apa pidananya masih bermanfaat? Nanti dulu pak. Dia (pelaku korupsi) itu berdosa kepada negara dan kepada saya, kepada orang-orang macam saya. Kenapa? Karena hak-hak saya, hak anak-anak saya itu dirugikan, tidak ada jembatan  yang akan roboh kalau uang yang untuk membangun jembatan itu tidak dikorupsi. Dosa inilah yang harus dibayar oleh pelaku,” jelas Komariah.

Komariah setuju pelaku tak perlu dipenjarakan untuk kejahatan ringan. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran ini mencontohkan Polda Jawa Barat pernah menerapkan kebijakan tak memenjarakan pelaku pencurian dan penipuan ringan. Langkah tersebut dianggap jalan terbaik apalagi jika kasus tersebut dilanjutkan biaya yang dikeluarkan negara termasuk proses pengadilan jauh lebih tinggi daripada kasus itu sendiri.

(Baca juga: Hukuman Bagi Narapidana yang Memiliki Fasilitas Mewah di Sel Lapas).

Kepala Biro Hukum KPK, Setiadi, sependapat dengan Komariah. Menurutnya dalam konteks tindak pidana korupsi para pelaku juga harus dihukum dengan kurungan badan, bukan hanya membayar denda ataupun uang pengganti semata. Sebab para koruptor selain merugikan negara juga merampas hak-hak masyarakat.

“Bagaimanakah hak sosial, budaya, hukum dari masyarakat yang sudah dirampas khususnya dalam bentuk hukuman. Kalau hanya sekadar pelaku tipikor mengganti tentu tidak menjawab pertanyaan atau rasa keadilan masyarakat. Kami beranggapan bahwa harapan kami tiada pidana tanpa kesalahan tentu masih jauh bagi aparat penegak hukum khususnya terkait tipikor,” ujar Setiadi.

Tags:

Berita Terkait