Silang Pendapat Ratifikasi Statuta Roma
Berita

Silang Pendapat Ratifikasi Statuta Roma

Indonesia bisa menggunakan mekanisme Pengadilan HAM ad hoc. Sudah 119 negara yang meratifikasi.

HOT/HOLE
Bacaan 2 Menit
Silang Pendapat Ratifikasi Statuta Roma
Hukumonline

Di tengah langkanya sumber bacaan mengenai The Rome Statute of the International Criminal Court (Statuta Roma), mantan Menteri Kehakiman Muladi, meluncurkan buku yang secara khusus membahas tentang Statuta Roma di gedung Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, Senin (12/12).

 

Buku dengan judul “Statuta Roma Tahun 1998 Dalam Kerangka Hukum Pidana Internasional dan Implikasinya Terhadap Hukum Pidana Nasional”, membahas isu-isu dalam hukum pidana internasional seperti pengadilan hak asasi manusia, tanggung jawab negara, tanggung jawab komandan, hingga urgensi ratifikasi Statuta Roma. Dalam peluncuran buku itu pula muncul silang pendapat mengenai ratifikasi Statuta Roma.

 

Muladi menuliskan penting bagi Indonesia meratifikasi Statuta Roma, guna meningkatkan reputasi di tingkat regional dan internasional. Terutama berkaitan dengan kepemimpinan Indonesia di ASEAN.

 

Pendapat Muladi disanggah Hikmahanto Juwana. “Kita sudah memiliki undang-undang tentang pengadilan hak asasi manusia yang juga mengatur tentang kejahatan seperti yang diatur di Statuta Roma,” ujar Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu di sela-sela peluncuran buku.

 

Saat ditanya hukumonline tentang masalah dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, seperti tanggung jawab komando (Pasal 42) dan persecution yang diterjemahkan menjadi penganiayaan dalam UU No. 26 Tahun 2000, Hikmahanto memberikan pandangan. “Tanggung jawab komandan dalam Pasal 24 UU No. 26 Tahun 2000, yang diartikan hanya dua level dari pelaku lapangan itu hanya interpretasi saja,” ujar Hikmahanto.

 

Menurut mantan Dekan FH UI itu, ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam tanggung jawab komando, yaitu komando yang efektif, komandan mengetahui tindakan, dan komandan mengetahui tindakan tetapi tidak melakukan pencegahan apapun. “Jadi bukan masalah dua tingkat atau dua level, tetapi unsur-unsur itulah yang harus dipenuhi,” tegasnya.

 

Selain itu, Hikmahanto mengakui bahwa klausula persecution dalam Statuta Roma yang diterjemahkan menjadi penganiayaan dalam UU No 26 Tahun 2000 memang tidak tepat. “Itu memang tidak tepat. Sehingga perlu penyaduran yang lebih baik atas ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma,” ujarnya.

 

Lebih jauh lagi, Hikmahanto juga menjelaskan bahwa UU No 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, tidak mengatur tentang permintaan ekstradisi yang dilakukan oleh lembaga bukan negara. Pasal 1 UU 1/1979 memang menyatakan bahwa ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang, dan tidak mencantumkan klasula mengenai permintaan dari organisasi internasional.

 

Hikmahanto berpendapat Statuta Roma tak perlu diratifikasi. Sebagai solusinya, amandemen terhadap ketentuan-ketentuan dalam UU No 26 Tahun 2000 menjadi langkah yang lebih baik. “Jangan sampai meratifikasi Statuta Roma hanya untuk membangun citra. Seharusnya, tanpa didorong oleh perjanjian internasonal, kita harus bisa menyelesaikan masalah dalam negeri,” tegas Hikmahanto.

 

Pendapat Hikmahanto diamini oleh Aziz Syamsuddin. Wakil Ketua Komisi III DPR ini menegaskan Indonesia telah memiliki UU No 26 Tahun 2000. Meski mengandung kelemahan, wet itu masih bisa disempurnakan. “Kalau sudah ada UU No 26 Tahun 2000, apakah masih perlu meratifikasi? Apalagi kita harus melihat kultur bangsa Indonesia yang sedikit-sedikit ingin menarik sebuah masalah ke tingkat internasional,” ujar Aziz. Ia juga menegaskan bahwa kedaulatan negara lebih penting daripada pergaulan internasional.

 

Meski demikian, dukungan terhadap ratifikasi Statuta Roma tetap ada. Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM yang juga hadir dalam launching karya terbaru Muladi, menegaskan bahwa ratifikasi Statuta Roma tidak perlu dikhawatirkan. “Mahkamah Pidana Internasional [ICC], sebagaimana diatur dalam Statuta Roma itu bersifat komplementer. Kejahatan domestik bisa dibawa ke ICC jika sebuah negara unable dan unwilling dalam mengadili kejahatan hak asasi manusia,” ujar Ifdhal.

 

Ifdhal juga menegaskan bahwa ratifikasi Statuta Roma akan melindungi warga negara Indonesia di luar negeri, seperti buruh migran dan tentara penjaga perdamaian.

 

Agus Widjojo, mantan Kepala Staf Teritorial TNI, menilai bahwa penyelesaian kejahatan di lembaga seperti ICC rentan dengan intervensi politik. Karena itu, Agus menegaskan, perlu ada pergeseran paradigma dalam menyikapi ratifikasi Statuta Roma. “Indonesia masih perlu waktu untuk bisa merealisasikan ratifikasi Statuta Roma,” pungkasnya.

 

Sebagai informasi, Statuta Roma yang disahkan pada 17 Juli 1998, telah mulai berlaku pada 1 Juli 2002. Hingga Oktober 2011, Statuta Roma telah ditandatangani oleh 139 negara. Sebanyak 119 negara telah meratifikasi perjanjian internasional ini.

 

Menurut situs resminya, ICC telah menjalankan investigasi atas pelanggaran Statuta Roma di tujuh negara, yaitu Republik Demokratik Kongo, Republik Afrika Tengah, Uganda, Sudan, Kenya, Libya, dan Pantai Gading. Dalam perkembangan terakhirnya, ICC melakukan penahanan atas Laurent Gbagbo, mantan presiden Pantai Gading.

 

Indonesia sendiri telah memasukkan Statuta Roma dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004-2009. Sayangnya upaya ini belum membuahkan hasil. Upaya ini berlanjut dalam RANHAM terbaru untuk periode 2011-2014, dan direncakan bisa terwujud pada tahun 2013.

Tags: