Sikap Pelaku Industri Terhadap Tren Pembatasan Merek dan Kemasan Global
Utama

Sikap Pelaku Industri Terhadap Tren Pembatasan Merek dan Kemasan Global

Pembatasan merek dan kemasan polos mempengaruhi iklim persaingan usaha, terutama pelaku usaha kecil dan menengah.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pembatasan merek dan kemasan global saat ini tengah menjadi tren di beberapa Negara seperti Australia, Ekuador, Chile, Thailand dan Afrika Selatan. Di Indonesia sendiri, peraturan tentang pembatasan merek dan kemasan polos ini sudah diberlakukan sejak 2014 lalu. Namun hanya terbatas pada produk hasil tembakau yang diatur dalam PP No.109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

 

Tapi kekhawatirannya adalah tren pembatasan merek dan kemasan polos ini akan meluas ke bidang usaha lain, yakni produk konsumsi. Bahkan berisiko menghambat pertumbuhan pelaku usaha kecil yang memiliki modal minim dan belum memiliki merek yang terkenal.

 

Merek atau branding serta kemasan merupakan sebuah kreasi yang menggambarkan identitas produk. Penggambaran atas rasa, kandungan gizi, dan informasi asal produk yang ditampilkan pada kemasan selama ini telah menjadi salah satu faktor penting yang mendukung keputusan calon pembeli saat memilih produk yang diinginkan.

 

Namun, di tengah usaha dalam mengemas branding yang menarik, mengemuka sebuah tren pembatasan merek (brand restriction) dan kemasan polos (plain packaging) yang kini juga mulai diberlakukan di Indonesia. Pembatasan merek dapat diterapkan dengan berbagai cara, di antaranya dalam bentuk gambar peringatan pada kemasan. Lebih lanjut, kebijakan ini juga merambah ranah distribusi titik penjualan dan promosi dengan memberlakukan restriksi iklan pada produk-produk tertentu.

 

Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Eddy Hussy, mengungkapkan APINDO bersikap terbuka melindungi hak para pengusaha dan konsumen Indonesia dalam menjalankan bisnis yang kondusif sesuai aturan yang berlaku.

 

“Tren pembatasan merek dan kemasan ini kami rasa akan sangat membatasi ruang gerak kawan-kawan pengusaha karena akan menimbulkan risiko-risiko lain, mulai dari pemboncengan reputasi, pemalsuan, produk ilegal, yang ujung-ujungnya akan merusak iklim persaingan usaha,” katanya dalam sebuah diskusi yang digelar APINDO, Rabu (2/10).

 

Terlebih untuk sejumlah produk yang baru di mana ekuitas merek mereka masih rendah, Eddy menambahkan seluruh pembatasan yang terjadi akan menyebabkan sulitnya persaingan dengan merek-merek yang sudah lebih dahulu melekat di masyarakat. “Ini yang sebisa mungkin kami hindari,” ujarnya.

 

Kasubdit Transparansi Kesesuaian Peraturan dan Fasilitasi, Direktorat Perundingan Multilateral, Ditjen PPI, Kementerian Perdagangan RI, Danang Prasta mengatakan bahwa pada dasarnya WTO tidak mengatur secara eksplisit terkait pembatasan merek tersebut. Namun dengan alasan kesehatan, setiap negara anggota berhak menerbitkan regulasi, terutama untuk melindungi kesehatan publik atau lingkungan, selama tidak bertujuan menghambat perdagangan.

 

(Baca Juga: Mengintip Tata Cara Pendaftaran Merek dalam UU Merek dan Indikasi Geografis)

 

”Hal yang harus dicermati adalah jangan sampai regulasi tersebut menghambat perdagangan. Indonesia dapat memanfaatkan keanggotaannya di WTO untuk memonitor regulasi tersebut, dan mengamankan hak-hak Indonesia di negara tujuan ekspor,” tuturnya.

 

Menurut Danang, keterlibatan aktif Indonesia dalam pelaksanaan dan perundingan perjanjian perdagangan internasional di WTO sangat diperlukan guna melindungi merek Indonesia, khususnya di pasar internasional. Hal tersebut menjadi penting mengingat merek Indonesia yang beredar di pasar internasional juga merupakan salah satu unsur utama dari Nation Branding dan memiliki peran penting dalam peningkatan ekspor.

 

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, mengungkap bahwa pembatasan merek sudah berlaku untuk produk tembakau. Dalam PP No.109/2012, pemerintah mewajibkan produsen produk tembakau untuk mencantumkan peringatan kesehatan bergambar seram sebesar 40% dari total display kemasan. Bahkan, saat ini pihak Kementerian Kesehatan sedang mengusulkan untuk menaikkan komposisinya menjadi 90% kemasan tanpa alasan kajian yang jelas.

 

Kendati demikian, Henry mengaku jika pembatasan merek tersebut tidak berdampak kepada penurunan konsumsi rokok di Indonesia. Hanya saja ada risiko lain jika pemerintah memberlakukan pembatasan merek secara eksesif, yakni potensi peredaran rokok ilegal di Indonesia.

 

“Kami selaku pelaku usaha hanya memohon agar pemerintah adil. Kepentingan pengendalian melalui peringatan kesehatan 40% kemasan sudah kami terima dengan berbesar hati. Jangan sampai diperluas menjadi 90% bahkan merencanakan kemasan polos tanpa bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.

 

Sebagai industri yang legal, Industri Hasil Tembakau (IHT) memiliki hak komunikasi sebagaimana Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009 merujuk Pasal 28F UUD 1945. Henry turut berempati apabila kebijakan semacam ini diperlebar ke produk konsumsi lainnya. Menurutnya, kerugian yang paling besar akan dirasakan oleh pemerintah dan konsumen sendiri.

 

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan Antar Lembaga, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Rachmat Hidayat, berpendapat bahwa konsumen memiliki hak untuk memilih produk yang diinginkan. Jika pembatasan merek dilakukan terlalu ketat maka hal itu akan mempengaruhi persaingan usaha di Indonesia.

 

“Pengusaha makanan dan minuman, khususnya produk ritel siap konsumsi (Ready-to-Eat/Ready-to-Drink) selalu menuliskan informasi kandungan gizi dan nutrisi di setiap kemasan. Anggapan bahwa produk makanan dan minuman yang beredar di pasaran adalah penyebab risiko kesehatan publik, kami rasa tidak tepat karena ada banyak sekali faktor pemicu risiko kesehatan, pola hidup tidak sehat, lingkungan, sampai dengan keturunan genetis,” ujarnya.

 

Menurut Rachmat, tidak bijak rasanya jika pemerintah membatasi hak seluruh konsumen berdasarkan satu sudut pandang. Sudah sepantasnya pelaku usaha yang bertanggung jawab menyediakan produk terbaik bagi masyarakat, untuk mengambil sikap atas aturan yang dampaknya bisa merugikan kedua belah pihak.

 

Tags:

Berita Terkait