Sikap KY Terhadap Fenomena Vonis Ringan Koruptor
Utama

Sikap KY Terhadap Fenomena Vonis Ringan Koruptor

Komisi Yudisial (KY) menaruh concern atas kasus ini karena ada perasaan keadilan masyarakat yang perlu dijaga.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Acara IG Live Hukumonline bertema Fenomena Diskon Hukuman Pelaku Korupsi, Bagaimana Sikap Komisi Yudisial?, Kamis (12/8). Foto: RES
Acara IG Live Hukumonline bertema Fenomena Diskon Hukuman Pelaku Korupsi, Bagaimana Sikap Komisi Yudisial?, Kamis (12/8). Foto: RES

Permasalahan vonis ringan tindak pidana korupsi yang dilakukan pejabat tinggi negara mendapat kritik tajam dari publik. Beberapa contoh vonis ringan tersebut seperti kasus jaksa Pinangki, penyuapan Djoko Tjandra hingga korupsi bansos Covid-19 yang melibatkan mantan Menteri Sosial, Juliari Pieter Batubara.

Menanggapi permasalahan tersebut, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY), Miko Ginting menyampaikan KY merupakan lembaga yang memiliki kewenangan untuk menjaga kehormatan dan keluhuran perilaku para hakim. Sehingga, terdapat permsalahan tersebut menjadi bagian tugas KY. Namun, dia menjelaskan hingga saat ini belum menerima laporan dari masyarakat mengenai dugaan pelanggaran perilaku hakim berkaitan dengan vonis ringan hakim terhadap koruptor.

“Pertama yang perlu dipahami bahwa Undang-Undang 1945 Pasal 24B memberi kewenangan KY untuk jaga kehormatan dan keluhuran perilaku hakim. Maka KY menaruh concern atas kasus ini karena ada perasaan keadilan masyarakat yang perlu dijaga. Dan di sisi lain ada kepercayaan pada hakim lebih luas lagi peradilan. Saat muncul di permukaan sampai hari ini, saya sudah cek, kami belum terima laporan dari masyarakat mengenai dugaan perilaku hakim,” jelas Miko dalam acara IG Live Hukumonline bertema “Fenomena Diskon Hukuman Pelaku Korupsi, Bagaimana Sikap Komisi Yudisial?”, Kamis (12/8).

Miko menjelaskan laporan masyarakat merupakan salah satu jalur yang dapat dipilih atas kekecewaan terhadap vonis ringan tersebut. Selain itu, KY juga memiliki kewenangan untuk menganalisis terhadap putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap atau inkracht. Nantinya, hasil analisa tersebut KY dapat melakukan pembinaan terhadap hakim jika terdapat kekeliruan.

“Perlu diketahui masyarakat, KY punya kewenangan lain. Bukan berdasarkan UU KY tapi UU 48/2009 dan UU yang mengatur area tentang peradilan umum, peradilan tata negara kecuali peradilan militer untuk menganalisis putusan sepanjang berkekuatan hukum tetap. Jadi, kami punya kewenangan dalam kasus Pinangki,” jelas Miko.

Dalam Pasal 42 UU Kehakiman juga menjelaskan hasil analisa KY dapat digunakan sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim. (Baca: Putusan Banding Pinangki Disebut Kemunduran Pemberantasan Korupsi)

Miko juga menyarankan Mahkamah Agung memberi penjelasan hukum kepada publik untuk menanggapi berbagai kritik masyarakat atas vonis ringan tersebut. Menurutnya, penjelasan publik ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.

“Ada kesenjangan antara vonis dengan aspirasi masyarakat yang dianggap menciderai rasa keadilan. Kami dorong MA beri penjelasan bukan penilaian terhadap putusan,” jelas Miko.  

Pertengahan Juni lalu masyarakat terhenyak dengan kabar ‘dipotongnya’ vonis mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding yang diajukan Pinangki, dari yang sebelumnya divonis 10 tahun oleh Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, menjadi 4 tahun penjara dalam kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang.

Tak berselang lama, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga mengabulkan banding terdakwa Djoko Tjandra dalam kasus suap status red notice yang juga menjerat Jaksa Pinangki. Pengadilan mengurangi hukuman Djoko dari semula 4 tahun 6 bulan penjara menjadi 3 tahun 6 bulan. Sebelumnya, Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi memvonis Djoko Tjandra 4 tahun 6 bulan penjara.

Dua putusan ini menjadi sorotan masyarakat, terutama pegiat anti korupsi. Potongan vonis tersebut dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat. Akademisi Fakultas Hukum dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari, misalnya. Dia mengatakan seharusnya hukuman yang dijatuhkan kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari lebih berat karena berstatus sebagai aparat penegak hukum.

"Hakim tidak menilai Pinangki sebagai aparat penegak hukum. Kalau aparat penegak hukum melakukan pidana, itu selalu diperberat karena ketentuan KUHP," kata dia.

Oleh sebab itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Unand tersebut melihat ada kejanggalan dari putusan hakim yang tidak memperberat malah meringankan hukuman jaksa Pinangki dengan mempertimbangkan status perempuan.

Menurut Feri, alasan-alasan yang disampaikan hakim tersebut seolah-olah dicari-cari untuk memotong hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi empat tahun. Kemudian, adanya pertimbangan status Pinangki sebagai seorang ibu yang memiliki anak berusia empat tahun dinilai Feri juga tidak linier dengan statusnya sebagai aparat penegak hukum.

Ia mengkhawatirkan jika alasan status sebagai seorang ibu dijadikan pertimbangan maka berpotensi memuluskan kejahatan-kejahatan korupsi di kemudian hari. Oleh sebab itu, yang perlu dilihat dari kasus Pinangki ialah kekuatan atau kewenangan yang dimilikinya yakni sebagai seorang jaksa dan tidak semata-mata hanya karena status perempuan dan seorang ibu. "Karena itu akan menyampingkan nilai penting atau substansial dari perkara ini," ujarnya.

Dari berbagai kasus korupsi yang terjadi di Indonesia ada semacam tren pengadilan menjadi jalan pintas untuk mengurangi masa hukuman koruptor. Sehingga ada semacam nuansa peradilan tidak lagi berpihak kepada pemberantasan korupsi dan membenahi aparat hukum yang menyimpang.

Tags:

Berita Terkait