Sikap Komnas Perempuan atas Putusan MK Perkawinan Beda Agama
Terbaru

Sikap Komnas Perempuan atas Putusan MK Perkawinan Beda Agama

MK dianggap mengabaikan realitas perkawinan beda agama di Indonesia dan penyelundupan hukum yang dilakukan agar perkawinan dapat dicatat. Perempuan mengalami stigma lebih, dibandingkan laki-laki ketika memilih melakukan pernikahan beda agama.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani. Foto: Istimewa
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani. Foto: Istimewa

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak permohonan pengujian materil Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 huruf f UU UU No.1 Tahun 1974 terkait permohonan keabsahan perkawinan beda agama. Putusan No. 24/PUU-XX/2022 yang dibacakan 31 Januari 2023, bukan kali pertama MK menolak perkara perkawinan beda agama.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, mencatat MK pernah menolak gugatan serupa dalam putusan No.68/PUU-XII/2014. Penolakan MK terhadap permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 huruf f  UU 1/1974, menurut Andy menunjukkan perkawinan beda agama menjadi masalah sosial dan hukum warga negara.

“Kedua putusan itu tidak mendasarkan pada berbagai masukan para pihak termasuk dari Komnas Perempuan,” katanya dikonfirmasi, Kamis (9/2/2023).

Andy menjelaskan, Komnas Perempuan mencermati pelaksanaan UU Perkawinan karena sebagian ketentuan berkontribusi terhadap pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan. Tapi masih ada pasal yang berpotensi menimbulkan diskriminasi secara langsung maupun tidak langsung pada perempuan, disabilitas, dan kelompok minoritas agama. Termasuk, adminstrasi perkawinan beda agama.

Setidaknya Andy mencatat beberapa pertimbangan majelis konstitusi dalam perkara tersebut seperti penafsiran terhadap hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Pembatasan hak kebebasan beragama di bidang perkawinan dan pemaknaan tentang administrasi kependudukan pada perkawinan beda agama.

Baca juga:

Terkait pertimbangan hukum tersebut, Andy menilai hakim konstitusi mengabaikan realitas perkawinan beda agama di Indonesia dan penyelundupan hukum yang dilakukan agar perkawinan dapat dicatat. Dalam pertimbangannya, MK dinilai tidak berhati-hati karena berasumsi perkawinan agama tidak melahirkan tujuan perkawinan dan membahayakan.

Bagi Andy, Asumsi itu hanya mengutip pernyataan satu kelompok dan mengabaikan pandangan kelomok-kelompok lain. Termasuk mengabaikan tafsir keagamaan yang membolehkan perkawinan agama, karena yang dirujuk MK hanya tafsir keagamaan mayoritas. Dia menyayangkan MK tidak mempertimbangkan pandangan Komnas Perempuan yang telah memberikan keterangan secara tertulis secara resmi kepada MK.

“Komnas Perempuan menyayangkan ketiadaan pertimbangan hambatan administrasi perkawinan bagi perempuan yang menikah beda agama dengan pasangannya,” ujarnya.

Dia melanjutkan, frasa ‘membentuk keluarga’ sebagaimana Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 merupakan bentuk realisasi atau pelaksanaan dari ‘setiap orang berhak’ dan tindakan ‘membentuk keluarga’ adalah kehendak bebas (free consent) warga negara sebagai pemegang hak dasar (right holder) yang masuk hukum privat atau keperdataan.

Baginya, kehadiran hukum negara dalam proses ‘membentuk keluarga’ bersifat komplemen dan pada posisi bertindak secara pasif untuk menghormati terhadap hak sipil kewarganegaraan. Sekalipun tidak ada pelarangan secara eksplisit terhadap pihak-pihak untuk melakukan perkawinan antar agama, namun intepretasi agama mempengaruhi cara bekerja dari aparatur negara untuk membatasi perkawinan beda agama.

Komnas Perempuan berpendapat, perkawinan beda agama juga berkaitan dengan hak dasar kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi. Andy mengingatkan,  perempuan mengalami stigma lebih, dibandingkan laki-laki ketika memilih melakukan pernikahan beda agama.

Pengaduan ke Komnas Perempuan menunjukan perempuan yang menikah beda agama dianggap melakukan zina, perempuan sebagai anak diusir dari rumahnya, dan rentan mengalami kekerasan dari keluarga. Kekerasan yang dilakukan oleh keluarga antara lain berbentuk memisahkan paksa perempuan dari pasangannya/suami dan anak-anaknya, kekerasan psikis dan ekonomi. Hal serupa dialami oleh perempuan penghayat yang melakukan perkawinan beda agama.

“Perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan dapat menimbulkan berbagai dampak sosial terhadap anak-anak yang dilahirkan,” ujarnya.

Rekomendasi

Dampak putusan 24/PUU-XX/2022 memposisikan perempuan dalam subordinat secara sosial dan tafsir keagamaan. Kondisi itu sangat diskriminatif dan menjadi penyebab kekerasan terhadap perempuan. Andy mencatat pertimbangan putusan MK itu mendorong 3 hal. Pertama, negara melegalkan kekerasan terhadap perempuan atas nama agama dan moralitas, termasuk untuk mempertahankan agama/keyakinannya.

Kedua, negara melegalkan kekerasan terhadap perempuan untuk melakukan perkawinan dan berkeluarga. Ketiga, negara melegalkan kekerasan terhadap anak, baik anak laki-laki maupun perempuan yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak ada kepastian hukum.

Andy mengingatkan, dalam sidang siklus IV Universal Periodic Review, Indonesia juga mendapat rekomendasi yang menyatakan pemerintah Indonesia perlu memastikan adanya kebijakan/perundang-undangan yang melindungi dari diskriminasi atau penindasan atas dasar etnisitas, agama, gender, orientasi seksual dan lain-lainya.

Komnas Perempuan merekomendasikan setidaknya 2 hal. Pertama, DPR dan Pemerintah perlu melakukan kajian lebih mendalam dan kompheresif tentang realita perkawinan beda agama serta dampak berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Perlu membangun dialog konstruktif dengan melibatkan banyak pihak termasuk para perempuan yang mengalami hambatan administrasi perkawinan karena berbeda agama, sehingga dapat memberikan perlindungan kepada semua warga negara.

Kedua, merekomendasikan MK untuk mempertimbangkan saran dan masukan dan Lembaga Negara HAM (Komnas HAM, Komnas Perempuan,KPAI dan KND). Deengan memanggil sebagai pihak terkait dan/atau ahli untuk kasus-kasus yang berkaitan erat dengan penghormatan, pelindungan dan  pemenuhan HAM khususnya perempuan.

Sebagaimana diketahui, MK kembali menolak seluruh pengujian Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 huruf f UU 1/1974  terkait permohonan keabsahan perkawinan beda agama. “Amar putusan, mengadilimenolak permohonan para pmohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan Nomor 24/PUU-XX/2022 di ruang sidang MK, Selasa (31/1/2023).

Permohonan ini diajukan oleh E. Ramos Petege yang merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Dalam Pertimbangannya, Mahkamah menyatakan keabsahan perkawinan merupakan domain agama melalui lembaga atau organisasi keagamaan yang berwenang atau memiliki otoritas memberi penafsiran keagamaan.

Peran negara menindaklanjuti hasil penafsiran yang diberikan oleh lembaga atau organisasi tersebut. Adapun mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan oleh institusi negara dalam rangka memberi kepastian dan ketertiban administrasi kependudukan sesuai semangat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam perkawinan terdapat kepentingan dan tanggung jawab agama dan negara saling berkait erat.

“Maka melalui Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, MK telah memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan putusan

Tags:

Berita Terkait