Signifikansi Paralegal Makin Menguat Selama Pandemi
Terbaru

Signifikansi Paralegal Makin Menguat Selama Pandemi

Pelatihan paralegal menjadi keniscayaan. Dukungan negara sangat menentukan keberhasilan pelatihan paralegal.

Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi paralegal. Ilustrator: BAS
Ilustrasi paralegal. Ilustrator: BAS

Pandemi Covid-19 telah menimbulkan kerentanan sosial akibat akumulasi kemiskinan, pengangguran dan tindakan kriminalitas. Akibat pandemi, angka pengangguran bertambah, dan sekaligus menaikkan jumlah penduduk miskin. Data BPS menunjukkan jumlah penduduk miskin pada 2020 berjumlah 24,8 juta, naik menjadi 27,5 juta orang pada 2021. Tingkat pengangguran pada tahun ini mencapai 9,77 juta penduduk. Selain itu, 75 persen rumah tangga mengalami penurunan pendapatan selama masa pandemi.

Project Officer Bantuan Hukum pada Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Gina Sabrina, mengatakan dalam kondisi demikian semakin banyak warga yang berhadapan dengan hukum. Peluang untuk mendapatkan dan menggunakan jasa advokat berbayar pun semakin menipis karena warga miskin tidak mampu membayar honorarium advokat. Kondisi ini semakin diperparah oleh tidak berjalannya kewajiban pro bono advokat, dan tidak meratanya jumlah paralegal di Tanah Air.

Pilihan paling memungkinkan di tengah kerentanan di masyarakat adalah menggunakan jasa paralegal. “Peran palalegal saat ini makin kuat,” kata Gina dalam diskusi publik mendorong implementasi kebijakan pelatihan paralegal bantuan hukum, Selasa (14/9).

Paralegal pada dasarnya adalah katalisator layanan akses keadilan bagi masyarakat. Paralegal bukan hanya tumpuan organisasi Pemberi Bantuan Hukum, tetapi juga merupakan perpanjangan tangan negara untuk membuka akses keadilan yang lebih luas. Apalagi, jika paralegal berbasis pada masyarakat. Biasanya, paralegal semacam ini memiliki pola komunikasi yang mudah dipahami masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum, menjadi pintu terdekat dengan masyarakat dalam rangka pelayanan bantuan hukum, dan tingkat kesukarelaan yang tinggi membantu masyarakat sekitar. “Kami dukung pengembangan paralegal berbasis komunitas,” kata Gina.

Senada, dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung, Maria Ulfah, mengatakan paralegal di Indonesia berkembangan dalam beragam komunitas, bekerja secara sukarela untuk mewujudkan hak asasi manusia (melakukan pemberdayaan hukum atau pelayanan hukum), dan menjadi konsultan hukum rakyat miskin. Paralegal menjadi penghubung antara komunitas dan anggota masyarakat yang sedang berhadapan dengan hukum.

(Baca juga: Anggaran Bantuan Hukum Belum Sesuai Kebutuhan Riil).

Eksistensi paralegal telah mendapatkan legitimasi hukum melalui UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum; Peraturan Pemerintah Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum; dan beberapa regulasi teknis lewat melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham). Menurut Kartiko Nurintias, Kepala Pusat Penyuluhan Hukum BPHN, regulasi tersebut merupakan upaya pemerintah memberikan jaminan perlindungan kepada warga miskin yang berhadapan dengan hukum. “Ini upaya pemberintah membantu warga miskin,” ujarnya.

Penguatan payung hukum paralegal bukan tanpa tantangan. Perlawanan kalangan advokat antara lain ditunjukkan lewat permohonan uji materi Permenkumham No. 1 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan advokat dan membatalkan sebagian isi Permenkumham. ‘Koreksi’ dari Mahkamah Agung tersebut telah mendorong Kementerian untuk menata ulang eksistensi paralegal dalam organisasi Pemberi Bantuan Hukum. Salah satu yang perlu dilakukan pasca putusan Mahkamah Agung tersebut, menurut Kartio, adalah peningkatan kompetensi paralegal yang bekerja di masyarakat, dan dalam skala luas juga berarti kualitas organisasi Pemberi Bantuan Hukum.

(Baca juga: Perjalanan Berliku Paralegal di Indonesia).

Peningkatan kompetensi dan kualitas paralegal merupakan keniscayaan, dan dapat dilakukan melalui pelatihan. Ini juga tercermin dari definisi paralegal dalam Permenkumham No. 3 Tahun 2021, regulasi pengganti Permenkumham No. 1 Tahun 2018: paralegal adalah setiap orang yang berasal dari komunitas, masyarakat, atau Pemberi Bantuan Hukum yang telah mengikuti pelatihan paralegal, tidak berprofesi sebagai advokat, dan tidak secara mandiri mendampingi Penerima Bantuan Hukum di pengadilan.  

Pelatihan Paralegal

Meskipun tak bisa disamakan dengan advokat, paralegal memiliki fungsi yang sangat luas. Paralegal tidak harus seorang berlatar belakang sarjana hukum, karena persoalan yang dihadapi warga miskin tidak melalui masalah peraturan. Bisa saja merupakan persoalan pelayanan publik atau birokrasi. Menurut Maria Ulfah, oleh karena fungsi paralegal sedemikian luas, maka perlu dibangun pengetahuan dan keterampilan.

Gina Sabrina juga menegaskan kondisi objektif saat ini adalah belum adanya dukungan memadai untuk pendidikan dan pelatihan paralegal. Situasi pandemi saat ini membatasi kapasitas dan intensitas pelatihan, sekaligus perlu penyesuaian-pernyesuaian. Juga perlu dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan pelatihan paralegal seperti tenaga pengajar, bahan pembelajaran, dan pendanaan.

Dalam konteks itu, PBHI mengusulkan tiga rekomendasi. Pertama, berkaitan dengan strategi implementasi kebijakan pelatihan paralegal. Pemerintah perlu menyusun rencana strategis implementasi kebijakan pelatihan paralegal dengan menitikberatkan pada kebutuhan dan kondisi organisasi Pemberi Bantuan Hukum. Kedua, membangun keterlibatan komunitas. Artinya, perlu diseminasi dan penguatan komunitas dan dorongan untuk membangun kerjasama pemerintah dengan Pemberi Bantuan Hukum dalam penyelenggaraan pelatihan paralegal. Ketiga, berkaitan dengan kebijakan teknis seperti buku panduan teknis dan detil, khususnya kurikulum dan struktur program pembelajaran, termasuk model pelatihan selama pandemi.  

Keberhasilan pelatihan paralegal yang baik sangat ditentukan banyak hal. Menurut Maria Ulfah, dukungan negara sangat penting. Misanya, dukungan finansial dan sumber daya pengajar; rencana tindak lanjut untuk pelatihan; dan kejelasan koordinasi mengenai evaluasi atas rekognisi yang telah diberikan BPHN. “Diperlukan dukungan negara, melalui Kementerian Hukum dan HAM, lebih lanjut untuk pelatihan paralegal,” jelas Maria.

Sesuai praktik internasional, ada lima pilar bantuan hukum. Pertama, accessible, bermakna bantuan hukum harus dapat diakses dengan mudah. Kedua, affordability, bermakna bantuan hukum dibiayai oleh negara. Ketiga, sustainable, bermakna bantuan hukum harus terus ada dan tidak tergantung pada donor sehingga negara harus menganggarkannya dalam APBN. Keempat, credibility, berarti bantuan hukum harus dapat dipercaya dan memberikan keyakinan bahwa yang diberikan adalah dalam rangka peradilan yang tidak memihak. Kelima, accountability, yang bermakna bahwa pemberi bantuan hukum harus dapat memberikan pertanggungjawaban kepada BPHN/Kementerian Hukum dan HAM.

Tags:

Berita Terkait