Sidang Pidana Online Dinilai Sulit Menemukan Kebenaran materil
Berita

Sidang Pidana Online Dinilai Sulit Menemukan Kebenaran materil

LBH Jakarta menolak persidangan perkara pidana secara online karena praktiknya sangat merugikan terdakwa.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Salah satu sidang perkara pidana secara online di Pengadilan Negeri Jakarta Utara sekitar April lalu. Foto: Istimewa
Salah satu sidang perkara pidana secara online di Pengadilan Negeri Jakarta Utara sekitar April lalu. Foto: Istimewa

Sidang perkara pidana secara daring (melalui sistem jaringan) saat masa pandemi Covid-19 terus mendapat sorotan dari masyarakat. Sebab, praktiknya dinilai menimbulkan masalah atau kendala teknis dari sisi infrastruktur (sarana). Selain belum ada regulasi sebagai pedoman hukum acara, sidang pidana secara online ini dinilai sangat sulit untuk menemukan kebenaran materil.

Kepala Advokasi LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora menilai perkara pidana secara daring (online) tidak sejalan dengan tujuan hukum acara pidana untuk mencari kebenaran materil dalam mengungkap sebuah perkara. Hal ini hanya bisa dicapai jika sidang digelar secara langsung di pengadilan.

“Sidang perkara pidana di pengadilan dapat melihat kebenaran materil. Kalau sidang online justru akan menjauhkan dari kebenaran materil,” kata Nelson saat dihubungi, Kamis (11/6/2020). (Baca Juga: Problematika Sidang Pidana Daring Saat Pandemi)

Menurutnya, prinsip peradilan pidana untuk mengadili terdakwa dilakukan secara transparan dalam persidangan yang terbuka untuk umum guna mencari kebenaran materil. “Sidang di pengadilan itu kan agar semua fakta dapat terlihat (terungkap, red) sejelas-jelasnya dan kasus menjadi terbuka. Tapi, kalau nanti semuanya sidang digelar secara online (terutama perkara pidana, red), kalau begitu jual saja gedung pengadilannya!”  

Selain itu, jika sidang pidana digelar secara online pun sulit mengontrol adanya dugaan korupsi atau suap di pengadilan “Kita sendiri kan tidak tahu, gerak-gerik hakim, jaksa, pengacara dalam persidangan secara online. Badan Pengawasan MA saja susah menangkap pelaku suap dalam sidang manual, apalagi sidang digelar secara online?”

Karena itu, LBH Jakarta menolak keras jika sidang perkara pidana digelar secara online. Baginya, karakteristik sidang perkara pidana berbeda dengan sidang perkara perdata yang awal persidangan bisa digelar secara online. “Jangan membuat aturan hanya berdasarkan biayanya lebih murah dengan dalih asas peradilan cepat, biaya ringan. Nantinya, kewibawaan peradilan bisa terciderai karena masalah ini,” kata Nelson.

Dia menilai praktik sidang perkara pidana online sangat merugikan terdakwa. Satu contoh, terdakwa akan kehilangan hak untuk berkomunikasi dengan pengacaranya sebelum persidangan. “Biasanya sebelum sidang seorang pengacara berbicara dulu dengan terdakwa dalam rangka pembelaan, tapi kalau sidang online tidak bisa lagi atau sulit bertemu klien kita, padahal itu hak dari terdakwa."

Tak hanya itu, sidang perkara pidana secara online terdakwa rentan dalam tekanan/ancaman pihak tertentu. Sebab, posisi terdakwa biasanya masih berada di lembaga pemasyarakatan (lapas), sedangkan pengacaranya berada di tempat lain yang hanya bisa melihat di layar secara terbatas.

“Jadi, sidang pidana online ini sangat merugikan hak terdakwa. Terlebih kalau pelakunya penyandang disabilitas. Menjawab pertanyaan kita saat sidang manual saja sulit, apalagi sidang online. Itu bagaimana hak-hak dari terdakwa bisa dijamin? Nantinya, asal main putus saja, sehingga mencari kebenaran dan keadilan bagi terdakwa akan sulit,” kata dia.

Berdasarkan pengalamannya dirinya mengikuti sidang online di beberapa pengadilan negeri di Jakarta terlihat kesannya hakim ini seperti bermain-main dalam persidangan. “Menurut saya, tidak relevan ada persidangan online ke depannya, emang mau ada wabah terus-terusan dan akhirnya sidang online terus-terusan? Kan nggak begitu seharusnya memaknainya,” kata dia.

Sekali lagi, Nelson menolak keras adanya sidang pidana online. “Sidang perkara pidana online ini menciderai lembaga peradilan itu sendiri, kewibawaan hakim dan pengadilan juga akan hilang,” tegasnya.

Sebelumnya, Advokat Senior Luhut MP Pangaribuan mengakui penggunaan teknologi teleconference dalam sidang-sidang pengadilan untuk masa depan sebuah keniscayaan. Namun, dia menilai penerapan sidang perkara pidana secara online secara tergesa-gesa dapat mengurangi (mengesampingkan) ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, khususnya standar pembuktian. 

“Karena ini digunakan saat mewabahnya pandemi Covid-19 menjadi wajar, tapi ini tetap jadi kontroversial,” kata Luhut, Selasa (9/6/2020). 

Menurut Luhut, jika persidangan pidana secara online terus digelar bakal mengganggu prinsip fair trial (peradilan jujur dan adil). Sebab, jika infrastruktur untuk mendukung peradilan online yang kurang memadai potensial mengurangi keabsahan proses pembuktian. “Jadi ini mengganggu prinsip fair trial, bagaimana pemeriksaan terdakwa, saksi, bukti-bukti saat infrastruktur yang kurang baik?"

“Tapi, semoga prinsip hukum kala ada perubahan, maka yang diterapkan hal yang paling menguntungkan terdakwalah yang dipilih, fiat iustitia et pereat mundus (keadilan harus tetap ditegakkan meskipun dunia binasa, red).” 

Seperti diketahui, sejumlah pihak menemukan ada beberapa persoalan dalam sidang perkara pidana secara daring di masa pandemi. Seperti, kurangnya pemenuhan hak-hak para pihak; proses persidangan terhambat; adanya kekhawatiran penularan Covid-19 di pengadilan; mekanismenya (hukum acara) terpaksa berubah.    

Selain itu, masih banyak pihak yang belum bisa menggunakan teknologi informasi dan ketersediaan jaringan internet di daerah tertentu ketika ingin melakukan persidangan elektronik. Meski sudah ada nota kesepahaman diantara aparat penegak hukum terkait penggunaan video conference perkara pidana, terutama untuk pemeriksaaan saksi. Tapi, ada hambatan ketersediaan perangkat elektronik di masing-masing instansi, posisi terdakwa, dan keberadaan pihak terkait (saksi).

Dalam beberapa bulan terakhir sejak munculnya pandemi Covid-10 sejumlah lembaga penegak hukum bersepakat menggelar sidang perkara pidana secara daring (online). Dasarnya, Nota Kesepahaman antara MA, Kejaksaan, Kepolisian, dan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan tentang Pelaksanaan Sidang Perkara Pidana melalui Konferensi Video dalam Rangka Pencegahan Covid-19 pada 13 April 2020.

Tags:

Berita Terkait