Sidang Keliling Pengadilan Agama Melegakan
Berita

Sidang Keliling Pengadilan Agama Melegakan

Memberikan kepastian hukum bukan mempermudah perceraian.

HRS
Bacaan 2 Menit
Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Wahyu Widiana pada peringatan Justice Day. Foto: Sgp
Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Wahyu Widiana pada peringatan Justice Day. Foto: Sgp

Efektivitas sistem peradilan dan penegakan hukum sangat erat kaitannya dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar warga negara. Pasalnya, semakin sulit sistem peradilan dan penegakan hukum, pemenuhan hak-hak dasar warga negara semakin jauh.


Demikian dikatakan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Wahyu Widiana pada peringatan Justice Day, Rabu (19/9). Wahyu mengatakan bahwa sistem yang sulit dan berbelit-belit dapat menjadi faktor bagi pencari keadilan jengah dan enggan berurusan dengan hukum.


Pasalnya, sistem yang panjang dan berbelit-belit membuka celah untuk terjadi korupsi. Untuk itu, banyak masyarakat kelompok miskin yang tidak terjangkau hukum.


Melihat permasalahan ini, Peradilan Agama pun melakukan terobosan demi menjangkau kelompok miskin dan kaum marjinal yang terlilit kasus hukum keluarga. Terobosan yang dilakukan adalah sidang keliling dan memberikan layanan gratis melalui pos-pos bantuan hukum.


Untuk diketahui, sidang keliling ini pernah dipandang sebelah mata. Pasalnya, sidang keliling dianggap dapat membuat angka perceraian semakin tinggi. Hal ini dibantah Wahyu Widiana. Menurutnya, sidang keliling bukan untuk mempermudah orang untuk melakukan perceraian, tetapi untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat di bidang hukum keluarga, baik status pernikahan, perceraian, hingga status anak.


Sidang keliling ini telah dijalankan sejak 2011. Selama satu tahun tersebut, program-program tersebut berhasil melebihi ekspektasi. Untuk program bantuan hukum di empat puluh enam Pengadilan Agama, pos ini berhasil melayani lebih dari 35.000 pencari keadilan sedangkan target yang harus dicapai adalah 11.000 pencari keadilan.


Untuk program sidang keliling, program ini berhasil menangani perkara sekitar 18.550 perkara atau lebih besar 60 persen dari target semula, 11.500 perkara. Sementara itu, untuk bantuan hukum pro bono hanya berhasil diberikan kepada 10.500 klien. Sedangkan target yang ingin dicapai adalah 11.500 orang.


“Tidak tercapainya target ini karena sulitnya mendapatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Sementara itu, SKTM adalah sebuah persyaratan untuk menunjukkan bukti tidak mampu,” tutur Wahyu Widiana di Jakarta, Rabu (19/9).


Suksesnya sidang keliling ini didukung oleh organisasi bantuan hukum Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Koordinator Nasional PEKKA Nani Zulminarni mengatakan bahwa sebelum ada sidang keliling ini, masyarakat enggan berurusan dengan pengadilan agama. Menurutnya, pengadilan agama adalah momok yang menakutkan dan dihindari.


Akibatnya, banyak anak yang tidak mendapatkan akta kelahiran. Atau, banyak keluarga yang belum mempunyai akta nikah dan akta perceraian.


Alasan munculnya momok menakutkan dari pengadilan agama adalah banyak penegak hukum yang menyudutkan perempuan. Ia pun menceritakan pengalaman pribadinya. Meskipun majelis hakim tersebut adalah wanita, majelis hakim justru tidak memahami kaumnya.


“Saya dipojokkan dan disalahkan. Sejak itu, pengadilan agama adalah hal yang menakutkan bagi saya,” ucap Nani dengan nada sedikit takut.


Selain rasa takut atas pelayanan yang diberikan penegak hukum, ada faktor pendukung enggannya masyarakat berurusan dengan pengadilan agama. Masyarakat pun menilia karena rumit dan panjangnya proses dalam pembuatan akta nikah dan akta cerai. Akibatnya, lagi-lagi masyarakat lebih memilih bercerai tanpa meminta akta dan menikah kembali dengan orang lain di bawah tangan.


“Ini banyak saya temukan di lapangan,” tegasnya lagi.


Lebih lanjut, Nani mengatakan bahwa melalui sidang keliling yang diorganisasikan oleh paralegal dan kader hukum PEKKA, lebih dari 1.500 perkara itsbat nikah dapat diselesaikan. Pasalnya, paralegal ini memberikan pemahaman terkait hukum keluarga kepada masyarakat setempat.


“Dari korban (paralegal PEKKA, red), menjadi pendekar bagi kaumnya,” pungkasnya.

Tags: