Sidang Etik Pilpres Hadirkan 19 Saksi
Berita

Sidang Etik Pilpres Hadirkan 19 Saksi

Akan dimintai keterangan sekaligus.

ADY
Bacaan 2 Menit
Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie memimpin sidang etik. Foto: RES
Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie memimpin sidang etik. Foto: RES
Dalam sidang keempat dugaan pelanggaran kode etik, DKPP memutuskan akan mendengarkan keterangan  19 saksi dari para pihak yang berperkara. Menurut Ketua majelis, Jimly Asshiddiqie, 10 orang saksi dihadirkan oleh pengadu (kubu Prabowo-Hatta), 2 saksi dari pihak terkait termasuk kubu Jokowi-JK dan 7 saksi dari KPU.

Para saksi itu, kata Jimly, tidak akan memberi keterangan satu per satu. Setiap saksi memberi kesaksian berdasarkan kasus yang sedang dibahas. Misalnya, terkait pembukaan kotak suara. Pada tahap awal, saksi yang akan diminta keterangannya berkaitan dengan pembuktian untuk kasus yang bersinggungan dengan KPU dan Bawaslu pusat. Setelah itu saksi untuk kasus lainnya seperti yang terjadi di Halmahera Timur, Sukoharjo dan Papua.

Dalam perkara Pemilu ada dua jenis saksi yakni formal dan pihak. Dalam peradilan, saksi berfungsi untuk mengungkap fakta. Bisa saja saksi yang dihadirkan adalah orang yang menyaksikan peristiwa terkait tapi bukan bagian dari para pihak. Namun bisa saja saksi berasal dari pihak yang berperkara.

Walau begitu Jimly mengakui untuk membuktikan apakah saksi berpihak atau tidak tergolong sulit. Sebab, sekalipun sudah disumpah saksi yang berasal dari pihak yang berperkara bakal mengarahkan keterangannya sesuai pemenangan pihak yang didukungnya.

Namun yang jelas, Jimly mempersilakan kepada para pengadu, teradu dan pihak terkait untuk menghadirkan saksinya masing-masing di persidangan. Sedangkan keterangan saksi di persidangan akan dinilai majelis. "Silakan mengajukan saksi, nanti kami nilai apakah (saksi,-red) bisa dipercaya apa tidak. Siapa tahu dari sekian banyak saksi ada yang bisa kami percaya," katanya dalam sidang DKPP dugaan pelanggaran etik Pilpres 2014 yang digelar di gedung Kementerian Agama Jakarta, Kamis (14/8).

Dalam persidangn tersebut, tim kuasa hukum Prabowo-Hatta meminta majelis mendahulukan saksi dari Jawa Timur. Setelah dikabulkan anggota tim, Didik Supriyanto, menyebut saksi tersebut akan menjelaskan terkait persoalan pembukaan kotak suara dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb).

Terkait DPKTb, Didik menilai secara nasional terjadi dugaan pelanggaran yang masif, tak terkecuali di Jawa Timur. Padahal sesuai peraturan yang berlaku ia menjelaskan pemilih yang menggunakan DPKTb harus memenuhi syarat. Yaitu pemilih harus memilih di TPS yang sesuai dengan alamat kartu identitas. Kemudian, pemilih baru boleh mencoblos satu jam sebelum pemungutan suara berakhir. "Dugaan pelanggaran DPKTb terjadi secara masif," ujarnya.

Soal pembukaan kotak suara, Didik menyebut saksi yang dihadirkan akan menjelaskan terkait pembukaan kotak suara. Dimana salah satu aduan yang disampaikan ke DKPP yakni terkait Surat Edaran No.1446 Tahun 2014 yang diterbitkan KPU RI. Lewat SE tersebut KPU menginstruksikan jajarannya di berbagai wilayah untuk membuka kotak suara. Kemudian mengambil berkas seperti A5 untuk dilegalisir dan dimasukan kembali ke kotak suara.

Untuk Jawa Timur, kubu Prabowo-Hatta menghadirkan tiga saksi yaitu Muhammad Sholeh, Alfatih dan Taufik Ardiyanto. Saksi Muhammad Sholeh pada intinya menerangkan pihaknya mempertanyakan SK KPU Surabaya yang membolehkan KPPS untuk melayani pemilih yang tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan DPK. Agar dapat menggunakan hak pilihnya, pemilih hanya disyaratkan untuk punya surat keterangan domisili.

Untuk mempertanyakan hal tersebut, Sholeh mengaku telah meminta klarifikasi kepada KPU Surabaya. Namun tidak mendapat tanggapan. "Kami menduga ada pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis," urai koordinator tim advokasi Prabowo-Hatta provinsi Jawa Timur itu.

Soal pembukaan kotak suara di provinsi Jawa Timur, Sholeh mengaku pihaknya tidak pernah mendapat salinan. Baik itu berkas A5 ataupun nama-nama pemilih yang terdaftar dalam DPKTb. Melihat dugaan pelanggaran itu Sholeh menyebut jajaran bawaslu setempat tidak melakukan tindakan.

Saksi selanjutnya mahasiswa FISIP Universitas Airlangga, Alfatih, menjelaskan terkait haknya sebagai pemilih yang tidak terakomodir. Sehingga ia tidak dapat menggunakan hak pilihnya di kota Surabaya. Awalnya ia berpikir dapat mencoblos hanya dengan menunjukan KTP. Alhasil ketika menyambangi TPS pada 9 Juli 2014, KTP yang beralamat Bekasi itu tidak bisa diterima petugas sebagai tiket Alfatih untuk mencoblos.

Setelah mendapat informasi dari rekannya sesama mahasiswa, Alfatih bertandang ke Rumah Sakit (RS) terdekat. Sebab dari informasi yang ia peroleh menyebut pemilih yang hanya bermodal KTP bisa mencoblos di TPS yang ada di RS. Sialnya, setelah mengantri sekitar 1 jam di RS, petugas menutup TPS. "Saya tidak bisa mencoblos karena TPS tutup," keluhnya.

Saksi berikutnya warga Siwalankerto, Surabaya, Taufik Ardiyanto, menyebut dirinya dan sanak keluarganya tidak mendapat surat undangan (C6) untuk memilih di TPS. Oleh karenanya, pendukung Prabowo-Hatta itu mengaku kecewa. Padahal dia telah tinggal di daerah tersebut sejak lama. Bahkan ia mengaku lurah pertama di kampungnya itu berasal dari keluarganya. Walau bisa menggunakan hak pilihnya, Taufik tetap menyesalkan tindakan penyelenggara Pemilu di daerahnya. "Saya kecewa tidak mendapat surat undangan untuk mencoblos," ujarnya.

Menanggapi kesaksian itu sebagai teradu komisioner KPU, Juri Ardiantoro, melontarkan sejumlah pertanyaan kepada saksi sekaligus penjelasan. Soal TPS di RS ia menegaskan pemilih bisa menggunakan hak pilihnya jika memiliki formulir A5. Pemilih yang bisa menggunakan hak pilihnya di TPS RS hanya orang yang sedang dirawat dan petugas RS tersebut.

Soal tidak dapat mencoblos karena TPS tutup Juri menjelaskan seharusnya pemilih mendaftarkan dirinya terlebih dulu kepada petugas TPS. Menjawab pertanyaan Juri, Alfatih mengakui dirinya tidak mendaftar pada petugas TPS karena melihat jumlah antrian sangat panjang. Sehingga ia memilih untuk berada diluar baris antrian. Ujungnya, ketika TPS di RS tersebut tutup, Alfatih tidak bisa lagi mencoblos. “Anda belum mendaftar (sebagai pemilih,-red) kepada petugas,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait