Siapa Sesungguhnya Korban dalam Kasus “Slenderman”? Oleh: Bunga Siagian
Kolom

Siapa Sesungguhnya Korban dalam Kasus “Slenderman”? Oleh: Bunga Siagian

Diharapkan setiap masyarakat tidak dengan mudah memberikan stigma pada anak yang berperilaku menyimpang karena pada dasarnya mereka juga adalah korban.

Bacaan 2 Menit

 

Pada studi yang sama ditemukan pula bahwa korban perempuan yang sebelumnya beberapa kali menjadi korban kekerasan seksual baru menunjukkan perilaku menyimpang pada saat sudah lebih tua atau remaja.

 

Hasil riset di atas sejalan dengan yang dinyatakan oleh seorang victimolog anak, Finkelhor, dalam buku Child Victimization. Finkelhor dalam bukunya menemukan teori Developmental Impact yang menunjukkan adanya perbedaan dampak anak menjadi korban dalam proses perkembangannya.

 

Hal ini bergantung pada tahap perkembangan anak dan bagaimana anak menilai peristiwa tersebut sehingga berdampak pada bagaimana ia bertindak. Dalam hal anak menilai dengan benar dan diberi pemahaman melalui lingkungannya, termasuk keluarga dan pergaulannya, maka ia akan mampu mengatasi dan bertumbuh dengan sehat. Sebaliknya, apabila tidak didukung dengan lingkungan yang sehat, penyimpangan perilaku dapat terjadi.

 

Salah satu contoh kasus fenomenal adalah yang terjadi pada Elizabeth atau dikenal sebagai Beth Thomas di Amerika Serikat pada 1989. Dalam wawancara yang diunggah berjudul Child at Rage, terlihat Beth, anak yang masih berumur 6 tahun, tanpa perasaan bersalah menceritakan apa yang dilakukannya terhadap adiknya John yang masih bayi.

 

Ia memukul kepala, serta mencubit, meremas, dan menendang penis dan pantat adik yang masih bayi tersebut. Setelah diteliti oleh seorang psikolog klinis, Beth rupanya telah mengalami kekerasan fisik dan seksual secara parah pada saat usianya 1 tahun oleh ayah kandungnya.

 

Kekerasan tersebut menimbulkan trauma yang serius hingga dapat mengakibatkan ganggungan yang menunjukkan ketiadaan keterikatan emosional dengan orang lain, tidak menerima ataupun memberikan cinta, kepercayaan, maupun kepedulian dari dan kepada orang lain atau disebut dengan Reactive Attachment Disorder.

 

Penanganan pada Anak Berperilaku Menyimpang

Dalam menangani anak berperilaku menyimpang seperti N, yang menurut Undang-undang 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) merupakan anak berhadapan dengan hukum (“ABH”), perlu dijunjung prinsip kepentingan terbaik bagi anak.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait