Siap-Siap! RKUHP Bakal Disahkan Menjadi UU
Utama

Siap-Siap! RKUHP Bakal Disahkan Menjadi UU

Ada 3 fraksi memberi catatan kritis atas rencana pengesahan RUU KUHP menjadi UU. Diantaranya Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS yang tetap menolak sejumlah ketentuan dalam draf RKUHP yang bertentangan dengan proses demokratisasi, khususnya jamiman hak kebebasan berpendapat/berekspresi dan pemajuan hak-hak sipil.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Setelah melalui pembahasan dalam waktu yang cukup panjang, akhirnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) atau RUU KUHP rampung dibahas bersama oleh pemerintah dan DPR di tingkat I. Meskipun 9 fraksi memberikan persetujuan secara bulat dalam pengambilan keputusan tingkat I, namun terdapat sejumlah catatan yang beragam dari masing-masing fraksi. Tahapan selanjutnya, RKUHP bakal diboyong dalam rapat paripurna terdekat untuk diambil keputusan persetujuan menjadi UU.

“Apakah naskah RKUHP dapat dilanjutkan pada pembahasan tingkat II yakni pengambilan keputusan atas RKUHP yang akan dijadwalkan dalam rapat paripurna terdekat, apakah dapat disetujui?” ujar Ketua Panitia Kerja (Panja) RKUHP Adies Kadir dalam rapat kerja dengan pemerintah di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (24/11/2022).

Baca Juga:

Sembilan fraksi partai yang memberikan persetujuan secara bulat antara lain Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan Indonesia (F-PDIP), Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi Nasdem, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP).

Catatan 3 fraksi

Namun, ada beberapa fraksi partai yang memberikan catatan. Seperti Fraksi Partai Nasdem dalam pandangannya mininya melalui juru bicaranya, Taufik Basari mengatakan DPR dan pemerintah telah menyepakati perubahan mendasar hukum pidana melalui RKUHP berdasarkan masukan dari Komisi III dan masyarakat sipil. Kendati tak semua masukan diakomodir, tapi cukup banyak hal substansial dituangkan dalam perubahan norma dan pasal.

“Kami menilai ada progress positif dari draf sebelumnya, telah tampak pihak pemerintah mengakomodir masukan Komisi III dan masyarakat sipil,” ujarnya.

Sementara anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Hinca Pandjaitan dalam pandangan mininya, menilai ada beberapa catatan. Pertama, semangat RKUHP setelah disahkan menjadi UU semestinya berorientasi pada pembaharuan hkum pidana yang mencakup nilai-nilai sosio politik, sosio filosofis, dan sosia kultural Indonesia. Kedua, penerapan KUHP wajib mengedepankan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana.

“Ini penting sebagai upaya untuk mengurangi over kapasitas di lapas,” ujarnya menekankan.

Ketiga, pemerintah wajib menjamin implementasi KUHP harus konsisten, serta tidak dengan mudahnya mengkriminalisasi masyarakat. Menurutnya, RKUHP dalam perumusan dan pembahasan memang menjamin tidak mengkriminalisasi masyarakat. Namun demikian, Hinca mengingatkan dalam pelaksanaan KUHP harus menjamin hak-hak masyarakat terutama hak kebebasan berpendapat atau berekpresi.

Karena itulah, edukasi dan sosialisasi terhadap aparat penegak hukum atas berlakunya KUHP yang baru nanti amat diprioritaskan. Keempat, pilihan tiga tahun menjadi masa penyesuaian pemberlakuan KUHP (transisi, red) baru menjadi tepat untuk memberi kesempatan seluas-luasnya bagi pemerintah untuk bertatap muka dan berdialog dengan masyarakat dan aparat penegak hukum. Termasuk pemerintah daerah dalam memastikan pidana adat menjadi hal baru dalam KUHP.

“Kita harus menyatakan ini KUHP kita bersama,” katanya.

Sementara Anggota Komisi III dari F-PKS Achmad Dimyati Natakusuma dalam pandangan mini fraksinya, menegaskan penolakan terhadap sejumlah ketentuan dalam draf RKUHP yang bertentangan dengan proses demokratisasi. Khususnya hak kebebasan berekspresi atau berpendapat, dan pemajuan hak-hak sipil.

Tak hanya itu, kata Dimyati, F-PKS menolak rumusan delik penghinaan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, serta lembaga negara. Dia beralasan delik-delik tersebut sangat kental dengan semangat feodalisme dan kolonialisme yang sejatinya hendak direformasi dari KUHP peninggalan kolonial Belanda.

“Adalah hal yang sangat disayangkan rumusan delik tersebut menjadi alat membungkam kritik rakyat kepada penguasa. F-PKS berpendapat upaya konsultasi dan pelibatan masyarakat masih dirasa kurang oleh tim penyusun RKUHP,” kritiknya.

Sementara Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej mewakili pemerintah mengatakan pembahasan RKUHP membutuhkan waktu panjang dalam pembicaraan tingkat pertama. Tapi setelah rampung, seluruh fraksi telah memberikan persetujuan agar RKUHP diboyong ke dalam rapat paripurna untuk pengambilan keputusan tingkat II alias disahkan menjadi UU.

Dia yakin DPR memiliki pandangan yang sama dengan pemerintah agar RKUHP dapat segera disahkan menjadi UU sebagai wujud kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat dan negara. Menurutnya, dengan disetujuinya RKUHP menjadi UU nantinya menjadi peletak dasar bangunan sistem hukum pidana guna mewujudkan misi dekolonialisasi KUHP serta adaptasi perkembangan hukum pidana. Termasuk perkembangan standar hukum yang hidup sebagai kedaulatan yang bertanggung jawab

“Kami mewakili pemerintah menyambut baik atas diselesaikannya pembahasan RKUHP di tingkat satu dan diteruskan dalam pengambilan keputusan di tingkat II,” katanya.

Tags:

Berita Terkait