Setya Novanto Kembali Jadi Tersangka, KPK: Siap Hadapi Perlawanan Hukum
Berita

Setya Novanto Kembali Jadi Tersangka, KPK: Siap Hadapi Perlawanan Hukum

Pengacara Setya Novanto kembali melaporkan pimpinan KPK ke Bareskrim Mabes Polri.

Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Setya Novanto
Setya Novanto

KPK kembali menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaaan korupsi KTP elektronik (KTP-e). "KPK menerbitkan surat perintah penyidikan pada tanggal 31 Oktober 2017 atas nama tersangka SN (Setya Novanto), anggota DPR RI," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, sebagaimana dikutip dari Antara, Jumat (10/11).

 

Saut mengatakan, KPK sudah mempelajari dengan seksama putusan praperadilan yang diputus pada 29 September 2017 serta aturan hukum yang terkait. Untuk itu KPK pada 5 Oktober 2017 melakukan penyelidikan baru untuk pengembangan perkara KTP-e dan telah meminta keterangan sejumlah pihak serta mengumpulkan bukti-bukti yang relevan.

 

"Proses penyelidikan tersebut telah disampaikan permintaan keterangan terhadap saudara SN sebanyak 2 kali pada 13 dan 18 Oktober 2017, namun yang bersangkutan tidak hadir dengan alasan ada pelaksanaan tugas kedinasan. Setelah proses penyelidikan terdapat bukti permulaan yang cukup kemudian pimpinan KPK bersama tim penyelidik, penyidik dan penuntut umum melakukan gelar perkara pada akhir Oktober 2017," tambah Saut.

 

KPK menilai, Setya Novanto selaku anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjono, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri dan Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitment (PPK) Dirjen Dukcapil Kemendagri dan kawan-kawan diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan sehingga diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara atas perekonomian negara sekurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam pengadaan paket penerapan KTP-e 2011-2012 Kemendagri.

 

Setya Novanto disangkakan Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sebagai pemenuhan hak tersangka, KPK mengantarkan surat tertanggal 3 November 2017 perihal Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Setya di rumah di Jalan Wijaya XIII Melawai Kebayoran Baru pada Jumat sore, 3 November 2017.

 

"KPK berharap seluruh pihak dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi untuk memastikan Indonesia lebih baik bagi anak cucu kita," tambah Saut.

 

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, KPK siap menghadapi perlawanan hukum yang mungkin akan dilakukan Setya Novanto setelah ditetapkan kembali menjadi tersangka dalam kasus korupsi KTP-e. "Segala kemungkinan hukum tentu bisa saja dilakukan oleh pihak mana pun yang ada kaitan kepentingan. Sepanjang itu tersedia, tentu saja KPK akan menghadapi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Misalnya, ketika ada perlawanan dari aspek substansi akan kami sokong dari substansi," katanya.

 

Soal Setya Novanto yang kemungkinan akan mengajukan praperadilan kembali, Febri menegaskan pihaknya akan fokus terlebih dahulu pada proses penyidikan. "Kami fokus pada proses penyidikan ini," kata Febri.

 

Ia pun memastikan KPK akan kembali memanggil saksi-saksi untuk diperiksa dalam penyidikan dengan tersangka Setya Novanto. "Saksi-saksi akan kami lakukan pemeriksaan juga dalam proses penyidikan dengan tersangka Setya Novanto untuk menggali lebih jauh kontruksi dari kasus KTP-e ini," ucap Febri.

 

Febri pun menyatakan tidak akan memanggil semua saksi yang sama seperti pada penyidikan terhadap Setya Novanto sebelumnya. "Dari hasil evaluasi tim penyidik hanya saksi-saksi yang relevan saja. Jadi, tidak perlu harus semua saksi tersebut harus dipanggil untuk diperiksa. Selain itu, terdapat juga beberapa saksi-saksi baru yang belum dipanggil pada proses sidang untuk Irman dan Sugiharto yang juga perlu kami periksa lebih lanjut," tuturnya.

 

Sebelumnya, Setya Novanto pernah ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus proyek KPK-e pada 17 Juli 2017 lalu. Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim Tunggal Cepi Iskandar pada 29 September 2017 mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto sehingga menyatakan bahwa penetapannya sebagai tersangka tidak sesuai prosedur.

 

(Baca Juga: Pertimbangan Hakim Batalkan Status Tersangka Setya Novanto)

(Baca Juga: Ini Kata KPK Soal Adanya Gugatan Setya Novanto ke PTUN Jakarta)

 

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Oce Madril, menilai, KPK harus mempercepat proses perkara Setya Novanto yang kembali ditetapkan sebagai tersangka kasus KTP-e. "KPK harus cepat, kalau sudah cukup alat bukti setelah sebelumnya ditetapkan tersangka, baiknya segera dilimpahkan ke pengadilan dan jangan menunggu terlalu lama," ujarnya di sela-sela Konferensi Nasional Hukum Tata Negara di Jember, Jawa Timur.

 

Menurut Oce, penetapan Novanto sebagai tersangka adalah legal, karena KPK memang memiliki wewenang untuk menetapkan Novanto kembali sebagai tersangka. Dengan mempercepat pelimpahan perkara ke persidangan, maka pokok perkara tersebut secara otomatis akan terbuka dan pihak Novanto juga memiliki kesempatan untuk memberikan pembelaannya.

 

Selain itu, dengan mempercepat pelimpahan perkara ke pengadilan, maka akan mempersempit ruang bagi Novanto untuk kembali mengajukan praperadilan. Hal ini dikatakan oleh Oce, karena tidak menutup kemungkinan Novanto kembali mengajukan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka kasus KTP-e untuk kedua kalinya.

 

Selain itu, dengan pelimpahan berkas perkara ini ke persidangan maka kasus ini juga dapat segera diselesaikan dan status Novanto juga tidak terkatung-katung. "Kalau perkara sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor, ya praperadilannya akan gugur, sehingga kesempatan dia untuk membela diri adalah di Pengadilan Tipikor," ujar Oce.

 

Sementara itu, kuasa hukum Setya Novanto melaporkan pimpinan KPK atas dugaan tindakan perlawanan terhadap putusan pengadilan dan penyalahgunaan kekuasaan. "Kami dari tim kuasa hukum telah resmi melaporkan para pimpinan KPK ke Bareskrim atas dugaan tindak pidana pelanggaran Pasal 414 jo Pasal 421," kata pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi.

 

Dalam laporannya, pihaknya melaporkan para pimpinan KPK yang menandatangani Sprindik baru untuk Setya Novanto yakni Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Dirdik KPK Aris Budiman dan penyidik KPK Adam Manik. "Yang kami laporkan Agus Rahardjo, Aris Budiman, Saut Situmorang, Adam Manik. Karena mereka yang tanda tangani surat itu semua," katanya.

 

Laporan diterima Bareskrim dengan nomor LP/1192/XI/2017/Bareskrim tertanggal 10 November 2017. "Di mana Pasal 414 itu barangsiapa melawan putusan pengadilan, diancam hukuman penjara 9 tahun. Pasal 421, barangsiapa menyalahgunakan kekuasaannya diancam satu tahun delapan bulan," katanya.

 

(Baca Juga: SPDP Dua Pimpinan KPK Terbit, KPK: Polri Pasti Profesional!)

 

Fredrich menuding Sprindik baru yang dikeluarkan KPK cacat hukum karena memiliki isi yang sama dengan Sprindik sebelumnya yang penyidikannya telah dihentikan oleh putusan pra peradilan. "Apa yang tertera dalam Sprindik 56, telah dikopi paste, dimasukkan pada Sprindik 113 sekarang ini," katanya.

 

Ia menambahkan bahwa KPK selama ini telah mengabaikan Pasal 20a Ayat 3 Undang Undang Dasar 1945 yang isinya berbunyi anggota DPR mendapatkan hak imunitas dalam hukum. "Pasal 20a Ayat 3 menyatakan anggota dewan mendapat imun. Tidak bisa dituntut. Tapi mereka melecehkan anggota dewan yang dipilih rakyat," katanya.

 

Ia pun kembali menegaskan bahwa bila KPK hendak memeriksa Setya maka pemeriksaan terhadap kliennya itu harus atas izin dari Presiden Joko Widodo. "Anggota dewan itu imun, tidak bisa diperiksa, sudah diberikan kesempatan untuk minta izin pada presiden. Kenapa sih? Kok begitu berat, kok begitu takut minta izin kepada presiden?" katanya.

 

Fredrich bahkan menuduh ada intervensi politik di tubuh KPK karena banyaknya kader Partai Golkar yang tertangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Dalam kesempatan tersebut, pihaknya juga menyindir kinerja KPK yang tidak mampu bekerja dengan baik untuk menurunkan tingkat korupsi di Indonesia dan hanya menghabiskan anggaran.

 

"Apa yang dilakukan (KPK) selama ini? tidak ada. Dalam hal ini seperti sinetron saja. Kalau ada apa-apa panggil wartawan ribut-ribut. Kerja tidak ada buktinya. Berapa uang yang diselamatin selama 12 tahun keberadaan KPK? Rp1,2 triliun. Berapa anggaran pemerintah yang dihabiskan setiap tahun untuk KPK? Rp800 juta sampai Rp900 juta," paparnya.

 

Ia juga menyatakan keyakinannya bahwa laporan yang ia buat akan dilanjutkan proses hukumnya oleh penyidik Bareskrim. "Seribu persen, saya yakin (diproses)," pungkasnya. (ANT)

Tags:

Berita Terkait