Setnov Didesak Mundur dari Kursi Pimpinan DPR
Berita

Setnov Didesak Mundur dari Kursi Pimpinan DPR

Agar dapat fokus menghadapi persoalan hukum kasus e-KTP di KPK. Bila tidak mundur akan mencoreng wajah lembaga DPR.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ketua DPR Setya Novanto didampingi wakil ketua DPR lain usai memberi keterangan kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (18/7). Foto: RES
Ketua DPR Setya Novanto didampingi wakil ketua DPR lain usai memberi keterangan kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (18/7). Foto: RES
Status yang disandang orang nomor satu di lembaga legislatif, Setya Novanto menjadi banyak sorotan publik. Bisa jadi, jutaan pasang mata memantau perkembangan informasi seputar status hukum Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi pengadaan proyek e-KTP. Tak sedikit pula suara-suara sumbang agar Setnov “hengkang” dari kursi Ketua DPR pun mulai terdengar.

Anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto berpendapat status hukum yang melekat pada orang nomor satu di parlemen tak dapat dibiarkan. Meski tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah, tetapi secara etika Setnov mesti menanggalkan jabatannya sebagai Ketua DPR. Setnov mestinyalegowo menanggalkan kursi yang ditempatinya, sehingga dapat fokus persoalan hukum yang dihadapinya di KPK.

“Secara etika sebagai Ketua DPR tentu akan lebih bijak dan legowo apabila beliau meletakan jabatannya sebagai Ketua DPR,” ujarnya di Gedung DPR, Selasa (18/7). Baca Juga: Menunggu Langkah Tim Lawyer, Setnov Janji Taati Proses Hukum  

Ia berpandangan meski ada asas praduga tak bersalah, etika dalam bernegara pun mesti dijunjung tinggi. Terlebih, lembaga DPR sebagai representasi rakyat harus dihormati. Atas dasar itu, aspek ke-legowo-an harus ada dalam diri anggota dewan yang tersandung kasus hukum. “Yakni, mengundurkan diri dari posisi anggota DPR agar beliau juga fokus menghadapi persoalan hukum di KPK,” tegasnya.

Meski pria biasa disapa Setnov itu kekeuh ogah mundur dari kursi Ketua DPR, justru bakal berdampak terhadap citra lembaga legislatif di mata masyarakat dan menambah corengan hitam wajah lembaga DPR, termasuk menambah beban berat bagi anggota dewan. Hal ini diamini politisi muda Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia yang memiliki komitmen mengedepankan kepentingan yang lebih besar ketimbang partai. 

Karena itu, kata Doli, sejak Setnov disebut namanya dalam surat dakwaan kasus e-KTP di Pengadilan Tipikor dengan terdakwa Irman dan Sugiharto disarankan agar mundur. Demikian pula mundur dari kursi nomor satu di Partai Golkar. “Saya sudah menyarankan saat itu agar beliau segera mengundurkan diri dan keluarga besar Golkar harus segera menyiapkan diri melakukan pergantian kepemimpinan baru,” ujarnya.

Terpisah, Koordinator korupsi politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz berpandangan dengan ditetapkannya sebagai tersangka, Setnov mesti mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan sebagai pimpinan lembaga negara. Sebab, bisa jadi dengan kewenangan yang dimiliki, Setnov dapat melakukan perlawanan atas proses hukum yang berujung terjadinya konflik kepentingan.‌

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan status hukum Setnov tak mengganggu kinerja lembaga DPR. Sebab, pimpinan DPR berlaku kolektif sesuai bidangnya masing-masing. Menurutnya, persoalan pimpinan sepanjang tak ada perubahan komposisi kader yang dikirim ke pimpinan DPR maka sejak itu pula tak ada perubahan.

“Persoalan pimpinan DPR sejauh tidak ada perubahan dari partai atau fraksi, maka tidak ada perubahan juga konfigurasi kepemimpinan DPR,” ujarnya.

Kepala Badan Keahlian DPR Jhonson Rajagukguk sependapat dengan Fadli. Menurutnya dalam UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) telah diatur persyaratan pemberhentian pimpinan DPR, khususnya Pasal 87 ayat (1) UU MD3. Yakni, meninggal dunia, mengundurkan diri, dan diberhentikan.

Sedangkan, terhadap pimpinan DPR yang tersandung kasus hukum misalnya, dapat diberhentikan sebagaimana tertuang dalam Pasal 87 ayat (2) huruf c UU MD3. Yakni ketika sudah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana lima tahun atau lebih.

“Karena nasib tersangka tentu tidak ada pengaruh terhadap Pak Setya Novanto sebagai Ketua DPR. Kami sampaikan sesuai dengan UU MD3 saja,” katanya.
Tags:

Berita Terkait