Setelah Ada yang Dipailitkan, Usaha Perasuransian Butuh Kepastian Hukum
Berita

Setelah Ada yang Dipailitkan, Usaha Perasuransian Butuh Kepastian Hukum

Guna menarik minat investor lokal masuk ke industri perasuransian. Merger antar perusahaan asuransi bisa dilakukan.

Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES

Pengamat Peransuransian Irvan Rahardjo mengatakan, nasib asuransi yang dinyatakan pailit menjadi batu sandungan yang menyebabkan investor lokal enggan untuk berinvestasi di industri peransuransian. Tidak ada kepastian hukum dan mekanisme yang jelas jika suatu saat perusahaan mengalami kesulitan pendanaanyang bisa berakibat pada kolapsnya usaha perasuriansian.

“Selain return-nya yang rendah dan jangka panjang, juga tidak ada kepastian hukum. Lihat contoh kasus Asuransi Bumiputera dan nasib asuransi yang dipailitkan,” kata Irvan kepada hukumonline, Selasa (25/9).

Dulu, lanjut Irvan, sebelum lahirnya UU No. 11 Tahun 2015 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), penanganan perbankan maupun Industri Non Keuangan dan Bank (IKNB) yang bermasalah adalah melalui mekanisme bail out. Pasca UU JPSK disahkan, INKB yang bermasalah hingga kolaps, pertanggungjawaban penuh ada pada pemilik dan manajemen perusahaan. Sistem ini disebut dengan bail in. Sedangkan sektor perbankan, pemerintah membentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang resmi beroperasi pada 2005 silam.

(Baca juga: Batasan Kepemilikan Asing di Perusahaan Asuransi).

Irvan merujuk kepada UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. UU Perasuransian mengamanatkan pemerintah untuk membentuk Lembaga Penjamin Polis (Pasal 53), membuat program asuransi wajib seperti gempa bumi (Pasal 39), dan membuat Peraturan Pemerintah tentang Mutual (Pasal 6 ayat 3). Sayangnya, empat tahun berlalu sejak UU Perasuransian diterbitkan, pemerintah belum menuntaskan tiga amanat tersebut.

Salah satu kasus asuransi yang dinyatakan pailit adalah PT Asurasi Jiwa Bumi Asih Jaya (BAJ). Mahkamah Agung menyatakan pailit perusahaan asuransi ini pada pertengahan 2016 lalu. Pemohon pailit adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lolos di tingkat pengadilan niaga, BAJ akhirnya dinyatakan pailit di Mahkamah Agung.

Majelis menyatakan judex facti Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat keliru mengaitkan Keputusan Dewan Komisioner OJK dengan perkara kepailitan. Objek sengketa antara perkara kepailitan dengan Pengadilan Tata Usaha Negara berbeda, dan tidak ada kaitan sama sekali. Hal tersebut terlihat dari substansi sengketa Tata Usaha Negara dimana yang menjadi objek adalah Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Nomor KEP-12/D.05/2013, tanggal 18 Oktober 2013 tentang pencabutan izin usaha PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya.

Sebaliknya, yang menjadi permasalahan pokok dalam perkara  kepailitan adalah Termohon Kasasi memiliki dua atau lebih kreditur dan tidakmembayar lunas setidak-tidaknya satu utang yang telah jatuh tempo. Persyaratan ini sesuai Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Majelis juga berpendapat tidak terpenuhinya tingkat solvabilitas dari resiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat deviasi dalam pengelolaan kekayaan sebagaimana dimaksud Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 2008 mengenai usaha perasuransian. Karena alasan itu, Mahkamah Agung berpendapat terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat.

BAJ kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Majelis PK menyatakan permohonan BAJ tidak dapat diterima karena sudah melewati batas waktu 30 hari sebagaimana dinyatakan Pasal 296 ayat (2) UU Kepailitan. Putusan kasasi sudah diberitahukan pada 16 Mei 2016, tapi BAJ baru mengajukan permohonan PK pada 21 Juni 2016.

Insentif

Selain menyoal kepastian hukum, minimnya minat investor dalam negeri masuk ke sektor industri peransuransian disebabkan kurangnya insentif dari pemerintah. Irvan berpendapat, industri perasuransian Indonesia membutuhkan insentif, salah satunya adalah insentif di bidang perpajakan.

Menurut dia, Pemerintah harus berani memberikan insentif kepada perusahaan asuransi yang melakukan merger, semisal pengurangan PPh 21 atau dalam bentuk keringanan iuran OJK dan fasilitas lain. Dalam setiap merger yang dilakukan oleh dua perusahaan, terdapat pengalihan aktiva atau harta berupa tanah dan bangunan yang akan dikenakan PPh final sebesar 5 persen dari dari harga jual.

“Yang dibutuhkan itu insentif untuk merger di antara pelaku industri agar terjadi penguatan permodalan dan jumlah asuransi berkurang. Harus ada insentif perpajakan atau bentuk insentif lain agar pelaku usaha terdorong melakukan merger. Kalau perusahaan merger, pajak dikurangi dan sebagainya. Pajak perseroan bisa diturunkan bila perusahaan melakukan merger. Ini wewenang Ditjen Pajak dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu),” jelas Irvan.

(Baca juga: Industri Asuransi Minta OJK Tegas Batasi Engineering Fee).

Melalui merger antar pelaku industri lokal, Irvan meyakini secara tidak langsung akan membatasi masuknya pemain asing ke dalam industri perasuransian di Indonesia. Pembatasan permodalan asing di perusahaan asuransi sudah diatur dalam PP No. 14 Tahun 2018 tentang Kepemilikan Asing pada Perusahaan Perasuransian. PP Kepemilikan Asing menyebutkan bahwa kepemilikan asing tidak boleh melebihi 80 persen dari modal disetor perusahaan. Namun batasan kepemilikan asing ini tidak berlaku ada perusahaan perasuransian yang merupakan perusahaan terbuka. Saat ini, dari 62 perusahaan asuransi (join venture), sebanyak 23 perusahaan dengan kepemilikan asing lebih dari 80 persen, sedangkan sebanyak 39 perusahaan dengan kepemilikan asing kurang dari 80 persen.

Irvan juga mengatakan perlunya ketegasan dari OJK selaku lembaga yang mengawasi INKB. OJK harus menegakkan disiplin pasar. “Sekarang OJK menetapkan tarif tapi pelanggaran terus terjadi dan destruktif karena tidak ada sanksi. Akibatnya terjadi perang tarif yang tidak sehat,” tegasnya.

Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Dadang Sukresna enggan memberikan penjelasan atas wacana insentif untuk industri perasuransian. Ia berdalih, pihaknya belum diajak bicara untuk membahas persoalan tersebut.

“Mohon maaf, perihal dimaksud saya belum dapat memberikan komentar berhubung kami belum diajak bicara hal ini. Salam,” demikian bunyi pesan singkat Dadang yang diterima oleh hukumonline, Selasa (25/9).

OJK tidak memberikan penjelasan lebih lanjut atas masukan Irvan, termasuk kasus BAJ. Dalam permohonan kasasi, OJK mengatakan pencabutan izin AJ BAJ merupakan konsekuensi hukum yang harus diterima perusahaan asuransi itu sebagai akibat dari tidak dapat terpenuhinya tingkat solvabilitas paling sedikit 120% (seratus dua puluh per seratus) dari risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam PP No. 81 Tahun 2008, meskipun Termohon Kasasi telah melakukan pembinaan-pembinaan kepada Termohon Kasasi.

Tags:

Berita Terkait