Setara Institute Pesimis Penuntasan Pelanggaran HAM Masa Lalu
Terbaru

Setara Institute Pesimis Penuntasan Pelanggaran HAM Masa Lalu

Keppres 17/2022 menjadi upaya ‘pemutihan’ secara kolektif atas berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Bahkan menjadi instrumen pembungkaman yang ditujukan dalam menghambat aspirasi korban dan publik dengan beragam janji.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Upaya pemerintah menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu terus dilakukan seiring telah terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) No.17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu.  Tapi, kebijakan pemerintah melalui beleid tersebut terus menuai keraguan dari kalangan pegiat HAM.

Ketua SETARA Institute for Democracy and Peace Hendardi menilai Keppres 17/2022 merupakan bagian pembakuan impunitas atas berbagai pelanggaran HAM masa lalu serta mengubur kebenaran peristiwa dan “memutihkan” sejumlah pelaku yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat masa lalu.

“Keppres ini bukanlah cara Jokowi mengambil tanggung jawab konstitusional dan kewajiban negara menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu, tetapi berpura-pura bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu,” ujarnya melalui keterangannya, Kamis (22/9/2022).

Baca Juga:

Hendari menegaskan Keppres 17/2022 upaya “pemutihan” secara kolektif atas berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Bahkan, menjadi instrumen pembungkaman yang ditujukan dalam menghambat aspirasi korban dan publik dengan janji-janji rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa, atau rekomendasi lain untuk kepentingan korban dan keluarganya.

Menurutnya, disain Keppres 17/2022 bukanlah cara yang diajarkan dalam disiplin hukum HAM atau praktik internasional terkait keadilan transisi (transitional justice) atas pelanggaran HAM masa lalu. Sebab, syarat utama penyelesaian non-yudisial harus didahului upaya pengungkapan kebenaran. Kemudian verifikasi visibilitas penyelesaian secara hukum dengan cara kerja yang tidak terburu-buru.

“Hal ini dipastikan tidak akan mungkin terjadi dan tidak mungkin bisa dilakukan oleh Tim bentukan Presiden Joko Widodo ini,” kata Hendardi pesimis.

Presiden Joko Widodo memang sempat menuturkan Keppres tersebut telah diteken pada 16 Agustus 2022 dan diumumkan saat pidato kenegaraan di Komplek Gedung MPR. Tapi faktanya, Keppres tersebut diteken 26 Agustus 2022. Bagi Hendardi, ada ketidakjujuran secara teknis yang menggambarkan kehendak “pemutihan” pelaku pelanggaran HAM, bukan sepenuhnya datang dari diri Jokowi. Tapi, dari orang-orang di sekeliling Presiden yang diduga terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM masa lalu.

Menurutnya, kebijakan kontroversial dan tidak berkeadilan itu hanya dapat dimungkinkan terbit saat seorang presiden tidak memiliki kecukupan kapasitas dan tidak memiliki pemahaman utuh atas persoalan kemanusiaan. Juga saat seorang presiden tersandera oleh banyak variabel kepentingan. “Termasuk sikap obsesif menjabat 3 periode atau memperpanjang masa jabatannya,” kata dia.

Hendardi melanjutkan penegasan cakupan peristiwa yang bakal diselesaikan secara non-yudisial berdasarkan data dan rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) hingga 2020 menunjukkan ketidakpatuhan pemerintah pada mandat UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebab, UU 26/2000 memerintahkan terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi, setelah UU tersebut diundangkan harus diselesaikan melalui pengadilan HAM permanen.

“Tidak ada ruang bagi bagi Komnas HAM maupun Presiden Jokowi untuk membelokkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM setelah tahun 2000, kecuali diselesaikan melalui pendekatan yudisial (pengadilan HAM, red),” lanjutnya.

Hendari pun pesimis dengan tim bentukan Presiden Jokowi melalui Keppres 17/2022. Menurutnya, dengan komposisi tim bentukan presiden tak akan memperoleh legitimasi publik dan pengakuan internasional. Malahan, langkah tersebut dipandang Hendardi hanya mencetak prestasi yang tak jelas. “Basa basi penuntasan pelanggaran HAM sudah tergambar jelas pada tubuh pemerintahan Jokowi,” ujarnya.

Melalui Keppres tersebut, Presiden Jokowi membentuk dan menetapkan formasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM). Tim PPHAM terdiri dari dua. Pertama, tim pelaksana yang terdiri dari Makarim Wibisono sebagai Ketua, Ifdhal Kasim sebagai Wakil Ketua, Suparman Marzuki sebagai Sekretaris. Sementara anggota terdiri dari Apolo Safanpo, Mustafa Abubakar, Harkristuti Harkrisnowo, As’ad Said Ali, Kiki Syahnakri, Zainal Arifin Mochtar, Akhmad Muzakki, Komarudin Hidayat, dan Rahayu.

Kedua, tim pengarah diketuai oleh Menkopolhukam Moh Mahfud MD, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sebagai Wakil Ketua. Sementara anggota tim pengarah  diisi oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sosial Tri Rismaharini dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Tim pengarah ini bertugas untuk memberikan arahan, memantau hingga memberi rekomendasi atas kerja Tim PPHAM atau pelaksana.

Komitmen presiden

Terpisah, Tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP) Siti Ruhaini Dzuhayatin menilai komitmen Presiden Jokowi dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tak pernah surut. Komitmen tersebut didasarkan pada tekad kuat presiden untuk membebaskan Indonesia dari beban masa lalu yang ’menyandera’ dan meguras energi bangsa.

Baginya, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu atau sebelum diundangkannya UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM dilakukan dengan dua pendekatan yakni jalur yudisial dan non-yudisial. Melalui jalur yudisial, presiden telah menginstruksikan Kejaksaan Agung dan mendorong Komnas HAM untuk terus melanjutkan proses hukum atas pelangggaran HAM berat.

Pemerintah pun menggunakan pendekatan non-yudisial dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu yakni memberikan penekanan pada aspek pengungkapan kebenaran, pemulihan korban, dan jaminan ketidakberulangan. Hal ini dilakukan dengan membentuk tim penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu oleh presiden.

“Keppres saat ini sudah ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Ini semakin menguatkan kinerja pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial yang saat ini sedang berlangsung,” katanya.

Tags:

Berita Terkait