Setara Institute Minta DPR Tolak Perppu Cipta Kerja
Terbaru

Setara Institute Minta DPR Tolak Perppu Cipta Kerja

Dinilai sebagai akal-akalan pemerintah untuk menghindari peran partisipasi publik.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Ketiga, sekalipun konstitusi memberikan hahk prerogratif menerbitkan Perppu, tapi pembuatan Perppu tidak berarti absolut bergantung penilaian subjektif presiden semata. Namun mesti didasarkan pada keadaan objektif sebagai parameter kegentingan memaksa. Nah terkait dengan syarat objektif, MK melalui Putusan MK No.138/PUU-VII/2009 telah memberikan 3 syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945.

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah itu menerangkan, adanya keadaan berupa kebutuhan mendesak dalam menyelesaikan persoalan hukum secara cepat berdasarkan UU. Kemudian, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU, tetapi tidak memadai. Terakhir, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa, dikarenakan membutuhkan waktu panjang.  

Baginya, ketidaksinkronan antara penyataan presiden dengan alasan dibentuknya Perppu 2/2022 perihal kondisi perekonomian nasional semestinya telah menggugurkan syarat pertama berupa kebutuhan mendesak. Sementara syarat kedua dan ketiga, presiden mestinya menginsyafi putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena ketiadaan meaningful participation dalam proses pembentukannya.

“Pembentukan Perpu oleh Presiden ini telah jelas mengingkari amanat meaningful participation yang seharusnya dipenuhi dalam perbaikan UU Cipta Kerja, bukan justru diabaikan melalui pembentukan Perppu yang sifat ‘kegentingan memaksanya’ masih patut dipertanyakan,” bebernya.

Peneliti Hukum dan Konstitusi Setara Institute, Sayyidatul Insiyah melanjutkan poin berikutnya. Keempat, konsideran huruf f Perppu 2/2022 menyebutkan, “bahwa untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/ 2020, perlu dilakukan perbaikan melalui penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;”.

Menurutnya, konsideran huruf f tak hanya menunjukkan kesesatan berpikir presiden, tapi juga bentuk pembangkangan nyata terhadap putusan MK. Sebab secara jelas amar putusan MK No.91/PUU-XVIII/ 2020 memerintahkan perbaikan terhadap UU 11/2020 dan menangguhkan berbagai kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Tapi realitanya, pemerintahan Jokowi tak hanya menangguhkan, tapi malah membuat kebijakan baru yang materi muatannya tidak beranjak jauh dari materi UU Cipta Kerja.

“Membangkangi putusan MK pada hakikatnya bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai konstitusi,” kritiknya.

Karenanya, Setara Institute mendorong agar DPR tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu Cipta Kerja dalam rapat paripurna. Dengan demikian, Perppu Cipta Kerja harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Tak hanya itu, memasuki tenggat waktu perbaikan UU 11/2020, DPR dan pemerintah mesti serius memperbaiki substansi UU Cipta Kerja dengan menghapus pasal-pasal bermasalah yang merugikan hak konstitusional masyarakat, serta memperhatikan meaningful participation dalam setiap proses perbaikan

“Pemerintah dan DPR harus tunduk dan patuh terhadap putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, terutama dalam hal menangguhkan maupun tidak membuat kebijakan/tindakan baru yang bersifat strategis dan berdampak luas,” katanya.

Tags:

Berita Terkait