Sesuai Asas Keadilan, Jaksa Bisa Ajukan PK
Berita

Sesuai Asas Keadilan, Jaksa Bisa Ajukan PK

Pendapat berbeda terus didengungkan termohon. Sambil berharap Kejaksaan membawa dugaan pemerasan ke pengadilan.

Rfq
Bacaan 2 Menit
Sesuai asas keadilan Jaksa bisa ajukan PK. Foto: Sgp
Sesuai asas keadilan Jaksa bisa ajukan PK. Foto: Sgp

Sidang lanjutan dalam pengajuan Peninjauan Kembali (PK) Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah kembali dilanjutkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (28/7) dengan dipimpin ketua majelis hakim Prasetya Ibnu Asmara.

 

Sidang dengan agenda mendengar keterangan ahli dari pihak pemohon yakni kejaksaan. Indriyanto Seno Adji didaulat pemohon menggelontorkan pemahamannya.

 

Kepada majelis hakim, pengajar hukum pidana Unversitas Indonesia ini menyatakan jaksa dapat mengajukan PK. Memang, dalam prinsip asas kepastian hukum, kejaksaan tidak diperbolehkan mengajukan PK.

 

Namun ada sejumlah praktik, kejaksaan dapat mengajukan PK dengan berpedoman pada asas keadilan. “Penuntut umum dimungkinkan mengajukan PK dalam kasus ini dengan pendekatan penegak hukum mewakili korban,” ujarnya.

 

Pengajuan PK memang sudah tertera secara jelas siapa pihak yang diperbolehkan sebagaimana diatur dalam pasal 263 KUHAP. Dibatasi hanya terpidana dan ahli waris. Namun penuntut umum dimungkinkan mengajukan PK dengan belandaskan pada asas keadilan dengan mengutamakan keseimbangan.

 

Menurut Indriyanto, keseimbangan kepentingan merupakan perluasan dari subyek hukum yakni pihak ketiga berkepentingan. Sudah barang tentu, kejaksaan dalam penerbitan SKPP sebagai pihak ketiga berkepentingan.

 

Pakar Hukum Acara Pidana dari Universitas Indonesia ini mengakui pihak ketiga berkepentingan tidak dijelaskan secara gambalng dalam KUHAP. Tapi, hal serupa terjadi di Prancis dan Belanda pihak ketiga pun tak dijelaskan.

 

Saksi pelapor, kata dia, kepentingannya bisa diwakili oleh negara sebagai bentuk perluasan. “Ini pemahaman perluasan legalitas siapa yang mengajukan PK, apakah terpidana, ahli waris atau pihak ketiga berkepentingan,” ujarnya.

 

Hal itu dimungkinkan menurut dia lantaran penyelewengan negara terhadap hukum dilakukan oleh aparat. Oleh karena itu, hak masyarakat ujar dia mesti dilindungi dengan menggunakan asas keadilan dengan keseimbangan kepentingan. “Dalam praktik dengan menggunakan pendekatan akademik dibenarkan,” katanya.

 

Namun, penjelasan Indriyanto membuat anggota tim penasihat hukum termohon, Thomson Situmeang penasaran. Dia pun mencecar Indriyanto dengan serangkaian pertanyaan menohok. “Dalam berkas sudah dinyatakan lengkap alias P21, tapi dapat atau tidak dihentikan?”

 

Menanggapi itu, Indriyanto menjelaskan, penghentian perkara Bibit dan Chandra berkaitan dengan pasal 139 dan 140 KUHAP. Pasal 139 KUHAP, ujar dia terdapat dua pemahaman. Pertama dapat dilimpahkan ke pengadilan atau sebaliknya meskipun berkas telah dinyatakan lengkap alias P21 justru tidak dapat dilimpahkan ke pengadilan.

 

Berdasarkan pasal 139 KUHAP, perkara dapat dihentikan berkaitan dengan pasal 140 lantaran bukti tidak cukup dan perbuatan bukan tindak pidana, pembayaran denda badan. Nah, perbuatan bukan tindak pidana pun dapat dihubungkan dengan pasal 50 KUHP lantaran hanya menjalankan perintah.

 

Hukum pidana, kata dia tidak dapat diartikan secara sempit. Tetapi diatikan secara dinamis sesuai perkembangan waktu. Dia pun memberikan contoh, kasus mantan Presiden Soeharto yang dihentikan dengan menggunakan Pasal 140 KUHAP.

 

Mendengar keterangan itu, Thomson pun makin penasaran. “Ini perkara sudah cukup alat bukti, kalau bukan pidana bagaimana pasal 12 huruf e (UU No 31 Tahun 1999-red) tentang pemerasan,” ujarnya.

 

Masih dengan sikap santai Indriyanto menjelaskan, perkara yang menjerat Bibit dan Chandra telah ditutup demi hukum dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Perkara (SKPP) lantaran telah P21. Dia merujuk pasal 50 sebagai landasan SKPP, kedua pimpinan KPK yang kini nonaktif itu menjalankan jabatan atas perintah Undang-Undang (UU).

 

Namun dia tidak menampik pelanggaran Pasal 21 huruf e dapat diboyong ke pengadilan. “Pasal 12 huruf e harus di pengadilan, boleh di pengadilan,” katanya.

 

Giliran anggota majelis hakim, Hari Sasangka yang penasaran. “Setahu saya, PK adalah hak terpidana dan ahli waris. Sedangka kasasi adalah hak jaksa dan sudah seimbang. Pikiran saya sudah benar atau tidak,” ujarnya.

 

Indriyanto lalu menyatakan tetap pada pandangannya bahwa pada prinsipnya, PK merupakan hak terpidana dan ahli waris.

 

Namun hukum pidana memberikan keseimbangan kepentingan hukum. Sehingga, ujar dia dengan berpedoman pada asas keadilan dan kepentingan hukum kejaksaan dapat mengajukan PK. “Prinsipnya tidak boleh dalam asas kepastian hukum. Tapi asas keadilan boleh. Faktanya, ada dan diperbolehkan,” ujarnya.

 

Ditemui usai persidangan, Thomson tetap berpedoman pada KUHAP bahwa jaksa tak diperbolehkan mengajukan PK sebagaimana Pasal 263 KUHAP.

 

Menurut dia keseimbangan sudah diatur hak jaksa yakni kasasi. Sedangkan PK merupakan hak terpidana dan ahli waris. “Kasasi itu wilayahnya jaksa, PK wilayahnya terpidana dan ahli waris. Ahli bilang untuk pemerasan bukan perintah UU, pasal 12 huruf e harus dibawa ke pengadilan, ahli bilang begitu, ahli yang diajukan pemohon,” pungkasnya.

Tags: