Sertifikasi Halal Beralih, MUI Persoalkan UU Jaminan Produk Halal
Berita

Sertifikasi Halal Beralih, MUI Persoalkan UU Jaminan Produk Halal

Pemohon minta agar Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 47 ayat (2) UU JPH tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Berlakunya UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan PP No. 31 Tahun 2019 tentang JPH berimplikasi berubahnya sistem prosedur dan registrasi sertifikasi halal dari bersifat sukarela (voluntary) menjadi wajib (mandatory) mulai 17 Oktober 2019. Selain itu, beleid itu melahirkan badan baru bernama Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama.

 

Perubahan itu membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) meradang lantaran terjadi peralihan kewenangan sertifikasi halal yang semula berada pada Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), kini beralih ke BPJPH. Sebagai bentuk protes, LPPOM MUI bersama 31 pimpinan LPPOM MUI provinsi seluruh Indonesia melayangkan uji materi Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 47 ayat (2) UU JPH ke Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Seperti diketahui, UU JPH ini mengamanatkan terhitung 17 Oktober 2019, semua produk wajib bersertifikat halal oleh BPJPH. Sebelum PP JPH terbit, proses sertifikasi halal masih dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun setelah PP JPH terbit, maka kewenangan penerbitan sertifikasi halal berada sepenuhnya di BPJPH selaku leading sector jaminan produk halal.

 

Kuasa Hukum LPPOM MUI Ikhsan Abdullah dalam permohonannya menyatakan secara historis peran LPPOM MUI tekad perjuangan dan pengorbanan para ulama dalam rangka memberi perlindungan dan kepastian akan kehalalan semua produk bagi warga Indonesia. Diundangkannya UU JPH menghadirkan kecemasan di tengah masyarakat terutama para pelaku usaha.

 

“Karena terjadi peralihan kewenangan dari LPPOM MUI yang telah dipercaya sejak 30 tahun lalu kepada BPJPH. Tentu, UU JPH menciderai nilai kepastian hukum yang ada di masyarakat, sebab selama ini LPPOM MUI telah mendarah daging menjadi lembaga yang tak dapat dipisahkan dalam sertifikasi halal,” kata Ikhsan dalam permohonannya. Baca Juga: Menyoal Fungsi dan Kewenangan MUI Pasca Terbitnya PP JPH

 

Pasal 5

  1. Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH.
  2. Penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
  3. Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.
  4. Dalam hal diperlukan, BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah.
  5. Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 6

Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang:

  1. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
  2. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;
  3. menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;
  4. melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri;
  5. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;
  6. melakukan akreditasi terhadap LPH;
  7. melakukan registrasi Auditor Halal;
  8. melakukan pengawasan terhadap JPH:
  9. melakukan pembinaan Auditor Halal; dan
  10. melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.

Pasal 47 ayat (2)

Produk Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak perlu diajukan permohonan Sertifikat Halalnya sepanjang Sertifikat Halal diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2).

 

Dalam permohonannya, Ikhsan mengutip pendapat Prof Satjipto Raharjo dalam Teori Hukum Progresif, yang menyebutkan hukum untuk manusia, hukum bukan hanya bangunan peradilan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita. “Apa yang telah hidup di masyarakat seharusnya mendapat penguatan atau legitimasi dari negara, bukan justru diambil alih kewenangan yang dimiliki LPPOM MUI,” ujarnya.

 

Dia menilai UU JPH tidak mampu mengangkat persoalan yang ada di masyarakat terkait jaminan produk halal. Namun, UU JPH justru membuat masalah sosial baru di masyarakat dengan meresahkan kehalalan suatu produk. Sebab, UU JPH telah mencabut hukum yang  telah lama hidup di masyarakat selama 30 tahun (LPPOM) dengan membentuk BPJPH.

 

“Seiring berjalannya waktu telah lahir hukum yang mengakar kuat di tengah masyarakat bahwa kehalalan produk merupakan domain kewenangan MUI melalui LPPOM MUI,” tegasnya.

 

Apalagi, faktanya BPJPH saat ini belum siap mengemban kewenangan menjalankan sistem sertifikasi halal dalam UU JPH mulai 17 Oktober 2019 mendatang karena belum efektifnya keorganisasiaan dan perangkat pendukungnya. “Sangat jelas tanpa keraguan bahwa proses lahirnya UU JPH bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat dan hukum yang hidup di masyarakat,” dalilnya.

 

Ikhsan berpendapat pengambilalihan tugas dan fungsi LPPOM MUI secara sepihak oleh negara merupakan tindakan yang bertentangan dengan alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 yaitu tujuan negara melindungi segenap bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum. Terlihat jelas UU JPH, khususnya Pasal 5 dan Pasal 6 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C dan E ayat (2) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

 

Mengutip Pasal 1 angka 10 UU JPH yang menyebutkan sertifikasi halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI, menurutnya kewenangan sertifikasi halal oleh BPJPH bersama-sama dengan MUI.

 

Karena itu, kata dia, BPJPH tidak akan pernah bisa memberi sertifikat halal kepada produk dalam negeri atau luar negeri tanpa adanya keikutsertaan MUI dalam setiap prosesnya. Sedangkan, kehalalaan suatu produk hanya dapat dilakukan para ulama yang dimanisfestasikan dalam kelembagaan MUI dan LPPOM MUI yang telah dipercaya masyarakat.

 

Dalam petitumnya, Ikhsan meminta agar Pasal 5, Pasal 6, Pasal 47 ayat (2) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

 

Sebelumnya, Indonesia Halal Watch (IHW) sebagai lembaga pemerhati produk halal mengajukan judicial review atas PP 31/2019 yang baru saja terbit pada Mei lalu. Salah satu alasan IHW mengajukan uji materi PP itu karena berpotensi membebani masyarakat, khususnya dunia usaha. Mandatori sertifikasi halal berpotensi membebani UKM karena seharusnya negara memsubsidi sertifikasi halal bagi UKM, tidak dibebankan kepada pihak-pihak lain sebagaimana tersirat dalam Pasal 62 dan Pasal 63 PP JPH itu. Selain itu, PP ini mereduksi atau mendelusi kewenangan MUI sebagai stakeholder yang diamanatkan UU JPH yakni sebagai lembaga yang diberikan kewenangan menetapkan kehalalan produk.

Tags:

Berita Terkait