Sering Dirugikan, Indonesia Harus Moratorium BIT
Berita

Sering Dirugikan, Indonesia Harus Moratorium BIT

Posisi Indonesia sudah kuat dan tanpa BIT pun investor asing tetap membutuhkan Indonesia.

HRS
Bacaan 2 Menit
Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana. Foto: SGP
Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana. Foto: SGP

[Versi Bahasa Inggris]

Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Hikmahanto Juwana meminta pemerintah untuk menghentikan Bilateral Investment Treaty (BIT). Pasalnya, BIT seringkali memuat klausul-klausul yang merugikan Indonesia.

Salah satu klausul perjanjian dalam BIT merugikan Indonesia, menurut Hikmahanto, adalah mengenai pajak berganda. Menurutnya, hingga saat ini, pelaku usaha Indonesia masih belum mendapatkan manfaat dari perjanjian pajak berganda. Para pelaku usaha Indonesia masih berkonsentrasi penuh untuk mengeksploitasi pasar dalam negeri.

“Pemerintah harus segera mengakhiri perjanjian pajak berganda,” tegas Hikmahanto dalam seminar nasional Penyelesaian Sengketa Investasi: Indonesia, ASEAN, dan Internasional, di Kampus FHUI, Depok, Kamis (5/6).

Tidak hanya meminta menghentikan BIT, Hikmahanto juga menegaskan agar Pemerintah Indonesia segera keluar dari forum arbitrase International Center for Settlement Dispute (ICSID). Sebab, Indonesia berpotensi diperkarakan ke ICSID dan membayar ganti rugi puluhan miliar dolar ke investor asing.

Bagaimana tidak, ketika pemerintah Indonesia tidak kooperatif terhadap investor asing dari negara mitra ini, mereka langsung memperkarakan ke ICSID atau menggunakan Convention on the Settlement of Investment Dispute between State and National of Other State dan meminta ganti rugi dengan angka yang fantastik. Sebaliknya, pelaku usaha Indonesia hampir tidak pernah terdengar kabarnya menyeret pemerintah setempat ke forum yang sama lantaran dirugikan atau tidak menjalankan BIT.

Salah satu kasus yang dikhawatirkan Hikmahanto berpotensi diseret ke ICSID adalah terkait kasus mega skandal Bank Century. Pasalnya, apabila Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memutuskan ada kesalahan dalam bailout Century, Indonesia berpeluang dibawa ke ICSID dan Indonesia bisa dituntut ganti rugi yang besar.

“Saya khawatir jika ini terbukti karena Indonesia bisa berpeluang besar dibawa ke ICSID. Untuk itu, hal yang harus dibuktikan dalam kasus ini adalah ada atau tidaknya perilaku koruptif, bukan mengenai kebijakan yang diambil,” lanjutnya.

Atas hal tersebut, Hikmahanto kembali meminta pemerintah untuk memutuskan keluar dari ICSID dan menghentikan BIT yang merugikan tersebut. Pasalnya, kondisi Indonesia sudah berubah. Tanpa BIT, asing akan tetap melirik Indonesia karena negara ini memiliki pasar dan sumber daya alam yang sangat baik. Terlebih lagi, opsi keluar dari ICSID tidak menyebabkan investor asing tidak dapat menggugat pemerintah. Pemerintah tetap dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.

“Sudah saatnya kedaulatan pemerintah dikembalikan dan tidak dikerdilkan dengan digugat di forum ICSID. Saat ini, investorlah yang membutuhkan Indonesia,” pungkasnya.

Ancaman Gugatan
Sementara itu, Direktur Perjanjian Ekonomi Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri, Abdul Kadir Jailani berseberangan pendapat dengan Hikmahanto. Kadir mengatakan bahwa keluar dari ICSID bukanlah solusi yang tepat. Pasalnya, pemerintah tetap dapat digugat meskipun keluar dari ICSID. Hal ini terlihat dari Pasal 25 ayat (1) Konvensi ICSID. Pasal tersebut mencantumkan:

“The jurisdiction of the Centre shall extend to any legal dispute arising directly out on an investment, between a Contracting State (or any constituent subdivision or agency of a Contracting State designated to the Centre by that State, which the parties to the disupute consent in writing to submit to the Centre. When the parties have given their consent, no party may withdraws consent unilaterally.”

Terkait dengan wacana penghentian BIT, Kadir menyebutkan beberapa konsekuensi apabila BIT dihentikan. Menurutnya, investor Indonesia di negara mitra akan mengalami keadaan yang serupa dengan investor asing di Indonesia. Selain itu, akan terjadi ketidakmenentuan prospective investment.

“Keluar dari ICSID tidak menyelesaikan persoalan karena pemerintah masih bisa digugat sementara pemerintah itu alerginya sama gugatan,” tutur Kadir dalam kesempatan yang sama.

Tags:

Berita Terkait