Serikat Pekerja Khawatir Kecelakaan Freeport Terulang
Berita

Serikat Pekerja Khawatir Kecelakaan Freeport Terulang

Selama konvensi ILO tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Pertambangan belum diratifikasi.

ADY
Bacaan 2 Menit
Serikat Pekerja Khawatir Kecelakaan Freeport Terulang
Hukumonline

Presiden KSPI dan anggota Komite Pusat koalisi serikat pekerja sektor tambang internasional (IndustriALL), Said Ikbal, khawatir kecelakaan yang terjadi beberapa waktu lalu di area tambang bawah tanah Big Gossan, PT Freeport Indonesia akan terulang. Pasalnya, sampai saat ini pemerintah dinilai enggan meratifikasi konvensi ILO No.176 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Pertambangan.

Padahal, konvensi itu berisi ketentuan yang diperlukan dalam rangka menjamin keselamatan dan kesehatan para pekerja di sektor tambang. Misalnya, setiap kegiatan pertambangan bawah tanah wajib disediakan jalur khusus yang digunakan untuk evakuasi ketika terjadi bencana seperti runtuh atau longsor.

Ikbal mengatakan usulan untuk meratifikasi konvensi itu sudah disuarakan serikat pekerja sejak 1995. Sayangnya, pemerintah bergeming dan sampai sekarang ratifikasi tak kunjung dilakukan. Walau begitu, Ikbal menyebut sampai sekarang serikat pekerja masih berupaya mendesak pemerintah agar konvensi yang mengatur perlindungan para pekerja di sektor tambang itu segera diratifikasi.

Selain itu, Ikbal menuntut agar manajemen PT Freeport Indonesia diganjar hukuman karena ditengarai lalai dan menyebabkan 28 orang tewas dalam kecelakaan tersebut. Ikbal khawatir proses hukum tak berjalan karena dalam kecelakaan serupa yang pernah terjadi sebelumnya dan menewaskan sembilan orang, tak ada satupun pihak manajemen yang dihukum. Ia berharap, walaupun sudah ada santunan yang diberikan kepada para korban kecelakaan di tambang bawah tanah Big Gossan, proses penegakan hukum jangan berhenti.

Selaras dengan itu Ikbal menegaskan agar PT Freeport Indonesia tidak beroperasi sampai proses investigasi yang dilakukan pemerintah untuk mengusut kasus itu berjalan hingga tuntas. Ikbal mendapat informasi bahwa kegiatan pertambangan sudah bergulir kembali. Menurutnya proses produksi itu jangan dulu dilakukan karena berpotensi besar mengganggu proses investigasi. Jika investigasi terganggu, hasilnya dicemaskan tak maksimal sehingga sukar diketahui apa penyebab terjadinya kecelakaan tersebut untuk mencegah agar tak terulang di masa depan.

Sekalipun nanti pemerintah tidak melakukan penindakan terhadap pihak yang bertanggungjawab atas terjadinya kecelakaan sebagaimana harapan, Ikbal menyebut serikat pekerja internasional, khususnya di sektor pertambangan akan menggelorakan perlawanan terhadap PT Freeport diseluruh dunia. Serta mengajukan gugatan kepada manajemen PT Freeport Indonesia. Apalagi, jauh sebelum kecelakaan di Big Gossan terjadi, serikat pekerja sudah mengingatkan manajemen bahwa fasilitas tambang bawah tanah itu jangan digunakan karena ada retakan di langit-langit.

Alih-alih melaksanakan imbauan yang dilontarkan serikat pekerja, manajemen malah memerintahkan untuk menutup retakan itu dengan eternit. Alhasil, apa yang ditakutkan serikat pekerja terjadi. “Pekerja punya insting melihat retakan itu pasti rawan runtuh, yang tahu kondisi di lapangan itu pekerja, bukan manajemen,” tegas Ikbal dalam diskusi di kantor KontraS Jakarta, Rabu (29/5).

Atas dasar itu Ikbal melihat kecelakaan tersebut bukan masalah sepele, namun harus ada proses hukum untuk menimbulkan efek jera. Ia mengatakan pada awal bulan depan, serikat pekerja bakal menyambangi Kementerian ESDM untuk menuntut pemerintah serius melakukan investigasi dan penegakan hukum. Jika tak terlihat upaya nyata dari pihak berwenang, Ikbal menyebut dalam mogok kerja nasional yang rencananya digelar 16 Agustus nanti, salah satu isu yang akan diperjuangkan adalah dituntaskannya kasus kecelakaan itu dan ratifikasi konvensi ILO No.176.

Pada kesempatan yang sama, Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI, Pius Ginting, mengatakan lokasi pertambangan pertama kali yang dieksploitasi PT Freeport Indonesia di Papua, dinamakan Ertsberg, sudah habis. Kemudian, PT Freeport Indonesia membuat tambang terbuka serupa di wilayah yang letaknya sedikit ke timur dan mulai berproduksi pada 2001, lokasi penambangan itu dinamakan Grasberg. Dengan kekayaan yang terkandung di dalamnya, Pius menyebut Grasberg sebagai tambang emas terbesar di dunia.

Bahkan, berdasarkan data yang diperoleh tim geologis yang mendata kawasan tersebut sebelum kegiatan penambangan dimulai, emas dan tembaga di Grasberg bentuknya menggunung. Sehingga, untuk mengolahnya tak perlu repot menggali tanah. Namun, Pius memperkirakan cadangan tambang Grasberg akan habis 2016. Oleh karenanya, Pius berpendapat PT Freeport Indonesia menggali lebih dalam dan membuat tambang bawah tanah. Salah satunya Big Gossan yang memiliki konsentrasi tembaga dan emas tergolong tinggi.

“Jadi nanti (di PT Freeport Indonesia,-red) penambangan bukan tambang terbuka lagi tapi mekanisme tambang tertutup,” ucap Pius.

Pada tambang tertutup atau bawah tanah potensi ancaman bukan hanya rentan menimpa keselamatan dan kesehatan para pekerja, tapi juga lingkungan. Pasalnya, pengolahan tambang terbuka sudah menghasilkan banyak limbah yang disinyalir merusak lingkungan terutama daerah aliran sungai. Jika dibuka tambang baru di bawah tanah, maka jumlah limbah di tempat pembuangan limbah akan semakin banyak, menumpuk dan meluas.

Dari pantauannya, Pius mengatakan PT Freeport internasional bukan hanya dikritik oleh masyarakat lokal, tapi juga para investornya. Bahkan karena gerah dengan kegiatan bisnis PT Freeport Indonesia yang dianggap tidak memperhatikan keberlanjutan dan kelestarian alam, ada salah satu investor yang menarik dananya. “PT Freeport tidak menjalankan bisnis yang berkelanjutan karena kerusakan alam yang dihasilkan (dari kegiatan produksi PT Freeport,-red) sangat parah,” urainya.

Tags: