Serikat Pekerja Kecam Penerbitan Inpres Penetapan UMP
Berita

Serikat Pekerja Kecam Penerbitan Inpres Penetapan UMP

Dinilai melanggar konstitusi.

ADY
Bacaan 2 Menit

Sementara Ketua GSBI, Rudi HB Daman, menilai Inpres tentang Penetapan UMP itu sebagai bagian dari skema politik upah murah. Hal itu semakin terlihat karena belakangan ini pemerintah menerbitkan peraturan yang cenderung merugikan pekerja. Misalnya, sejumlah perusahaan dan kawasan industri ditetapkan sebagai objek vital negara tanpa alasan yang jelas.

Menurut Rudi kebijakan itu ditujukan agar para pekerja tidak melakukan perlawanan atas pelanggaran hukum yang terjadi di dalam perusahaan atau kawasan industri. Sebab, dengan ditetapkan sebagai objek vital negara maka pekerja tidak diperkenankan melakukan negosiasi, demonstrasi ataupun mogok kerja. Regulasi yang mengekang pekerja itu menurut Rudi ditujukan untuk menjaga agar industri lancar beroperasi. Harusnya, setiap pelanggaran hukum yang terjadi di bidang ketenagakerjaan harus dijatuhi sanksi tegas, bukan malah dilindungi dengan dalih objek vital. “Padahal banyak pelanggaran hukum di kawasan industri,” paparnya.

Sedangkan Sekjen FSPTSK, Indra Munaswar, menyebut Inpres tentang Penetapan UMP itu inkonstitusional karena melanggar UUD RI 1945. Misalnya, pada diktum kedua angka 5 huruf d Inpres tersebut, mengnstruksikan Gubernur dalam menetapkan tahapan pencapaian KHL di daerah masing-masing dengan mempertimbangkan kondisi kemampuan dunia usaha. Padahal, mengacu pasal 27 ayat (2) UUD RI 1945, menegaskan tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Mengacu amanat UUD RI 1945 itu Indra berpendapat dalam menentukan upah minimum yang diutamakan bukan sekedar kemampuan dunia usaha tapi harus memperhatikan kondisi pekerja untuk hidup layak. Kemudian, Indra melihat penerbitan Inpres itu mestinya tidak menjadi prioritas pemerintah karena tidak diperintahkan oleh UU manapun.

Indra mencatat ada hal lain yang lebih penting untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah dalam membentuk regulasi. Misalnya, UU Ketenagakerjaan mengamanatkan pemerintah menerbitkan PP tentang kebijakan pengupahan. “Sudah 10 tahun berlalu tapi PP itu belum diterbitkan, yang dikeluarkan malah Inpres tentang Penetapan UMP,” kesalnya.

Senada, anggota LKS Tripartit Nasional (Tripnas), Sahat Butar Butar, mengatakan kekisruhan di bidang ketenagakerjaan yang selama ini terjadi disebabkan oleh pemahaman pemerintah yang keliru. Padahal, sudah ada regulasi yang mengatur jelas bidang ketenagakerjaan. Misalnya, ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan menentukan apa yang dimaksud upah minimum. Yaitu upah bagi pekerja dan keluarganya untuk satu bulan.

Oleh karenanya, Sahat menandaskan, besaran upah minimum bukan ditentukan oleh kondisi sektor industri di tempat si pekerja bekerja. Tapi, bagaimana agar pekerja dan keluarganya dapat hidup layak. “Tapi Inpres itu memerintahkan Menteri Perindustrian untuk menetapkan klasifikasi industri padat karya dalam pengupahan,” jelasnya.

Menanggapi hal itu, Ketua Hubungan Industrial dan Advokasi DPN Apindo sekaligus anggota LKS Tripnas dari unsur pengusaha, Hasanuddin Rachman, menilai serikat pekerja terburu-buru menyikapi Inpres tersebut. Sebab, sebelum Inpres itu diterbitkan serikat pekerja sudah menggulirkan perspektifnya tentang ketentuan yang termaktub dalam regulasi tersebut. Namun, setelah membaca Inpres itu, Hasanuddin menilai secara umum tidak ada masalah. Apa yang dikhawatirkan serikat pekerja bahwa akan ada pemangkasan upah minimum menurut Hasanuddin tidak tertuang dalam Inpres tersebut.

Terkait keterlibatan kementerian lain seperti sebagaimana dijelaskan dalam Inpres, Hasanuddin berpendapat hal itu tidak sudah sewajarnya. Sebab, dalam menentukan besaran upah minimum, ada beberapa pihak terkait yang memang dilibatkan. Seperti Kemnakertrans, Kemendagri dan Kemenperin. Selain itu, mengenai sikap Apindo terhadap Inpres tersebut, Hasanuddin menyebut bukan persoalan menerima atau tidak, tapi secara umum Inpres itu tidak ada persoalan. “Maksud diterbitkannya Inpres itu, pemerintah menginginkan agar tidak terjadi gejolak dalam penetapan UMP,” ujarnya kepada hukumonline lewat telepon, Kamis (3/10).

Sampai berita ini dibuat Dirjen PHI dan Jamsos Kemnakertrans, Irianto Simbolon, belum dapat berkomentar mengenai penerbitan Inpres tentang Penetapan UMP tersebut. Upaya menghubungi lewat telepon dan pesan singkat tak berbuah hasil.

Tags: