Serikat Buruh Ingatkan Revisi PP Pengupahan Harus Jadi Prioritas
Berita

Serikat Buruh Ingatkan Revisi PP Pengupahan Harus Jadi Prioritas

Menuntut agar kenaikan upah minimum setiap tahun menggunakan mekanisme survei KHL dan mengembalikan hak berunding serikat buruh di dewan pengupahan daerah dalam revisi PP Pengupahan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Demo buruh di Jakarta. Foto: RES
Demo buruh di Jakarta. Foto: RES

Serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera merevisi PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Mereka menilai revisi PP Pengupahan ini sangat mendesak dilakukan karena terkait daya beli masyarakat.     

 

Presiden KSPI Said Iqbal mengingatkan dalam peringatan hari buruh internasional pada 1 Mei 2019 lalu, Presiden Jokowi berjanji di hadapan sejumlah pemimpin serikat buruh untuk merevisi PP Pengupahan dalam jangka waktu kurang dari sebulan. Ternyata, sampai saat ini proses revisi itu belum berjalan.

 

Alih-alih merevisi PP Pengupahan, Iqbal melihat isu ketenagakerjaan yang berkembang dalam beberapa waktu terakhir justru merevisi UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut Iqbal, revisi UU Ketenagakerjaan saat ini belum mendesak untuk dilakukan. Baginya, revisi PP Pengupahan lebih penting untuk diwujudkan karena bersinggungan langsung dengan kemampuan daya beli buruh untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari.

 

“Kami mendesak Presiden Jokowi segera merevisi PP Pengupahan sebagaimana yang telah dijanjikan,” kata Iqbal dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (6/8/2019). Baca Juga: Mayday 2019, Tiga Masukan Revisi PP Pengupahan

 

Iqbal meminta agar revisi PP Pengupahan sedikitnya membenahi 3 hal. Pertama, mengembalikan hak berunding serikat buruh dalam proses kenaikan upah minimum melalui lembaga tripartit yakni dewan pengupahan daerah. Sebab, PP Pengupahan dinilai mengebiri (menghapus) hak berunding karena kenaikan upah minimum dilakukan sepihak oleh pemerintah dengan mengacu pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.

 

Kedua, seharusnya PP Pengupahan menggunakan mekanisme survei kebutuhan hidup layak (KHL) sebagai bagian dari proses pembahasan kenaikan upah minimum setiap tahun. Sebelum PP Pengupahan terbit, dewan pengupahan daerah selalu melakukan survei KHL di pasar untuk melihat kebutuhan riil buruh. Hasil survei itu kemudian dibahas dewan pengupahan sebelum mengusulkan besaran kenaikan upah minimum kepada kepala daerah.

 

Penetapan upah minimum yang mengacu pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi ini menambah kesenjangan upah yang signifikan antar daerah, sehingga daerah yang upah minimumnya rendah tidak bisa mengejar daerah lain yang upah minimumnya lebih tinggi. Jika penetapan upah minimum menggunakan survei KHL, Iqbal yakin kenaikan upah minimum akan mendekati kebutuhan hidup layak di daerah tersebut.

 

Ketiga, penetapan upah minimum layaknya dilakukan oleh gubernur, bukan pemerintah pusat. Iqbal mengingatkan UU Ketenagakerjaan mengamanatkan upah minimum ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau bupati/walikota. Sejak PP Pengupahan bergulir, setiap kenaikan upah minimum pemerintah pusat selalu menerbitkan surat edaran kepada pemerintah daerah yang isinya meminta penetapan upah minimum sesuai dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.

 

Revisi UU Ketenagakerjaan

Soal revisi UU Ketenagakerjaan, Iqbal menegaskan UU Ketenagakerjaan yang berlaku di banyak negara prinsipnya melindungi dan mensejahterakan buruh. Serikat buruh akan menolak revisi UU Ketenagakerjaan yang merugikan buruh. Iqbal menilai wacana revisi UU Ketenagakerjaan yang berkembang beberapa waktu terakhir arahnya menurunkan derajat kesejahteraan dan perlindungan buruh. Oleh karenanya sudah banyak kalangan buruh yang memprotes rencana revisi UU Ketenagakerjaan dengan menggelar demonstrasi.

 

Iqbal melihat dari draft revisi UU Ketenagakerjaan yang beredar, isinya antara lain menurunkan besaran pesangon bagi buruh yang terkena PHK. Pemerintah dan kalangan pengusaha menilai pesangon di Indonesia terlalu tinggi jika dibandingkan negara lain seperti Malaysia, Singapura, dan Spanyol. Menurut Iqbal, uang pesangon adalah pertahanan terakhir buruh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ketika tidak bekerja karena mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).

 

Dia berdalih di negara lain seperti Malaysia, Singapura, dan Spanyol besaran pesangonnya rendah karena kebutuhan buruhnya bisa terpenuhi lewat jaminan sosial untuk pengangguran. Selain itu, manfaat jaminan sosial lain seperti pensiun dan jamina hari tua (JHT) sangat memadai.

 

Iqbal mencatat jaminan sosial yang dibayar di Malaysia 23 persen, 10 persen ditanggung buruh dan sisanya pengusaha. Iuran jaminan sosial di Singapura lebih besar yakni 33 persen. Sementara total iuran jaminan sosial di Indonesia tak lebih dari 15 persen. “Jika pengusaha dan pemerintah ingin mengurangi pesangon, kami sepakat tapi iuran jaminan sosial harus naik, untuk jaminan pensiun iurannya minimal 10 persen,” usul Iqbal.

 

Anggota LKS Tripartit Nasional dari unsur buruh, Mirah Sumirat mengatakan sampai saat ini belum ada pembahasan revisi UU Ketenagakerjaan di LKS Tripartit Nasional. Salah satu agenda kerja pemerintah terkait UU Ketenagakerjaan yakni melakukan review UU Ketenagakerjaan, bukan revisi. “LKS Tripartit Nasional belum menerima satu pun draft revisi UU Ketenagakerjaan (dari pemerintah),” kata dia.

 

Mirah menegaskan bukan berarti kalangan buruh tidak sepakat revisi UU Ketenagakerjaan. Seperti diketahui, sudah banyak ketentuan pasal atau ayat dalam UU Ketenagakerjaan yang dibatalkan MK. Oleh karena itu revisi UU Ketenagakerjaan sifatnya harus menyeluruh dan komprehensif.

 

Sebelumnya, Ketua Komite Advokasi DPN Apindo Darwoto mendukung jika PP Pengupahan direvisi. Awalnya, memang ketika PP Pengupahan terbit kalangan pengusaha sangat menyambut baik. Tapi dalam perjalanannya, sebagian pengusaha merasa kenaikan upah minimum sebagaimana aturan yang ditetapkan dalam PP Pengupahan dirasa semakin membebani ongkos produksi. Kondisi itu dialami industri padat karya seperti garmen, dan tekstil dimana jumlah pekerjanya mencapai ribuan.

 

“Kami menyambut baik rencana Presiden Jokowi merevisi PP Pengupahan. Presiden Jokowi menyatakan akan mencari win-win solution. Apindo setuju revisi PP Pengupahan, ini untuk kebaikan bersama,” kata Darwoto dalam acara diskusi yang digelar stasiun radio di Jakarta pada Mei lalu. Baca Juga: Apindo Dukung Revisi PP Pengupahan

 

Sebagaimana kritik kalangan buruh terhadap PP Pengupahan yang dinilai menghilangkan hak berunding dalam menetapkan upah minimum, Darwoto menilai jika hak berunding itu dihilangkan, bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan. Untuk pembenahan komponen KHL, Darwoto sepakat terhadap usulan yang mendorong pemerintah untuk ikut membantu, misalnya transportasi untuk buruh.

 

Darwoto berpendapat jika penetapan upah minimum tak dibenahi, perusahaan akan menggunakan upah minimum sebagai upah terendah di perusahaan. Bahkan ada pengusaha nakal yang mengupah hampir seluruh pekerjanya dengan upah minimum. Darwoto mengatakan pembahasan upah minimum harus dilakukan melalui perundingan, tapi harus ada jaminan agar masing-masing pihak dapat berunding bebas dari tekanan.

 

Mengenai formula dalam menetapkan upah minimum, Darwoto mengusulkan agar hal ini dibahas lebih lanjut dalam revisi PP Pengupahan. “Harus ada win-win solution yang menguntungkan pengusaha dan buruh. Paling penting, jangan terjadi disparitas upah minimum yang terlalu tajam antar daerah. Ini yang membuat perusahaan padat karya melakukan relokasi karena terjadi disparitas upah minimum di banyak daerah,” katanya.

Tags:

Berita Terkait