Target Penerimaan Pajak Seribu Triliun
Berita

Target Penerimaan Pajak Seribu Triliun

Pengamat pajak menilai tidak adil jika target penerimaan pajak seribu triliun dibebankan sepenuhnya kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.

M-7
Bacaan 2 Menit
Program sunset policy dianggap sukses menjaring wajib pajak.<br> Foto: dok. Ditjen Pajak
Program sunset policy dianggap sukses menjaring wajib pajak.<br> Foto: dok. Ditjen Pajak

Target, boleh saja setinggi langit. Tapi, realisasi, belum tentu sesuai target. Inilah problem klasik yang sering dihadapi pemerintah. Antara target dengan realisasi, sering tidak akur. Kalau lebih sih oke-oke saja, tapi kalau realiasasinya jauh di bawah target, itu yang jadi masalah.

 

Target ini juga yang menjadi ‘hantu’ bagi Ditjen Pajak. Direktorat di bawah naungan Kementerian Keuangan ini kerap dikejar target penerimaan pajak. Apa pun akan dilakukan demi meraup pundi-pundi penerimaan negara dari pajak. Di zaman kepemimpinan Darmin Nasution, misalnya. Sejumlah program dibuat agar masyarakat patuh dan taat membayar pajak. Salah satunya program sunset policy yang disinyalir sejumlah pihak berjalan sukses.

 

Memang, pajak masih menjadi primadona utama bagi pemerintah sebagai penghasil penerimaan negara terbesar dibanding sektor-sektor lain. Makanya, pemerintah terus menggenjot agar target dan realisasi penerimaan dari pajak terus meningkat. Buktinya, lihat saja target yang ingin dicapai Ditjen Pajak berikut ini. Direktur Jenderal Pajak Muhammad Tjiptardjo, mengatakan, target penerimaan pajak pada 2013 akan mencapai Rp1.000 triliun. Jumlah yang sangat besar dan butuh puluhan container untuk mengangkut uang sebanyak itu.

 

Untuk mencapai target tersebut, sejumlah upaya telah disiapkan. Pertama, masih berkutat pada reformasi birokrasi. Menurut Tjiptardjo, reformasi birokrasi yang akan dilakukan berfokus pada perbaikan sistim Information Technology (IT) dan Sumber Daya Menusia. “Perbaikan IT difokuskan pada perbaikan infrastruktur dan perbaikan kualiatas data, sedangkan perbaikan SDM, hal yang perlu dilakukan adalah pelaksanaan good governance,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam talk show “Membedah APBN 2010” di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (22/2).

 

Upaya kedua dengan memberi insentif pada kelompok usaha dan atau sektor-sektor tertentu. Menurut Tjiptardjo, kelompok usaha yang menjadi pertimbangan dalam pemberian insentif adalah kelompok usaha kecil dan menengah (UKM). Pada 2009, peran penerimaan pajak dari kelompok ini meningkat dibandingkan penerimaan kelompok usaha besar. Selain itu, UKM memiliki daya tahan tinggi dalam menghadapi fluktuasi ekonomi dan pertumbuhannya cepat. Kelompok UKM juga banyak menyerap tenaga kerja, sehingga diharapkan pertumbuhan penerimaan pajak dari Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi juga dapat meningkat.

 

Untuk meningkatkan pertumbuhan dari kelompok UKM, Tjiptardjo menilai perlu memberikan insentif baik berupa insentif pajak maupun non-pajak. Selain itu, lanjut Tjiptardjo, pemerintah perlu mempertimbangkan pemberian insentif pajak kepada sektor-sektor potensial yang sempat terkena dampak krisis 2008 lalu. Sektor-sektor itu di antaranya: pertambangan, perantara keuangan, telekomunikasi, konstruksi, dan pertanian.

 

Sektor telekomunikasi juga diprediksikan akan berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, perbaikan taraf hidup dan perkembangan teknologi. Untuk di sektor konstruksi, sebagai negara berkembang Indonesia masih membutuhkan pembangunan infrastruktur.

 

Upaya ketiga, melanjutkan program pemetaan (mapping), profil WP, dan benchmarking. Mapping menggambarkan potensi perpajakan berdasarkan wilayah atau lokasi, subyek pajak, jenis pajak, sektor maupun subsektor usaha sesuai kebutuhan atau keungguan yang dimiliki suatu wilayah. “Dengan melakukan mapping dapat mengetahui potensi pajaknya”, tambah urai Tjiptardjo. Sementara profil WP merupakan rangkaian data dan informasi fiskal WP yang memuat identitas kegiatan usaha serta riwayat perpajakan WP secara berkesinambungan yang dapat dikualifikasikan atas data permanen dan data akumulatif.

 

Keempat, melakukan penegakan hukum (law enforcement) terhadap WP yang membandel. Menurut Tjiptardjo masalah law enforcement yang paling tidak disenangi WP. Di tahun 2009 saja, ungkap dia, Ditjen pajak telah mengenakan sanksi kepada 516 aparat yang melakukan pelanggaran baik itu ringan maupun berat.

 

Tak Bisa Dipikul Sendiri

Pengamat perpajakan Darussalam, menyatakan target penerimaan pajak Rp1.000 triliun tidak bisa dipikul sendiri oleh Ditjen Pajak. Persoalan pajak menjadi sangat menarik, karena di manapun di negara demokrasi di dunia ini, tidak ada yang terlepas dari pajak. “Pajak akan menjadi perhatian khusus,” katanya.

 

Menurut Darussalam, adalah suatu hal yang tidak adil jika target penerimaan pajak Rp1.000 triliun dibebankan sepenuhnya kepada Dirjen Pajak. “Kalau bicara sistem perpajakan, Dirjen Pajak hanya bagian besar dari sistem tersebut.”

 

Selain Dirjen Pajak yang wajib melakukan reformasi birokrasi adalah pembuat legislasi dan kebijakan dalam bidang perpajakan. “Yang berkantor di Senayan (DPR, red) sudah buat reformasi nggak?” tanyanya.

 

Di samping itu, pihak berkepentingan, seperti pengadilan juga harus melakukan reformasi birokrasi. Hal ini berhubungan dengan masalah penyelesaian sengketa perpajakan.

 

Hal yang tak kalah pentingnya adalah reformasi para konsultan pajak. Darussalam menilai, asosiasi profesi konsultan pajak penting untuk membimbing WP dalam menangani masalah perpajakan kliennya.

 

Darussalam sendiri mengusulkan adanya lembaga ombudsman di bidang perpajakan. Lembaga ini menjadi penting untuk memperhatikan apakah legislasi perpajakan sudah dijalankan dengan baik atau belum.

 

Tags: