Serangan Terhadap Novel, KPK Diminta Buka Penyelidikan Obstruction of Justice
Berita

Serangan Terhadap Novel, KPK Diminta Buka Penyelidikan Obstruction of Justice

Sebagai bagian dari tindaklanjut rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM.

RED
Bacaan 2 Menit
Novel Baswedan. Foto: RES
Novel Baswedan. Foto: RES

Beberapa hari lalu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengeluarkan laporan terkait serangan kepada penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Dalam serangan tersebut, Komnas HAM menilai bahwa telah terjadi pelanggaran HAM terhadap Novel dan pemberantasan korupsi sehingga peristiwa penyerangan tersebut dapat dinilai sebagai obstruction of justice.

 

Terkait hal ini, Koalisi Masyarakat yang terdiri dari Amnesty International, ICW, Kontras, LBH Jakarta, LBH Pers, Lokataru Foundation, PSHK, dan YLBHI meminta KPK untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM dengan membuat penyelidikan dugaan obstruction of justice dalam kasus Novel Baswedan. Selain itu, Koalisi juga menuntut Presiden segera membuat Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).

 

Koalisi menilai, penyerangan terhadap Novel merupakan serangan yang terencana terkait dengan aktivitas Novel sebagai penyidik yang menangani kasus pemberantasan korupsi di KPK. Koalisi juga menilai, meski Kepolisian telah melakukan proses penyelidikan dan penyidikan secara prosedural, namun terindikasi adanya penyalahgunaan proses (abuse of process).

 

Ada 6 penyalahgunaan proses yang dimaksud, yakni observasi yang dilakukan oleh Kepolisian tidak mampu memetakan saksi dan barang bukti penting. Tim Kepolisian belum memeriksa Kapolda Metro Jaya yang diduga mengetahui penyerangan terhadap Novel Baswedan sebelum 17 April 2017 sehingga dapat dikategorikan sebagai saksi kunci.

 

Kemudian, terbatas dan minimnya pemeriksaan terhadap orang orang asing di sekitar peristiwa oleh tim penyidik. Lalu, tim penyidik tidak mendalami latarbelakang dan alasan orang-orang asing yang berada di sekitar kediaman Novel sebelum dan menjelang penyerangan. Padahal tim penyidik bisa menggunakan kewenangan upaya paksa yang biasa digunakan Kepolisian.

 

Kemudian, minimnya pemeriksaan terhadap telepon genggam dan tidak adanya penyitaan terhadap telepon genggam orang-orang yang berada di sekitar TKP pada hari sebelum atau menjelang peristiwa segera setelah mereka mulai diperiksa. Koalisi menilai, tidak dilakukannya penyitaan pada telepon genggam pada tiga bulan pertama akan mengakibatkan hilangnya barang bukti penting dalam kasus ini.

 

Baca:

 

Tim Polda dalam proses penyidikan telah mendapatkan Call Data Record (CDR) dari BTS terdekat namun tidak berhasil mengungkap nomor nomor dan materi komunikasi yang patut dicurigai. Terkait hal ini, Koalisi menilai, bahwa tim Polda tidak memanfaatkan tim labfor dan tim ahli dari lembaga negara lainnya. “Padahal pakar mereka mampu menganalisis data Call Data Record (CDR). Tim terindikasi tidak ingin (unwillingness) mengungkap kasus ini secara serius,” tulisa Koalisi dalam siarang persnya yang diterima Hukumonline, Senin (24/12).

 

Terakhir, tim Polda telah mengumpulkan sebagian besar rekaman video CCTV di sekitar TKP, namun tidak meminta bantuan Tim Puslabfor untuk menelaah seluruh rekaman video tersebut kecuali rekaman CCTV di rumah Novel Baswedan. “Tim Polda tidak memaksimalkan sumber daya dalam tahap pelacakan, penelitian, dan analisis dokumen sebagaimana ditetapkan dalam Perkap 14/2012”.

 

Mengenai hal ini, Wadah Pegawai (WP) KPK berharap agar TGPF segera dibentuk. TGPF ini dibentuk oleh Presiden RI dan bersifat independen serta bertanggung jawab langsung hanya kepada Presiden RI. “Bukan dibentuk oleh Kapolri dan di bawah koordinasi Kapolri,” tulis Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap dalam siaran persnya.

 

WP KPK juga mendukung sepenuhnya rekomendasi Komnas HAM kepada pimpinan KPK untuk segera memulai langkah-langkah hukum dan membangun penyelidikan atas tindakan penyiraman air keras kepada Novel Baswedan dalam konstruksi obstruction of justice (menghalang-halangi proses penegakan hukum).

Tags:

Berita Terkait