Seputar Kedudukan Kejaksaan Sebagai Government Law Office
Fokus

Seputar Kedudukan Kejaksaan Sebagai Government Law Office

Dalam praktik, jaksa telah sering mendapat kuasa untuk mewakili lembaga negara di pengadilan. Dalam praktik pula, kedudukan jaksa selaku pengacara negara dipertanyakan. Ada pro dan kontra.

MYS/ALI
Bacaan 2 Menit
Kantor Jaksa Pengacara Negara. Foto: RES
Kantor Jaksa Pengacara Negara. Foto: RES

Kantor Gubernur Kalimantan Tengah dan kantor Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah hanya terpisahkan oleh jalan. Menyusuri taman di depan kantor Gubernur, lalu menyeberangi lampu lintas di sebelah kiri, Anda akan segera disambut plang berwarna dasar biru di Jalan Imam Bonjol No.10 Palangkaraya. Tulisannya jelas: ‘Kantor Pengacara Negara (Government Law Office)’.

Tulisan yang sama bisa ditemukan di kantor-kantor Kejaksaan di seluruh Indonesia. Ada yang hanya menggunakan bahasa Indonesia, ada pula yang digabung dengan bahasa Inggris Government Law Office. Yang jelas, kalimat ini merujuk pada kedudukan jaksa sebagai pengacara negara (JPN). Lembaga negara yang menghadapi masalah hukum bisa memberikan kuasa kepada jaksa dan mewakili pimpinan lembaga negara tersebut di pengadilan.

Salah satu contoh menarik adalah ketika PT Inmas Abadi –diwakili kantor pengacara Ihza & Ihza Law Firm—menggugat surat keputusan Gubernur Bengkulu terkait izin usaha tambang. Digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara, Gubernur Bengkulu memberikan kuasa kepada enam orang anak buahnya di Biro Hukum Pemda Bengkulu, termasuk Kepala Biro Hukum Setda, Riris Budiyati.

Rupanya, enam orang staf biro hukum tak cukup. Kepala Kejaksaan Tinggi Bengkulu Pudji Basuki Setijono juga diberi kuasa. Oleh Pudji, kuasa itu disubstitusikan lagi kepada empat orang JPN yang bertugas di Kejaksaan Tinggi Bengkulu. Lepas dari substansi putusan MA atas sengketa ini (putusan No. 222K/TUN/2013), perkara ini memperlihatkan jalur pemberian kuasa dari seorang kepala daerah kepada JPN.

Tak hanya kepala daerah yang memanfaatkan JPN. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan kuasa kepada JPN untuk menghadapi ratusan permohonan penyelesaian sengketa pemilu legislatif 2014 di Mahkamah Konstitusi (MK). Mengingat jumlah permohonan yang cukup banyak mustahil bagi staf hukum KPU untuk mempersiapkan bahan-bahan dan menghadiri persidangan.

Darimana sebenarnya kewenangan dan tugas JPN mendampingi dan mewakili instansi pemerintah di pengadilan? Kejaksaan selalu merujuk pada Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Disebutkan di sini, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Rumusan ini menggunakan kata ‘dapat yang berarti tak selalu wajib. Cuma pasal ini tak menjelaskan dalam perkara apa saja Kejaksaan bisa mewakili, dan instansi pemerintah mana saja yang dapat diwakili.

Literatur yang ditulis jaksa juga tak memberikan gambaran yang lebih detail. Marwan Effendy, Jaksa Agung Muda Pengawasan, menulis dalam bukunya ‘Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum (2005) beberapa kali menyebut wewenang itu tanpa penjelasan lebih lanjut. Fachmi sempat menguraikan kewenangan historis Kejaksaan dalam bukunya ‘Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia’ (2011).

Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat itu menulis tugas dan wewenang Kejaksaan dalam Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan 2004 relatif baru. Itu bukan tugas yang secara tradisional melekat pada lembaga Kejaksaan, meskipun secara implisit tugas tersebut sudah dilaksanakan jauh sebelum UU Kejaksaan 2004.

Faktanya, secara yuridis, wewenang dan tugas itu disebut dalam payung hukum struktur Kejaksaan, dan peraturan-peraturan teknis yang terbit belakangan. Sebutlah Peraturan Jaksa Agung No. 040/A/J.A/12/2010 tentang Standar Operating Prosedur (SOP) Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Wewenang Perdata dan Tata Usaha Negara.

Ketua Forum Hukum BUMN, Gunawan, juga menyatakan kerjasama dengan Kejaksaan memberikan manfaat. “Kami mendukung. Kami merasakan banyak manfaatnya,” ujarnya kepada hukumonline.

Negara atau pemerintah
Kata yang dipakai dalam rumusan Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan adalah untuk dan atas nama ‘negara atau pemerintah’. Tak ada penjelasan sama sekali lembaga negara atau lembaga pemerintah yang bisa diwakili Kejaksaan baik di luar maupun di dalam pengadilan.

Ketidakjelasan ini menjadi salah satu pangkal perbedaan pandangan mengenai nota kesepahaman antara Kejaksaan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dapatkan Kejaksaan mewakili BUMN --yang notabene kekayaannya sudah dipisahkan dari kekayaan negara—di dalam atau di luar pengadilan? 

Dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Hukum BUMN dan hukumonline, 28 April lalu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Widyo Pramono menegaskan nota kesepahaman Kejaksaan dengan BUMN bertujuan meningkatkan kerjasama termasuk konsultasi dalam pengadaan barang dan jasa. Kerjasama itu juga, kata dia, ‘merupakan salah satu langkah preventif dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di BUMN’.

Dalam praktiknya, salah satu wujud kerjasama itu adalah keterlibatan jaksa dalam ‘menagih’ iuran listrik dari pelanggan nakal yang jumlahnya banyak. Riset yang dilakukan Evy Lusia Ekawati (2013) di Yogyakarta, seorang jaksa, menyimpulkan jaksa selaku pengacara negara bekerja berdasarkan surat kuasa khusus yang diterbitkan PLN. Jika pelanggan masih membandel Kejaksaan melayangkan surat panggilan dan bertindak sebagai mediator. Ia menyimpulkan jaksa mewakili PLN itu sudah sesuai amanat UU Kejaksaan, dan memanggil pelanggan PLN ke kantor Kejaksaan, tulisnya, ‘dipandang efektif menyelesaikan masalah tunggakan rekening listrik pelanggan’.

Data yang dilansir Widyo Pramono dalam diskusi Forum Hukum BUMN di atas mengkonfirmasi kerjasama Kejaksaan dengan BUMN yang terus berkembang. Jika pada 2009 hanya ada 2 nota kesepahaman yang diteken, dan naik menjadi 9 pada tahun berikutnya, maka pada 2013 sudah meningkat tajam menjadi 25 nota kesepahaman.

Sejauh ini wewenang jaksa dalam perdata dan tata usaha negara masih tetap dijalankan. Bukan berarti tidak ada pihak yang mempersoalkan. Pengacara termasuk yang mempersoalkan Kejaksaan sebagai kuasa BUMN di persidangan. ‘Gugatan’ atas posisi JPN mewakili BUMN pernah disampaikan secara terbuka oleh pengacara Fredrich Yunadi dan anggota Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) Agustinus Dawarja.

Semangat ‘gugatan’ pengacara terhadap JPN mewakili BUMN sebenarnya terekam dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Namun dari sisi tata urutan dan kekuatan hukumnya jelas SEMA ini kalah jauh dibanding UU No. 16 Tahun 2004.

Jika demikian halnya, maka langkah terbaik yang bisa dilakukan adalah duduk bersama antara para pemangku kepentingan. Terutama membahas batas-batas representasi JPN dalam kasus perdata dan tata usaha negara yang membelit BUMN.  Dorongan untuk memperjelas prokontra itu juga datang dari Gunawan. “Yang kami dorong adalah cari kejelasan aturan main,” ujar Ketua Forum Hukum BUMN itu.

Tags:

Berita Terkait