Sepakat dan Permasalahannya: Teori dan Kepercayaan
Catatan Hukum J. Satrio

Sepakat dan Permasalahannya: Teori dan Kepercayaan

​​​​​​​Menurut Teori Kepercayaan, kalau pihak yang menerima pernyataan tahu atau sepatutnya tahu, bahwa si pemberi pernyataan keliru dalam pernyataannya, maka akseptasi dari pihak yang menerima pernyataan tidak menimbulkan perjanjian.

RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Makalah yang lalu mengatakan, bahwa kalau para pihak dalam perjanjian tidak menyimpangi ketentuan hukum yang bersifat menambah, maka para pihak dianggap menyetujui, bahwa hukum yang bersifat menambah mengikat mereka. Lalu bagaimana kita bisa terikat pada segi tertentu dari perjanjian, kalau kita tidak pernah menyepakatinya?

 

Prinsip yang mengatakan, bahwa perjanjian mengikat para pihak, berangkat dari pikiran, bahwa apa yang dinyatakan adalah sesuai dengan yang dikehendaki oleh si pemberi pernyataan. Mestinya memang begitu, bukankah kita tidak tahu apa yang ada dalam hati seseorang?

 

Dan dalam praktiknya memang apa yang dinyatakan pada umumnya adalah sama dengan yang dikehendaki. Peristiwa di mana pernyataan tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberi pernyataan adalah peristiwa perkecualian dan orang sulit untuk membuktikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh yang bersangkutan.

 

Namun demikian ada kalanya orang bisa membuktikan, bahwa yang dinyatakan adalah tidak sesuai dengan yang dikehendakinya. Perlu diketahui, bahwa suatu pernyataan bisa diberikan oleh yang bersangkutan sendiri atau melalui kuasanya atau melalui sarana komunikasi. 

 

Teori Kepercayaan berusaha untuk memberikan jawaban atas pertanyaan: apakah, kalau pernyataan tidak sesuai dengan yang dikhendaki oleh si pemberi pernyataan, akseptasi oleh lawan janjinya menimbulkan perjanjian?

 

Menurut teori ini, semua itu bergantung dari jawab atas pertanyaan, apakah lawan janjinya tahu, bahwa si pemberi pernyataan telah memberikan pernyataan yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh si pemberi pernyataan? Dengan perkataan lain, apakah yang menerima pernyataan tahu, bahwa pemberi pernyataan keliru dalam pernyataannya?

 

Di dalam unsur “tahu”, termasuk di dalamnya unsur “sepatutnya tahu”. Jadi, pertanyaannya menjadi: apakah lawan janjinya -- yang menerima pernyataan -- tahu atau sepatutnya tahu, bahwa pihak yang memberi pernyataan keliru?

 

Catatan. Sebagaimana sudah disebutkan di depan, pernyataan seseorang bisa diberikan melalui tindakan, ucapan, tulisan atau sikap si pemberi pernyataan.

 

Menurut Teori Kepercayaan, kalau pihak yang menerima pernyataan tahu atau sepatutnya tahu, bahwa si pemberi pernyataan keliru dalam pernyataannya, maka akseptasi dari pihak yang menerima pernyataan tidak menimbulkan perjanjian.

 

Masalah “tahu” dan/atau “sepatutnya tahu”, berkaitan dengan gambaran yang muncul pada benak pihak yang menerima penawaran (pernyataan) -- yang muncul sebagai akibat dari pernyataan si pemberi penawaran -- atas mana si penerima penawaran (pernyataan) patut untuk percaya, bahwa yang dinyatakan itu memang dikehendaki oleh si pemberi pernyataan, dengan perkataan lain percaya bahwa yang dinyatakan adalah sesuai dengan yang dikehendaki oleh si pemberi pernyataan. Di sini “kepatutan” mempunyai peranan turut menentukan lahirnya perjanjian.

 

Contoh: kalau setelah berunding mengenai suatu perjanjian tertentu, salah satu pihak menyalami pihak yang lain, maka bisa timbul gambaran dalam benak pihak lain dalam perjanjian, bahwa perjanjian itu telah disepakati. Tindakan “menyalami” dalam peristiwa seperti itu bisa menimbulkan gambaran (kepercayaan) dalam benak lawan janji dalam perjanjian, bahwa perjanjian dengan itu lahir.

 

Kalau dalam suatu lelang, ada hadirin yang menjulurkan jari atau tangan ke atas, maka pada benak juru lelang bisa timbul suatu kesan (gambaran), bahwa hadirin itu menawar harga yang baru saja disebutkan oleh juru lelang.

 

Kalau tamu di restoran setelah menghabiskan es kopior yang telah dipesan, kemudian ia membunyikan gelas minum dengan sendok dan mengangkat gelas itu disertai dengan menjulurkan jari telunjuk, maka pada pemilik restoran timbul suatu persepsi, bahwa tamu itu pesan 1 gelas es kopior lagi.

 

Masalahnya, kalau bukan seperti itu yang dimaksud oleh pihak yang memberikan pernyataan, apakah dalam peristiwa seperti itu dengan akseptasi dari lawan janjinya lahir suatu perjanjian? Kalau yang menyalami lawan janji tidak hendak menyatakan, bahwa perjanjian telah ditutup, tetapi hanya mau pamit saja; kalau yang menjulurkan tangan atau jari dalam lelang tidak hendak menawar, lalu apakah aksepatsi dari lawan janjinya menimbulkan perjanjian?

 

Karena perjanjian pada umumnya dimulai dengan adanya penawaran dan akseptasi, maka untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, kita akan kaitkan contoh kita dengan penawaran dan akseptasi. Kita coba gambarkan demikian:

 

A memberikan penawaran untuk menutup perjanjian jual beli sepeda motor (dengan ciri-ciri tertentu) kepada B. Dalam penawaran itu disebutkan harga yang diminta oleh A, sebagai pihak penjual. Terjadilah rundingan mengenai harga dan syarat-syarat jual beli. Sesudah sekian lama terjadi tarik ulur mengenai harga dan syarat-syarat jual beli, akhirnya A (calon penjual) menyerahkan kunci sepeda motor itu dan STNK-nya kepada B. Dalam benak B timbul pikiran/gambaran, bahwa jual beli sepeda motor itu telah terjadi dengan harga penawaran dan syarat-syarat yang yang dicapai dalam perundingan terakhir. B hendak membayar, tetapi A menolak, dengan mengatakan, bahwa jual beli belum terjadi. Hal itu berarti, bahwa gambaran yang muncul dalam benak B tidak sama dengan yang dikehendaki oleh A. Yang dikehendaki oleh A dengan menyodorkan kunci sepeda motor dan STNK-nya adalah agar B bisa mencoba kendaraan itu, namun diterima oleh B sebagai tanda bahwa A menyepakati jual beli itu.

 

Pertanyaannya: apakah dalam peristiwa itu telah terjadi jual beli?

 

Menurut Teori Kepercayaan semuanya bergantung, apakah B, dalam peristiwa dan keadaan yang ada, patut untuk percaya – dengan perkataan lain patut untuk timbul gambaran dalam benaknya -- bahwa A telah menyepakati jual beli itu?

 

Semua itu harus diukur menurut pandangan masyarakat di mana peristiwa itu terjadi, apakah menurut pandangan masyarakat, tindakan A -- menyerahkan kunci kontak dan STNK -- patut untuk diartikan sebagai pernyataan, bahwa jual beli telah ditutup?

 

Karena di sini dipakai ukuran pandangan “masyarakat pada umumnya”, bukan orang atau individu tertentu, maka orang mengatakan di sini dipakai ukuran obyektif.

 

Kiranya kehidupan bermasyarakat membutuhkan suatu asas (jaminan) yang mengatakan, bahwa orang yang percaya atau -- menurut pandangan masyarakat di mana pernyataan diberikan -- patut untuk percaya, bahwa gambaran yang muncul pada dirinya, adalah sesuai dengan yang dikehendaki oleh yang memberikan pernyataan, perlu dilindungi, dengan perkataan lain mereka yang iktikadnya baik, kepentingannya harus dilindungi dari pernyataan yang ternyata, katanya (si pemberi pernyataan), adalah tidak dimaksudkan seperti itu.

 

Dalam pergaulan hidup, orang yang salah mengucapkan atau menulis suatu tulisan tertentu atau salah mengambil sikap tertentu, harus mau menanggung risiko, bahwa pernyataan atau sikapnya dalam masyarakat ditafsirkan lain daripada yang dikehendaki olehnya.

 

Bagaimana hal itu bisa dibenarkan?

 

(J. Satrio)

Tags:

Berita Terkait