​​​​​​​Sepakat dan Permasalahannya: Lahirnya Perjanjian
Catatan Hukum J. Satrio

​​​​​​​Sepakat dan Permasalahannya: Lahirnya Perjanjian

​​​​​​​Pihak yang sepakatnya mengandung cacat, dengan tidak memanfaatkan Pasal 1454 B.W. untuk keuntungannya, maka ia dianggap menyetujui perjanjian itu.

RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio. Foto: FEB
J. Satrio. Foto: FEB

Kita sedang menghadapi pertanyaan:

Apakah perjanjian, yang ditutup atas dasar adanya kesesatan, paksaan, penipuan dan penyalahgunaan kehendak, lahir? Apakah dalam peristiwa seperti itu lahir perjanjian?

 

Pasal 1449 B.W. mengatakan:

“Perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya”.

 

Kalau undang-undang memberikan hak untuk menuntut pembatalan perjanjian-perjanjian yang pada waktu penutupannya mengandung cacat dalam kehendak, maka bisa kita simpulkan, bahwa:

 

Perjanjian yang mengandung cacat dalam kehendak lahir (ada), tetapi bisa dituntut pembatalannya.

 

Dapat “dituntut pembatalannya” dalam peristiwa di atas berarti, perjanjian itu tidak batal, hanya saja perjanjian seperti itu dapat dituntut pembatalannya. Konsekuensinya, kalau perjanjian seperti itu ternyata tidak dituntut pembatalannya, maka perjanjian itu mengikat para pihak sama seperti suatu perjanjian yang tidak mengandung cacat dalam kehendak atau dengan perkataan lain sama seperti suatu perjanjian yang sah.

 

Kesimpulannya: perjanjian yang mengandung cacat dalam kehendak, yang tidak dituntut pembatalannya, mengikat para pihak sama seperti perjanjian yang sah.

Kalau begitu :

 

Orang bisa terikat kepada perjanjian yang tidak dikehendakinya, kalau ia -- setelah ia menyadari adanya kekhilafan atau penipuan atau setelah paksaan itu berhenti -- dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang tidak menuntut pembatalan (baca Pasal 1454 B.W.).

 

Coba Anda baca Pasal 1454 B.W., maka Anda akan bisa membaca, bahwa :

 

Dalam semua hal, di mana suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan tidak dibatasi dengan suatu ketentuan undang-undang khusus hingga suatu waktu yang lebih pendek, waktu itu adalah lima tahun. Waktu itu mulai berlaku :

- ……………..  

- dalam halnya paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti,

- dalam halnya kekhilafan atau penipuan, sejak diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu. 

 

Jadi, sekalipun perjanjian, yang pada waktu penutupannya mengandung cacat dalam kehendak, tetap lahir, tetapi dalam waktu lima tahun sejak paksaan itu tidak ada lagi, atau sejak disadari bahwa ia tersesat atau tertipu, yang bersangkutan harus mengajukan tuntutan pembatalan perjanjian itu, kalau tidak, maka perjanjian itu mengikat para pihak sama seperti perjanjian yang sah.

 

Kalau benar begitu, bukankah orang yang mentutup perjanjian atas dasar adanya cacat dalam kehendak sebenarnya tidak menghendaki perjanjian itu? Ia telah menyetujuinya karena ia tersesat, terpaksa atau tertipu.

 

Namun, dari dimungkinkannya tuntutan pembatalan atas perjanjian yang mengandung cacat dalam kehendak, bisa kita katakan, perjanjian yang mengandung unsur cacat dalam kehendak pada waktu penutupannya -- sekalipun sebelum dituntut pembatalannya mengikat para pihak namun -- merupakan perjanjian tidak sah.

 

Perjanjiannya lahir, tapi tidak sah, dalam arti bisa dituntut pembatalannya oleh pihak yang kehendaknya cacat. Bukankah perjanjian yang sah mengikat para pihak sebagai suatu undang-undang (Pasal 1338 ayat 1 B.W.) dan hanya boleh dibatalkan atau diubah dengan sepakat para pihak atau dalam hal undang-undang membolehkan hal itu (baca Pasal 1338 ayat 2 B.W.)? Tidak sah di sini dalam arti, atas tuntutan pihak yang kehendaknya cacat perjanjian itu bisa dibatalkan

 

Lalu bagaimana orang membenarkan akibat yang disebutkan di atas?

 

Dalam peristiwa seperti itu, pihak yang sepakatnya mengandung cacat, dengan tidak memanfaatkan Pasal 1454 B.W. untuk keuntungannya, maka ia -- yang tersesat, terpaksa dan tertipu -- dianggap menyetujui perjanjian itu.

 

Yang namanya anggapan belum tentu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

 

Pada umumnya -- memang tidak selalu, tetapi kebanyakan -- suatu perjanjian adalah hasil perundingan, tawar menawar mengenai harganya, mengenai syarat-syaratnya atau janji-janjinya -- sampai suatu ketika dicapai sepakat, sehingga lahirlah perjanjian.

 

Namun jangan dikira, bahwa perjanjian itu baru lahir kalau semua segi perjanjian telah disepakati. Ternyata, kalau segi-segi pokok -- yang utama, yang esensiil untuk adanya perjanjian itu -- telah disepakati, maka perjanjian itu sudah lahir, sekalipun ada segi detail tertentu yang belum disepakati. Hal itu nampak dari Pasal 1333 B.W., yang mengatakan, bahwa:

 

 “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

 

Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

 

Jadi saat perjanjian ditutup mungkin Anda belum tahu berapa besar atau berapa banyaknya obyek perjanjian yang disepakati. Hal itu menurut ketentuan di atas tidak menjadi masalah, sekalipun Pasal 1320 sub 3 B.W. mensyaratkan: adanya hal tertentu, yang maksudnya adalah adanya suatu benda (zaak) atau suatu obyek tertentu.

 

Perhatikan kata “tertentu”. Ternyata kata “tertentu” tidak harus tertentu dalam segala seginya. Hal itu nampak dalam Pasal 1333 tersebut di atas. Kekurangan itu nantinya bisa diisi oleh ketentuan undang-undang yang bersifat menambah, kebiasaan atau kepatutan (baca Pasal 1339 B.W.).

 

Kalau begitu orang bisa terikat kepada isi tertentu suatu perjanjian, yang tidak pernah ia tegas-tegas sepakati.

 

Perhatikan kata “isi tertentu” dari suatu perjanjian, karena unsur pokok -- unsur esensialia -- perjanjian harus sudah disepakati agar perjanjian lahir.

 

B.W. berangkat dari prinsip, atas segi-segi perjanjian -- yang bukan merupakan esensialia dari perjanjian yang bersangkutan -- yang ditinggalkan tidak diatur (disepakati) oleh para pihak, akan demi hukum diisi dengan ketentuan hukum yang bersifat menambah (aanvullendrecht), dan kalau hukum yang bersifat menambah tidak ada, diisi oleh kebiasaan yang berlaku atau oleh kepatutan (baca Pasal 1339 B.W.).

 

Dasarnya, pembuat undang-undang berangkat dari pikiran, kalau ketentuan undang-undang yang bersifat menambah (yang bersifat aanvullend) boleh disimpangi oleh para pihak -- dengan membuat sepakat yang menyimpang dari ketentuan itu -- atau boleh disepakati oleh para pihak untuk menyingkirkan kebiasaan yang berlaku di tempat di mana perjanjian itu dilaksanakan atau boleh mengatur semua segi dengan teliti, tetapi ternyata tidak dilakukan oleh para pihak, maka pembuat undang-undang boleh berangkat dari anggapan, bahwa para pihak dalam perjanjian menyepakati bunyi Ps. 1339 B.W. sebagaimana adanya.

 

Jadi dasarnya adalah persangkaan, yang bisa tidak sama dengan kenyataan yang ada.            

 

(J. Satrio)

Tags:

Berita Terkait