Sengketa Perbankan Syariah Diselesaikan Sesuai Akad
Berita

Sengketa Perbankan Syariah Diselesaikan Sesuai Akad

Dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

ASH
Bacaan 2 Menit
Sengketa Perbankan Syariah Diselesaikan Sesuai Akad
Hukumonline

MK membatalkan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang mengatur tentang pilihan sengketa antara nasabah dan pihak bank. Alasannya, adanya dualisme penyelesaian sengketa perbankan syariah dalam ketentuan itu menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga penyelesaian sengketa perbankan syariah sesuai akad yang tidak bertentangan prinsip syariah.    

“Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua Majelis MK, M. Akil Mochtar, saat membacakan putusan pengujian UU Perbankan Syariah yang dimohonkan Dadang Achmad di Gedung MK, Kamis (29/8).

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) berbunyi, “... penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada perbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di Pengadilan Agama. Disamping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam akad oleh para pihak.”

Mahkamah menilai pilihan forum hukum seperti diatur Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah dalam beberapa kasus konkrit memunculkan ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan kerugian bagi nasabah dan Unit Usaha Syariah. Adanya pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum) perbankan syariah itu pada akhirnya akan menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili.

“Karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat, saat membacakan pertimbangan hukum putusan.  

Sedangkan Pasal 49 huruf i UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama secara tegas dinyatakan peradilan agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah termasuk sengketa ekonomi syariah.

“Merujuk sengketa yang dialami pemohon dan praktik penyelesaian sengketa ekonomi syariah hukum harus memberikan kepastian bagi nasabah dan unit usaha syariah dalam penyelesaian perbankan syariah,” lanjut Arief  

Karena itu, menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Termasuk juga hilangnya hak konstitusional nasabah untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah.

Dalam putusan ini, majelis MK tidak mencapai suara bulat karena Hakim Konstitusi Muhammad Alim memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dan dua hakim konstitusi (Hamdan Zoelva dan Fadlil Sumadi) menyampaikan alasan berbeda (concurring opinion).

Misalnya, Hamdan Zoelva berpendapat perjanjian atau akad yang mencantumkan penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui pengadilan umum seperti diatur Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah bertentangan konstitusi. Sebab, bertentangan dengan prinsip pemisahan kewenangan absolut yang ditentukan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah yang memungkinkan sengketa di peradilan umum menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip konstitusi,” tegas Hamdan.

Sementara Muhammad Alim menyatakan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf c UU Perbankan Syariah yang menentukan penyelesaian sengketa sesuai dengan akad adalah upaya musyawarah, mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional.

Menurutnya, upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dibenarkan berdasarkan asas musyawarah, dengan syarat tidak melanggar ketentuan UU dan sejalan dengan ketentuan syariah.

Saat dikonfirmasi, kuasa hukum pemohon (Dadang Achmad), Rudi Hernawan sangat mengapresiasi putusan MK terkait pembatalan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah. Sebab, putusan ini sudah sesuai dengan tujuan awal pemohon yang menginginkan penyelesaian sengketa perbankan syariah hanya bisa dilakukan melalui Pengadilan Agama.

“Jadi dengan adanya putusan ini kedepannya sengketa yang menyangkut perbankan syariah harus diselesaikan di Pengadilan Agama,” kata Rudi.  

Pengujian Pasal 55 ayat (2), ayat (3) UU Perbankan Syariah ini diajukan seorang nasabah Bank Muamalat, Dadang Achmad. Ia menilai Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2)-nya dinilai kontradiktif karena ayat (1) secara tegas mengatur jika terjadi sengketa dalam praktik perbankan syariah merupakan kewenangan pengadilan agama.

Sementara ayat (2) membuka ruang para pihak yang terikat akad untuk memilih peradilan manapun jika terjadi sengketa praktik perbankan syariah. Hal ini dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karena itu, agar mencerminkan adanya kepastian hukum seharusnya Pasal 55 ayat (2) harus dinyatakan batal.

Pemohon sendiri mengalami kredit macet di Bank Muamalat Cabang Bogor melalui akad pembiayaan sebagaimana tertuang dalam Akta Notaris No. 34 tertanggal 09 Juli 2009, lalu diperbaharui Akta Notaris No. 14 tertanggal 8 Maret 2010. Dalam akad itu, disebutkan jika terjadi sengketa mereka telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di Pengadilan Negeri Bogor.

Tags: