Sengkarut Keuangan BUMN Tak Boleh Berlarut
Utama

Sengkarut Keuangan BUMN Tak Boleh Berlarut

Guru Besar FH UGM berharap segera ada harmonisasi mengenai keuangan BUMN dan negara.

AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Guru Besar FH UGM Prof Nindyo Pramono. Foto: SGP
Guru Besar FH UGM Prof Nindyo Pramono. Foto: SGP

Guru Besar FH UGM Prof Nindyo Pramono menilai ada ketidaksinkronan beberapa undang-undang terkait apakah kekayaan BUMN sebagai bagian kekayaan (keuangan) negara. Jika mengacu UU Keuangan Negara, UU BPK, UU Pemberantasan Tipikor, UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, dan UU No. 49/Prp/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, maka kekayaan BUMN bagian dari kekayaan negara.

Namun, jika merujuk pada UU BUMN, UU Perseroan Terbatas, UU Perbankan, UU Pasar Modal yang terkait lingkup bisnis secara tegas menyatakan kekayaan BUMN adalah kekayaan perusahaan. “Ketidakharmonisan peraturan ini tidak sepatutnya dibiarkan,” kata Nindyo saat memberi keterangan tambahan dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 2 huruf g dan huruf i UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara di Gedung MK, Senin (16/9).

Nindyo mengatakan jika ketidakharmonisan sejumlah undang-undang itu dibiarkan akan membuat gamang direksi di BUMN untuk mengambil keputusan bisnis. Hal ini terbukti dari kesaksian sejumlah pelaku bisnis BUMN yang mengalami tuduhan tindak pidana korupsi dalam lingkup usaha bisnisnya. “Ini tidak boleh berlangsung terus menerus, demi kepentingan dan kemakmuran rakyat,” kata Nindyo.    

Menurut dia, jika mengacu doktrin badan hukum kekayaan terpisah dari BUMN ini yaitu kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan perusahaan. Doktrin ini sudah mendunia dan para guru besar FH UGM sudah melakukan penelitian mengenai hal ini dengan kesimpulan kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan perusahaan. Karena itu, jika konsisten dengan doktrin ini, BPK tidak berwenang memeriksa keuangan BUMN.

Sayangnya, definisi otentik dari doktrin ini tidak pernah dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan hingga keluarnya undang-undang yang menyebut kekayaan negara yang dipisahkan menjadi bagian keuangan negara. Makanya, dari sisi doktrin hukum bisnis tidak tepat jika keuangan BUMN diperiksa BPK. Alasannya kewenangan BPK memeriksa pengelolaan keuangan negara.

“Terlebih, UU Perseroan Terbatas menyebutkan keuangan perusahaan termasuk perusahaan negara yang mengelola dana masyarakat wajib diperiksa oleh akuntan publik,” tegasnya.   

Meski begitu, kata Nindyo, bisa saja direksi BUMN dipidanakan. Misalnya, jika mereka nyata-nyata korupsi yang merugikan keuangan negara yang ditangani KPK atau kejaksaan. “Tidak mustahil juga direksi BUMN melakukan tindak pidana umum, seperti menipu atau menggelapkan uang perusahaan. Ini sudah ada pasalnya dalam KUHP,” tutur ahli yang sengaja diajukan pemohon ini.                

Ahli pemohon lainnya, Guru Besar FHUI Prof Erman Radjagukguk menambahkan keuangan BUMN (badan hukum) bukanlah keuangan negara. Namun, keuangan BUMN bisa menjadi keuangan negara jika BUMN berbentuk usaha dagang milik negara seperti, CV dan firma. “Bentuk usaha CV milik atau firma milik negara bukan badan hukum perseroan. Jadi aset dan piutangnya milik negara,” kata Erman.    

Uji materi ini dimohonkan sejumlah dosen keuangan negara yang tergabung dalam Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSS UI) dan Forum Hukum BUMN Dkk. Selain menguji Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara, mereka menguji Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, dan Pasal 11 huruf a UU BPK.

Forum Hukum BUMN Dkk berdalih pengertian keuangan negara dan kekayaan negara dalam Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Pengertian itu menyebabkan disharmonisasi dengan ketentuan dalam UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas.

Selain itu, Pasal 2 huruf g dan i UU Keuangan Negara itu berpotensi melanggar hak konstitusional masyarakat, badan, bangsa. Ketentuan itu mengatur kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah sebagai badan hukum privat dan kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas dari pemerintah. Padahal, secara regulasi, tata kelola, dan risiko tidak diwujudkan (masuk) dalam UU APBN.

Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2 huruf g dan i UU Keuangan Negara bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” dan frasa “kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.” 

Tags:

Berita Terkait