Sembilan Catatan Imparsial terhadap Agenda Reformasi TNI
Utama

Sembilan Catatan Imparsial terhadap Agenda Reformasi TNI

Mulai wacana pembentukan dewan keamanan nasional, peran internal militer yang semakin menguat, hingga rendahnya kesejahteraan prajurit TNI dan tidak merata.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Kedua, peran internal militer yang semakin menguat. Salah satu capaian dari pelaksanaan reformasi TNI pada tahun 1998 berupa pembatasan terhadap keterlibatan militer dalam ranah sipil dan keamanan dalam negeri. Tapi sayang, dalam beberapa tahun belakangan terjadi kemunduran capaian tersebut. Sebab, TNI mulai banyak terlibat secara aktif dalam mengatasi permasalahan dalam negeri.  

“Keterlibatan militer menyalahi UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Malah terjadi pembiaran, tak ada evaluasi dan koreksi dari otoritas politik sipil.”

Ketiga, operasi militer ilegal di Papua. Kendati status Papua sebagai daerah operasi militer dicabut pada awal reformasi, namun operasi militer pengiriman pasukan non-organik ke bumi Cenderawasih tetap berjalan. Ironisnya, keseluruhan operasi dan pengiriman pasukan tersebut tanpa dasar hukum yang jelas. Mengacu Pasal 7 ayat (3) UU 34/2004 mengamanatkan operasi militer diperuntukkan perang dan operasi militer selain perang harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Berdasarkan catatan Imparsial, setidaknya periode 2022 sebanyak 4.350 prajurit TNI sudah dikirim ke tanah Papua. Sedangkan sepanjang tahun 2021-2022, terjadi 63 peristiwa kekerasan bersenjata yang menyebabkan korban jiwa 61 orang. Terdiri dari 37 Sipil, 21 TNI-Polri dan 8 KKB. Adapun sebagian besar kontak senjata di pemukiman penduduk dan bukan hutan.

Keempat, belum dijalankannya reformasi sistem peradilan militer. Menurutnya, reformasi sistem peradilan militer melalui melalui perubahan UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan salah satu mandat reformasi 1998 yang belum terlaksana. Padahal, agenda tersebut menjadi salah satu jantung dari reformasi TNI. Dia menilai selama peradilan militer belum direformasi, selama itu pula proses reformasi TNI belum selesai.

Dia menilai dalam praktiknya, peradilan militer menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana. Sekalipun terdapat hukuman terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana, kerapkali sanksi yang dijatuhkan tak maksimal. Baginya, reformasi peradilan militer sejatinya mandat dari UU 34/2004.

Kelima, restrukturisasi Komando Teritorial (Koter). Dia berpendapat restrukturisasi Koter merupakan agenda reformasi TNI yang diusung oleh gerakan mahasiswa dan demokratik lainnya pada awal reformasi 1998 silam. Kendati peran politik ABRI/TNI telah dihapus, tapi struktur Koter tak kunjung direstrukturisasi serta masih dipertahankan.  

Tags:

Berita Terkait