Sembilan Alasan Insolvency Test Tak Cocok di Indonesia
Terbaru

Sembilan Alasan Insolvency Test Tak Cocok di Indonesia

Penghapusan hak kreditur untuk mengajukan PKPU terhadap debitor merupakan jalan keluar paling masuk akal ketimbang insolvency test.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
AKPI menyelenggarakan seminar dan webinar nasional dengan mengangkat tema Relevansi Doktrin Insolvency Test Terhadap Kepastian Pembayaran Utang Dalam Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Jakarta, Rabu (17/11). Foto: RES
AKPI menyelenggarakan seminar dan webinar nasional dengan mengangkat tema Relevansi Doktrin Insolvency Test Terhadap Kepastian Pembayaran Utang Dalam Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Jakarta, Rabu (17/11). Foto: RES

Penerapan insolvency test menjadi isu hangat setelah APINDO meminta pemerintah untuk melakukan moratorium permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Insolvency test dinilai penting untuk menguji apakah PKPU yang dimohonkan oleh kreditur kepada debitur sudah tepat.

Namun menurut Ketua Dewan Sertifikasi Asosiasi Kurator Indonesia (AKPI) Ricardo Simanjuntak, insolvency test tidak dapat diterapkan di Indonesia. Dia mengungkapkan setidaknya ada sembilan alasan dibalik statemen tersebut.

Pertama, kreditor pada umumnya tidak memiliki laporan keuangan dari debitornya, sehingga dalam hal debitor tersebut adalah PT.Tertutup maka akan sangat sulit/hampir tidak mungkin bagi kreditor untuk mendapatkan laporan keuangan neraca debitor untuk dapat digunakan sebagai bukti dalam permohonan pernyataan pailit atau PKPU.

Kedua, bila kreditor pemohon pailit adalah bank. Andaipun pada awalnya bank atau perusahaan pembiayaan non bank memiliki laporan keuangan dari debitornya, akan tetapi tidak jarang terjadi bahwa debitor tidak lagi memberikan laporan keuangan terkininya kepada pihak bank/perusahaan pembiayaan setelah debitor tersebut default ataupun masuk dalam kategori utang macet walaupun telah mengalami perpanjangan (revolving) secara berulang kali.

Ketiga, sebagai pihak pemohon pernyataan pailit, yang berdasarkan Pasal 1865 KUH.Perdata dan Pasal 163 HIR dikenakan beban pembuktian, tidak saja hanya akan kesulitan untuk mengajukan bukti laporan keuangan debitor terkini berdasarkan Pasal 1866 dan Pasal 1888 KUH Perdata, akan tetapi, seperti yang dijelaskan oleh Wee Meng Seng, juga akan sangat sulit membangun dalil-dalil permohonan yang menjadi dasar argumentasi mengapa seorang debitor telah memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit. (Baca: Tak Ada Acuan Baku, Insolvency Test Sulit Diterapkan di Indonesia)

“Kreditur tidak punya laporan keuangan debitur. Kalau debitur perusahaan tertutup secara khusus, laporan keuangan enggak bisa dijadikan bukti, andaikan dapat laporan keuangan saat proses pinjaman, ke depannya sangat tidak mungkin perusahaan menyediakan laporan keuangan sehingga tidak mungkin bisa mendapatkan laporan keuangan. Kalau enggak masuk ke laporan keuangan, mana mungkin bisa membuktikan insolvent,” kata Ricardo dalam seminar yang diselenggarakan AKPI di Jakarta, Rabu (17/11).

Keempat, anda kreditor dapat membuktikan berdasarkan laporan keuangan neraca debitor (misalnya debitor yang merupakan perusahaan terbuka) bahwa aset debitor yang dimohonkan pailit telah berjumlah lebih kecil dari seluruh kewajibannya, lanjut Ricardo, secara akuntansi, bukti tersebut tidak secara otomatis dapat menyimpulkan bahwa debitor telah insolvent, misalnya; ketika pada saat yang sama juga ditemukan bukti  adanya piutang-piutang dagang debitor yang belum tertagih dan dikategorikan sebagai piutang lancar (current trade receivables).

Kelima, jikapun dapat dibuktikan melalui laporan keuangan bahwa debitor secara akuntansi masih solvent karena jumlah hartanya masih lebih besar dari utang-utangnya (debtor’s assets exceed its liabilities). Akan tetapi bila ternyata harta tersebut tidak dalam bentuk cash, atau seluruhnya dalam bentuk aset tanah dan bangunan atau aset bergerak lainnya yang dikategorikan sebagai aset tidak lancar (non-current assets) dan tidak mudah diubah menjadi cash, yang mengakibatkan debitor tetap saja tidak mampu  (tidak memiliki cash) untuk melunasi utangnya walau terbukti telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Keenam, debitor pribadi tidak memiliki laporan keuangan, sehingga dasar untuk melakukan pengukuran secara akuntansi terhadap status keuangan debitor pribadi tidak mungkin dapat dilakukan.

Ketujuh, dasar dari valuasi nilai aset debitor secara akuntansi sering rentan perdebatan, apakah atas dasar nilai buku atau atas dasar nilai aktual berbasis nilai pasar (market price), nilai wajar (fair price) atau harga likuidasi (liquidated price), atau apakah akan didasarkan pada perhitungan nilai harta dalam keadaan debitor masih beraktivitas bisnis (going concern value) atau berdasarkan nilai aset satuan atau penjualan secara retail. (break up sale value).

Kedelapan, pengertian phrase “berhenti membayar” dalam faillisement verordenings cukup rentan perdebatan, karena ketika debitor tidak mampu membayar utangnya sesuai dengan jumlah dan waktu yang disepakati, akan tetapi tetap melakukan pembayaran terhadap kreditornya, walaupun bukan pada jumlah yang disepakati akan cenderung menimbulkan perdebatan yang melumpuhkan kekuatan pembuktian sederhana terhadap fakta “tidak membayar utang yang terbukti telah jatuh tempo dan dapat ditagih” yang dimaksudkan oleh Pasal 8 Ayat (4) UU. Kepailitan & PKPU No. 37/2004.

“Dan terakhir, poin-poin pada huruf (a) sampai dengan (f) tersebut di atas akan sangat membuka potensi terjebaknya majelis hakim niaga dalam perdebatan teori akuntansi sebagai dasar penentuan “insolvent” yang akan mengakibatkan penerapan penerapan pembuktian secara sederhana sesuai dengan Pasal 8 ayat (4) UU. Kepailitan & PKPU No.37/2004 akan sangat sulit atau tidak lagi memungkinkan untuk diterapkan,” tegasnya.

Ketua Umum AKPI Jimmy Simanjuntak menambahkan bahwa penghapusan hak kreditur untuk mengajukan PKPU terhadap debitor merupakan jalan keluar paling masuk akal ketimbang insolvency test. Karena pada dasarnya PKPU merupakan hak murni dari debitur untuk merestrukturisasi utang sebagai langkah penyehatan keuangan perusahaan,

“Salah satunya butir PKPU yang bisa diajukan kreditur, jika pasal tersebut di take out atau dihilangkan di UU baru artinya kreditur tidak bisa ajukan PKPU, karena murni hak PKPU itu sebenarnya adalah iktikad baik debitur untuk melakukan restrukturisasi utang atau penyehatan keuangan terhadap usahanya,” kata Jimmy.

Selain itu, Jimmy mengatakan bahwa penerapan insolvency test menghadapi banyak kendala salah satunya terkait pembuktian debitur insolven. Dia menilai agak mustahil debitur mau mengakui situasi insolven, dan hal ini dapat merugikan pelaku usaha dengan skala kecil dan berdampak pada kepastian hukum berusaha serta pertumbuhan ekonomi. 

“Insolvency test perlu dikaji, untuk sehat perusahaan perlu uang cash. Artinya tidak bisa kita negasikan insolvency test sebagai salah satu alat mencapai kesempurnaan, poin-poin yang perlu diperbaiki debitur tidak bisa mengajukan PKPU. Kalau kreditur hanya bisa mengajukan pailit, maka PKPU jadi senjata untuk debitor. Harusnya Pasal 291 UU Kepailitan jadi satu kekuatan dimana memang debitor serius mengajukan perdamaian, dan debitur akan mampu membuat gambaran yang positif lewat rencana perdamaian,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait