SEMA Belum Cukup untuk Mengakhiri Praktik Kawin Beda Agama
Terbaru

SEMA Belum Cukup untuk Mengakhiri Praktik Kawin Beda Agama

Pertentangan antar norma dalam UU Perkawinan dan UU Adminduk ini harus diselesaikan dengan melakukan harmonisasi antar UU untuk mengakhiri sengkarut praktik pernikahan beda agama di Indonesia.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Guru Besar Ilmu Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie. Foto: Istimewa
Guru Besar Ilmu Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie. Foto: Istimewa

Ketua Mahkamah Agung (MA) M. Syarifuddin telah menerbitkan Surat Edaran No. 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-umat Berbeda Agama dan Kepercayaan tertanggal 17 Juli 2023. Sejumlah kalangan menyambut positif terbitnya SEMA itu guna mengakhiri polemik pengesahan pencatatan perkawinan berbeda agama dan kepercayaan melalui pengadilan.     

Guru Besar Ilmu Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie menyambut positif terbitnya SEMA No.2 Tahun 2023 yang menegaskan spirit Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya serta adanya larangan hubungan perkawinan bila agamanya melarang untuk itu.   

“SEMA No 2 Tahun 2023 ini cukup positif dalam rangka (menegakkan, red) supremasi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya di lingkungan lembaga peradilan,” ujar Tholabi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (19/7/2023). 

Baca Juga:

Hanya saja, Wakil Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyebutkan terbitnya SEMA No.2 Tahun 2023 itu bukan berarti mengakhiri praktik pernikahan beda agama. “Langkah ini dinilai belum cukup untuk mengakhiri sengkarut perkawinan lintas agama di Indonesia,” kata Tholabi.

Menurutnya, ruang perkawinan beda agama masih tetap terbuka dengan keberadaan Pasal 35 huruf (a) UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) yang dilandasi spirit pemenuhan hak administrasi warga tanpa praktik diskriminatif. “Realitas ini harus diselesaikan melalui harmonisasi antar norma di sejumlah peraturan perundang-undangan. Jadi, (terbitnya, red) SEMA saja tidak cukup,” ujarnya.

Pasal 35 huruf a UU Adminduk menyebutkan “Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan.”

Lebih lanjut, Tholabi menyebutkan pertentangan antar norma dalam UU Perkawinan dan UU Adminduk ini harus diselesaikan dengan melakukan harmonisasi antar UU (melalui legislative review, red). Langkah ini diyakini akan mengakhiri sengkarut praktik pernikahan beda agama di Indonesia.

Dia menyebutkan dalam kenyataannya terdapat ambiguitas norma antara hukum perkawinan dan hukum administrasi, termasuk putusan hakim terdahulu yang pernah mengesahkan pencatatan perkawinan berbeda agama atau kepercayaan. “Ambiguitas ini harus dituntaskan dengan tetap berpegang pada konstitusi yang mengatur soal agama dan HAM yang khas Indonesia,” sarannya.

Juru Bicara MA Suharto mengatakan SEMA itu ditujukan ke ketua Pengadilan Banding dan Ketua Pengadilan tingkat pertama. Isinya memberikan petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan,” ujar Suharto saat dihubungi, Selasa (18/7/2023.

Hakim Agung Kamar Pidana ini mengakui ada pertentangan antara norma Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 huruf f UU Perkawinan dan Pasal 35 huruf a UU Adminduk. Namun, dia mengingatkan harus dibedakan antara hukum perkawinan dan pencatatan (hukum administrasi).     

“Mencermati dua atau lebih UU yang terkesan berseberangan atau bertentangan, maka yang paling bijak kita gunakan asas-asas peraturan perundang-undangan. SEMA ini memberi petunjuk ke pengadilan di bawah MA sesuai fungsi (pengawasan, red) MA sandarannya atau rujukannya (utama, red) juga Pasal 2 UU Perkawinan. Kita harus bedakan dengan jernih antara perkawinan dengan pencatatan,” katanya.  

Seperti diketahui, SEMA No.2 Tahun 2023 memuat, kesatu, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Kedua, pengadilan tidak (boleh, red) mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan.

SEMA itu untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan, sehingga para hakim harus berpedoman pada SEMA ini merujuk pada ketentuan UU. 

Selama ini dalam beberapa kasus, perkawinan beda agama mendapat legitimasi dari pengadilan. Kasus teranyar, pada 26 April 2022 lalu, Hakim Tunggal PN Surabaya Imam Supriyadi mengabulkan permohonan dengan penetapan mengizinkan pasangan berinisial RA dan EDS melangsungkan perkawinan beda agama di hadapan Pejabat Kantor Dinas Dukcapil Kota Surabaya. Hakim merujuk Pasal 21 ayat (3) UU Perkawinan jo Pasal 35 Adminduk terkait kewenangan pengadilan untuk mengadili bila ada pasangan yang perkawinannya ditolak (seperti kawin beda agama).

Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No.24/PUU-XX/2022 dan Putusan MK No. No.68/PUU-XII/2014 tentang pengujian Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan konsisten telah menolak untuk melegalkan perkawinan beda agama melalui pengujian kedua pasal tersebut.   

Tags:

Berita Terkait