SEMA Belum Cukup untuk Mengakhiri Praktik Kawin Beda Agama
Terbaru

SEMA Belum Cukup untuk Mengakhiri Praktik Kawin Beda Agama

Pertentangan antar norma dalam UU Perkawinan dan UU Adminduk ini harus diselesaikan dengan melakukan harmonisasi antar UU untuk mengakhiri sengkarut praktik pernikahan beda agama di Indonesia.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Lebih lanjut, Tholabi menyebutkan pertentangan antar norma dalam UU Perkawinan dan UU Adminduk ini harus diselesaikan dengan melakukan harmonisasi antar UU (melalui legislative review, red). Langkah ini diyakini akan mengakhiri sengkarut praktik pernikahan beda agama di Indonesia.

Dia menyebutkan dalam kenyataannya terdapat ambiguitas norma antara hukum perkawinan dan hukum administrasi, termasuk putusan hakim terdahulu yang pernah mengesahkan pencatatan perkawinan berbeda agama atau kepercayaan. “Ambiguitas ini harus dituntaskan dengan tetap berpegang pada konstitusi yang mengatur soal agama dan HAM yang khas Indonesia,” sarannya.

Juru Bicara MA Suharto mengatakan SEMA itu ditujukan ke ketua Pengadilan Banding dan Ketua Pengadilan tingkat pertama. Isinya memberikan petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan,” ujar Suharto saat dihubungi, Selasa (18/7/2023.

Hakim Agung Kamar Pidana ini mengakui ada pertentangan antara norma Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 huruf f UU Perkawinan dan Pasal 35 huruf a UU Adminduk. Namun, dia mengingatkan harus dibedakan antara hukum perkawinan dan pencatatan (hukum administrasi).     

“Mencermati dua atau lebih UU yang terkesan berseberangan atau bertentangan, maka yang paling bijak kita gunakan asas-asas peraturan perundang-undangan. SEMA ini memberi petunjuk ke pengadilan di bawah MA sesuai fungsi (pengawasan, red) MA sandarannya atau rujukannya (utama, red) juga Pasal 2 UU Perkawinan. Kita harus bedakan dengan jernih antara perkawinan dengan pencatatan,” katanya.  

Seperti diketahui, SEMA No.2 Tahun 2023 memuat, kesatu, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Kedua, pengadilan tidak (boleh, red) mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan.

SEMA itu untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan, sehingga para hakim harus berpedoman pada SEMA ini merujuk pada ketentuan UU. 

Selama ini dalam beberapa kasus, perkawinan beda agama mendapat legitimasi dari pengadilan. Kasus teranyar, pada 26 April 2022 lalu, Hakim Tunggal PN Surabaya Imam Supriyadi mengabulkan permohonan dengan penetapan mengizinkan pasangan berinisial RA dan EDS melangsungkan perkawinan beda agama di hadapan Pejabat Kantor Dinas Dukcapil Kota Surabaya. Hakim merujuk Pasal 21 ayat (3) UU Perkawinan jo Pasal 35 Adminduk terkait kewenangan pengadilan untuk mengadili bila ada pasangan yang perkawinannya ditolak (seperti kawin beda agama).

Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No.24/PUU-XX/2022 dan Putusan MK No. No.68/PUU-XII/2014 tentang pengujian Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan konsisten telah menolak untuk melegalkan perkawinan beda agama melalui pengujian kedua pasal tersebut.   

Tags:

Berita Terkait