Seluk-beluk Refund dalam Aspek Hukum Jual-Beli
Berita

Seluk-beluk Refund dalam Aspek Hukum Jual-Beli

Penerapan refund dalam transaksi jual-beli masih belum berpihak pada konsumen. Bahkan ada refund yang dikompensasikan berbentuk kupon atau voucher.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Istilah refund atau pengembalian dana kian populer penggunaannya seiring meningkatnya kegiatan bisnis di masyarakat. Dalam berbagai transaksi seperti jual-beli tiket pesawat, kereta api dan belanja barang lainnya seperti tas, sepatu dan baju, istilah refund sering dijumpai. Refund merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dalam transaksi jual-beli barang dan jasa.

Namun perlu menjadi perhatian, penerapan refund ternyata sangat beragam umumnya bergantung pada klausul yang dibuat oleh penjual atau pemberi layanan. Misalnya, dalam pembelian tiket pesawat, terdapat kondisi-kondisi tertentu refund tersebut dapat terjadi dengan pengembalian dana 100 persen. Tapi, terdapat kondisi terntentu lainnya juga refund tersebut diberikan tidak penuh kepada konsumen.

Ada juga penjual yang secara terang-terangan tidak memberlakukan refund pada barang dan jasa yang dijualnya. Tidak hanya itu, dari sisi waktu pengembalian ke konsumen, penerapan refund juga sangat beragam mulai dari tiga hari, 60 hari hingga 90 hari. Lantas seperti apa aturan main refund tersebut karena beragamnya penerapan refund tentunya menjadi pertanyaan bagi publik sebagai konsumen. Publik juga sering tidak memahami hak-haknya dalam ketentuan refund tersebut sehingga cenderung diam.

Praktisi hukum pelindungan konsumen dan Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI), David Tobing menjelaskan dalamKitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), refund termasuk dalam kategori ganti rugi akibat tidak dijalankannya suatu prestasi atau wanprestasi. Setidaknya terdapat tiga persyaratan terjadinya wanprestasi yaitu tidak melakukan sesuatu yang disanggupi untuk dilakukan, melakukan perjanjian tidak sesuai yang diperjanjikan dan melakukan perjanjian tapi terlambat.

Dia menjelaskan ketentuan wanprestasi sehingga menimbulkan konsekuensi refund ini dapat mengacu pada Pasal 1236 dan 1239 KUH Perdata. Pada pasal 1236 menerangkan wanprestasi bisa terjadi dalam jual beli barang dan jasa apabila salah satu pihak tidak mampu menyerahkan barangnya seperti yang dijanjikan.

Kemudian, Pasal 1239 menyatakan wanprestasi terjadi apabilah salah satu pihak tidak mampu melakukan perbuatan tertentu. Sehingga, sebagai konsekuensinya KUHPerdata mengatur bahwa pihak yang telah wanprestasi harus melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga.  Refund atau pengembalian biaya termasuk dalam salah satu jenis ganti kerugian.

UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada pasal 4 huruf H menyatakan refund merupakan hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, kewajiban pelaku usaha memberi refund saat barang dan jasa yang diberikan tidak sesuai perjanjian juga tercantum dalam pasal 7 huruf g.

Di bagian lain yaitu pasal 19 ayat 2 sangat jelas diatur tentang tanggung jawab pelaku usaha apabila akibat mengkonsumsi barang dan jasa menimbulkan kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari sisi mekanismenya, terdapat dalam peraturan perundangan tentang penerbangan yaitu pengembalian dana (refund) akibat pembatalan penerbangan. Dalam pasal 146 UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.

Kategori keterlambatan sendiri selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No.89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal Di Indonesia. Dalam Pasal 2 disebutkan keterlambatan penerbangan pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal terdiri dari keterlambatan penerbangan (flight delayed), tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding passenger) dan pembatalan penerbangan (cancelation off light).

Ganti rugi akibat pembatalan penerbangan itu selanjutnya diatur dalam pasal 9 ayat (1) butir f yang menyebutkan keterlambatan kategori pembatalan penerbangan) badan usaha angkutan udara wajib mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket).

Legalitas Refund Voucher Dipertanyakan

Semakin beragamnya kegiatan jual-beli barang dan jasa semakin beragam pula prosedur refund yang ditetapkan penjual. Praktinya, penerapan refund tidak hanya berbentuk uang. Bahkan, ada pengembalian biaya yang berubah bentuk menjadi kupon atau voucher seperti yang terjadi dalam tiket pesawat.

Dalam Permenhub No.185 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri menjelaskan standar pelayanan pemesanan tiket (reservation) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, antara lain media reservasi, contact person calon penumpang, prosedur perubahan tiket, pembatalan tiket dan jangka waktu pengembalian uang tiket (refund ticket).

“Dari sini sangat jelas pembatalan penerbangan dikompensasikan dengan pengembalian uang,” jelas David.

Tidak hanya pada tiket pesawat, ketentuan refund akibat pembatalan transaksi dalam transaksi elektronik atau e-commerce. Dalam Pasal 71 PP No.80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik menyatakan setiap Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) lokal dan luar negeri yang menerima pembayaran wajib memiliki atau menyediakan mekanisme yang dapat memastikan pengembalian dana konsumen apabila terjadi pembatalan pembelian oleh konsumen.

“Dari beberapa ketentuan di atas dapat ditarik kesimpulan apabila terjadi pembatalan transaksi atau pembatalan pemakaian jasa maka pihak yang dirugikan akibat pembatalan tersebut harus diberikan ganti rugi berupa pengembalian uang atau pengembalian dana atau refund,” jelas David.

Dengan demikian, David menjelaskan refund harus berwujud pengembalian uang karena pihak yang telah memesan suatu barang atau jasa  membayar dengan uang, namun saat ini baik pedagang offline maupun online atau perusahaan pengangkutan mengambil inisiatif untuk memberikan refund dalam wujud lain seperti voucher.

“Pada dasarnya hal ini tidak bisa dibenarkan karena melabrak konsep dasar refund dan peraturan perundangan yang ada namun pada praktiknya karena dalam posisi terpaksa salah satu pihak menerimanya,” jelasnya.

Salah satu kasus refund yang melanggar perundang-undangan yaitu Permenhub No.25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Aturan tersebut menyatakan ganti rugi akibat pembatalan penerbangan pada tanggal 24 April-31 Mei 2020 berupa pengembalian biaya tiket secara penuh atau 100 persen.

Pasal 23 Permenhub 25/2020 menyatakan badan usaha  angkutan  udara  wajib  mengembalikan  biaya tiket  secara  penuh  atau  100 persen  kepada  calon penumpang  yang  telah  membeli  tiket  yang  untuk  perjalanan pada  tanggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1. Namun dalam pasal 24 aturan tersebut, ternyata menyatakan pengembalian biaya tiket secara penuh atau 100 persen tersebut tidak berbentuk uang.

Ada empat bentuk pengembalian yang ditawarkan Permenhub 25/2020 tersebut yaitu penjadwalan  ulang  (re-schedule), perubahan  rute  penerbangan  (re-route), mengkompensasikan  besaran  nilai  biaya  jasa angkutan  udara  menjadi  perolehan  poin  dalam keanggotaan  badan  usaha  angkutan  udara  yang dapat  digunakan  untuk  membeli  produk  yang ditawarkan oleh  badan usaha angkutan udara atau memberikan  kupon  tiket  (voucher  ticket)  sebesar nilai  biaya  jasa  angkutan  udara  atau tiket  yang  dibeli oleh  penumpang  dapat  digunakan  untuk  membeli kembali  tiket  untuk  penerbangan  lainnya  dan berlaku  paling  singkat  1  (satu)  tahun  serta  dapat diperpanjang paling banyak 1 kali  kali.

“Ketentuan itu (Permenhub 25/2020) jelas-jelas bertentangan dengan Undang Undang Penerbangan dan beberapa Peraturan Menteri Perhubungan sebelumnya,” jelas David.

Mengenai besarnya nilai refund, David merangkan tergantung dari pihak yang membatalkan. Biasanya penjual yang membatalkan transaksi karena berbagai alasan misalnya dalam transaksi online barang yang dipesan atau dibeli sudah habis atau ternyata barang palsu atau bekas sehingga dibatalkan oleh pemilik platform maka penjual atau pemilik platform harus mengembalikan uang 100 persen.

Dalam dunia penerbangan pengaturan tentang jumlah refund sudah sangat jelas diatur baik karena pembatalan oleh maskapai maupun pembatalan oleh penumpang. Jadi misalnya ada penumpang membatalkan penerbangan 72 jam sebelum penerbangan maka akan memperoleh paling sedikit 75 persen pengembalian uang sebaliknya apabila maskapai yang membatalkan penerbangan maka maskapai harus mengembalikan uang 100 persen kepada penumpang.

Jangka waktu pengembalian refund sangat beragam. Seharusnya yang bisa menjadi acuan adalah pasal 19 UU Perlindungan Konsumen dimana pengembalian uang dilakukan 7 hari setelah transaksi. Dalam aturan penerbangan ada ketentuan dimana apabila pembayaran dilakukan oleh penumpang dengan uang tunai maka maskapai harus mengembalikannya selambat lambatnya 15 hari kerja setelah pengaduan dan apabila pembayaran dilakukan dengan kartu kredit atau debet selambat lambatnya 30 hari setelah pengajuan.

Pada praktiknya pengembalian dana bisa dilakukan lebih cepat misalnya PT Kereta Api Indonesia yang telah melakukan pengembalian dana dalam 3 hari dari semula 45 hari.  Menurutnya, kecepatan pengembalian dana sangat berpengaruh terhadap pemulihan kerugian yang diderita konsumen khususnya bagi yang mempunyai uang terbatas, pengembalian uang sangat berguna bagi dirinya maupun keluarganya. Sehingga, pengembalian refund tersebut sudah harus lebih cepat karena teknologi perbankan sudah sangat berkembang.

Pada transaksi online pengembalian dana sering dilakukan bukan ke rekening bank atau kartu kredit pembeli tetapi pembeli dipaksa untuk membuka sistem pembayaran elektronik atau uang elektronik yang diwajibkan pengelola platform karena pengembalian dana akan dilakukan ke sistem pembayaran elektronik tersebut. Hal ini dinilai sangat merugikan konsumen karena konsumen tidak dapat menggunakan uangnya untuk membeli barang yang dibutuhkan di tempat lain.

Pada dasarnya hanya transaksi jual beli yang tidak sempurna pelaksanaannya yang bisa dilakukan refund namun sudah menjadi kebiasaan pelaku usaha memuat klausula baku dengan mencatumkan pernyataan "barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau ditukar" padahal ada kemungkinan barang tersebut ada cacat produksi, tidak berfungsi atau pemanfaatannya tidak sesuai dengan yang dipromosikan.

Klausula baku seperti itu bertentangan dengan pasal 18 UU Perlindungan Konsumen khusunya pasal 1 huruf c yang menyatakan pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian apabila menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen.

Memberatkan Konsumen

David menerangkanmaraknya transaksi online maka besar kemungkinan terjadi pembatalan transaksi dan mengingat kebutuhan konsumen atas barang yang dibutuhkan maka pengembalian uang harus cepat dan dikembalikan kepada rekening asal konsumen membayar bukan dikembalikan ke uang elektronik pengelola platform atau dalam bentuk lain seperti voucher yang hanya bisa digunakan di platform tersebut.

Regulasi-regulasi yang sudah ada sebelumnya yang mengatur tentang refund berupa pengembalian uang tidak bisa dikesampingkan dan regulasi baru tidak boleh meniadakan penggantian pengembalian uang. Kalaupun karena situasi tertentu seperti Covid 19 dikeluarkan regulasi seperti Permenhub 25 tahun 2020 maka pengembalian uang sebagai kompensasi refund haruslah yang pertama dan terutama barulah jika ada pilihan lain bisa diatur selanjutnya.

Dia menjelaskan dalam Permenhub 25 tahun 2020 tersebut untuk pembatalan pengangkutan dengan kereta api dan kapal laut pilihan pertama kompensasi adalah pengembalian uang barulah kemudian penjadwalan ulang, perubahan rute dan penggantian dengan voucher sementara untuk kompensasi pembatalan penerbangan tidak ada pilihan pengantian dengan uang sehingga terlihat adanya diskriminasi bagi pemakai transportasi udara.

“Ketiadaan pilihan pengembalian berupa uang telah merugikan sebagian besar konsumen apalagi sebelum Permenhub No.25 Tahun 2020 dikeluarkan, hampir semua maskapai menerapkan refund dengan penjadwalan ulang, perubahan rute ataupun penggantian dengan voucher,” jelas David.

Dia mengingatkan penerapan Permenhub 25 tahun 2020 hanya berlaku untuk penerbangan pada 24 April hingga 31 Mei dan untuk penerbangan dalam rangka mudik sebagaimana maksud dan tujuan dibuatnya permenhub tersebut yaitu melarang masyarakat untuk mudik.

“Pertanyaannya bagaimana memilah tiket yang digunakan untuk mudik atau liburan atau keperluan lain selain mudik?  Karena dalam periode 24 April sampai 31 Mei 2020 penumpang angkutan udara pastilah beragam keperluannya dan bukan hanya dalam rangka mudik,” kata David.

Sehingga, dia menilai mekanisme refund tersebut sangat memberatkan bagi konsumen dengan tingkat ekonominya rendah karena pengembalian dalam bentuk uang sangat diperlukan khususnya pada masa Covid-19. Selain itu, dia juga berharap diperlukan regulasi yang mengatur jangka waktu pemulihan kerugian konsumen akibat pembatalan transaksi sehingga dibuat aturan yang memudahkan dan mempercepat pengembalian dana.

Tags:

Berita Terkait