Sektor Migas Dinilai Darurat Konstitusi
Utama

Sektor Migas Dinilai Darurat Konstitusi

Revisi UU Migas harus dipercepat.

FNH
Bacaan 2 Menit
Puan Maharani (jas hitam). Foto: SGP
Puan Maharani (jas hitam). Foto: SGP

Indonesia tengah mengalami darurat konstitusi pada sektor migas pasca pembubaran BP Migas oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Penilaian tersebut diungkapkan oleh Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR, Puan Maharani,dalam sebuah seminar yang diadakan di Komplek Senayan Jakarta, Rabu (27/2).

"Setelah dibubarkannya BP Migas, semakin jelas terlihat saat ini kita sedang mengalami darurat konstitusi di bidang migas," kata Puan.

Melihat kondisi ini, Puan mengharapkan DPR khususnya Komisi VII segera mendorong dan memperbaiki revisi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, terutama tata kelola migas yang baik dan benar. Melalui perbaikan tata kelola ini, lanjutnya, diharapkan dan diyakini akan mampu menopang pembangunan ekonomi nasional jangka panjang.

"Sudah seharusnya kita membuat UU Migas "Merah Putih" yang lebih berpihak kepada kepentingan nasional. UU ini nantinya diharapkan bisa mengimplementasikan Pasal 33 UUD 1945," paparnya.

Puan menegaskan, keberadaan revisi UU Migas seharusnya disusun dengan semangat kesejahteraan rakyat, bukan sebagai barang komoditi. Bahkan, ia masih meyakini bahwa prinsip tiga kaki lebih efektif ketimbang bentuk tata kelola migas yang lain. Sayangnya, pasca pembubaran BP Migas oleh MK, pengelolaan tata kelola migas diatur melalui mekanisme dua kaki yang belum dilindungi oleh UU.

“Sekali lagi, UU Migas harus segera direvisi. Kami berharap revisi UU Migas itu kelak menjadi UU Merah Putih, yang benar-benar dapat mensejahterakan rakyat,” imbuhnya.

Menurut Puan, UU migas yang berlaku saat ini secara jelas membuka peluang bagi asing untuk menguasai lapangan minyak di Indonesia. Hal ini menjadi tugas anggota DPR untuk sesegera mungkin merevisi UU Migas dan menjadikan migas sebagai barang kesejahteraan.

Anggota Komisi VII DPR Daryatmo Mardiyanto mengatakan, pembahasan revisi UU Migas berangkat dari dua kali pengujian UU Migas ke MK. Dua kali pengujian ini, lanjutnya, membuktikanbahwa pembahasan UU Migas pada 2001 lalu kurang cermat. Untuk itu, pada pembahasan revisi UU Migas yang tengah dilakukan oleh Komisi VII saat ini, DPR akan meningkatkan kecermatan dalam pembahasan revisi UU Migas ini.

“Berharap gambaran ini menjadi pertimbangan dan masukan ke fraksi lain di Komisi VII agar tidak menjadi warisan yang tidak dapat diselesaikan pada periode ini yang tinggal satu setengah tahun,” katanya.

Sejauh ini, pembahasan RUU Migas sudah mengalami banyak kemajuan formulasi dan perumusan harus dilakukan secepatnya karena kondisi yang mendesak. Sementara itu menyoal tentang tata kelola migas dengan menggunakan mekanisme tiga kaki, saat ini Komisi VII masih mempertimbangkan hal tersebut. Dalam pembahasan RUU Migas, masukan mengenai tata kelola tiga kaki masih menjadi pembahasan.

Tetapi, lanjut Daryatmo, masih terbuka kemungkinan akan menggunakan mekanisme empat kaki. Pasalnya, Komisi VII juga tengah merumuskan exploration fund untuk pembiayaan eksplorasi migas dengan  menggunakan dana dari APBN. Exploration fund ini dapat berbentuk sebuah lembaga dan diharapkan dapat menjadi dana abadi sektor migas sehingga pemerintah tidak perlu kerepotan untuk melakukan eksplorasi migas dengan menggunakan jasa asing.

Hal tersebut dibenarkan oleh Anggota Komisi XI Arif Budimanta. Arif berpendapat, dana APBN masih dimungkinkan untuk dialokasikan ke eksplorasi migas. Upaya ini, katanya, secara tidak langsung akan memperbaiki sektor migas saat ini yang bermasalah pada pendanaan eksplorasi.

“Kita punya SDM, sekarang APBN dialokasikan untuk sektor migas sehingga tidak menggunakan jasa orang lain lagi,” katanya.

Mekanisme penggunaan APBN, lanjutnya, dapat dialokasikan ke Kementerian Riset dan Teknologi untuk meningkatkan SDM dan melakukan eksplorasi migas secara mandiri.

Tags: