Sektor Jasa Keuangan Berisiko Jadi Media Pendanaan Terorisme dan TPPU
Berita

Sektor Jasa Keuangan Berisiko Jadi Media Pendanaan Terorisme dan TPPU

Penting untuk menerapkan penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) untuk menghindari digunakannya sektor jasa keuangan sebagai sarana untuk pencucian uang dan pendanaan terorisme.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Deputi Direktur Grup Penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme OJK, Rinto Teguh Santoso. Foto: DAN
Deputi Direktur Grup Penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme OJK, Rinto Teguh Santoso. Foto: DAN

Praktik kejahatan terus bertransformasi seiring perkembangan situasi di masyarakat. Kali ini, sektor jasa keuangan menjadi media yang tidak luput digunakan oleh para pelaku tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Instrumen Penilaian Risiko Nasional (National Risk Assessment) Indonesia di tahun 2015, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menempatkan sektor perbankan dan pasar modal dalam kategori risiko tinggi.

 

“Pencucian uang dan pendanaan terorisme menggunakan jasa keuangan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana,” ujar Deputi Direktur Grup Penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Rinto Teguh Santoso, dalam pelatihan “Aspek Hukum Penerapan Prinsip Customer Due Diligence dan Anti Money Laundering Dalam Sektor Penyedia Jasa Keuangan di Indonesia”, Selasa (31/10), di Jakarta.

 

Menurut Rinto, dampak serius dari digunakannya sektor jasa keuangan sebagai media pendanaan terorisme dan tindak pidana pencucian uang, antara lain dapat mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan. Dampak ini akan dirasakan secara langsung oleh pelaku Penyedia Jasa Keuangan (PJK) karena berkaitan dengan risiko reputasi.

 

Risiko reputasi biasanya disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha PJK atau persepsi negatif terhadap PJK. “Untuk sektor jasa keuangan, masalah kepercayaan sangat sensitif,” ujarnya.

 

Selain itu, ada risiko hukum akibat timbulnya tuntutan hukum atas kelemahan aspek yuridis dan ada juga risiko operasional yang dialami oleh PJK. Menurut Rinto, risiko ini timbul akibat ketidakcakapan atau tidak berfungsinya proses internal dari PJK. Hal itu bisa dilihat dalam bentuk kesalahan SDM, kegagalan sistem atau adanya kejadian-kejadian eskternal yang mempengaruhi operasional PJK.

 

(Baca Juga: Fintech Saling Berkolaborasi, OJK Mulai Antisipasi Risiko)

 

Dampak lain dari digunakannya PJK sebagai media pendanaan terorisme dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), yakni dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu, menimbulkan gangguan rasa aman terhadap kedaulatan negara mengingat tindak pidana terorisme dan aktivitas yang mendukung terjadinya aksi terorisme merupakan salah satu bentuk ancaman kedaulatan negara.

 

Oleh karena itu, menjadi penting untuk menerapkan penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) untuk menghindari digunakannya sektor jasa keuangan sebagai sarana untuk pencucian uang dan pendanaan terorisme. Rinto menilai dengan diterapkannya APU PPT dapat mendukung upaya pemerintah untuk memberantas korupsi dan kejahatan keuangan lainnya.

 

Saat ini, OJK telah memiliki Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program APU dan PPT di Sektor Jasa Keuangan. Ia menjelaskan latar belakang dari dikeluarkannya POJK APU PPT tersebut karena belum adanya keseragaman dan harmonisasi ketentuan yang mengatur penerapan program APU PPT oleh PJK di sektor jasa keuangan, yang berpotensi menimbulkan gap pengaturan antar sektor jasa keuangan.

 

Latar belakang lainnya adalah untuk memenuhi standar internasional sebagaimana direkomendasikan oleh The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang didasarkan pada pendekatan berbasis risiko (risk based approach), serta perkembangan kompleksitas produk dan layanan jasa keuangan, termasuk pemasarannya (multi channel marketing) serta peningkatan penggunaan terknologi informasi pada industri jasa keuangan.

 

(Baca Juga: Fintech Rawan Dipakai untuk Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme)

 

Ketua Kelompok Pengawasan Kepatuhan Penyedia dan Jasa Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Shalehuddin Akbar, memaparkan terkait apa yang dimaksud dengan Transaksi Keuangan Mencurigakan dalam Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT). “Definisi transaksi keuangan mencurigakan berada di dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang berbeda-beda,” kata Shalehuddin di acara yang sama.

 

Menurut Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, transaksi keuangan yang mencurigakan adalah:

Pasal 1 angka 5 UU PP TPPU:

1. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi;

2. Transaksi keuangan yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan;

3. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana;

4. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

 

Sementara, transaksi keuangan mencurigakan dalam TPPT adalah:

Pasal 1 angka 6 UU PP TPPT:

1. Transaksi keuangan dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme;

2. Transaksi yang melibatkan setiap orang yang berdasarkan daftar terduga teroris dan organisasi teroris.

 

Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Shalehuddin juga mengklasifikasikan transaksi keuangan yang mencurigakan yang berhubungan dengan profesi. Ia merujuk kepada pasal 8 PP 43/2015 yang mengatur ketentuan sebagai berikut;

 

Transaksi untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna Jasa dalam hal: 1) pembelian dan penjualan property; 2) pengelolaan terhadap uang, efek, dan/atau produk jasa keuangan lainnya; 3) pengelolaan rekening giro, rekening tabungan, rekening deposito, dan/atau rekening efek; 4) pengoperasian dan pengelolaan perusahaan; dan/atau pendirian, pembelian, dan penjualan badan hukum. 

 

Tags:

Berita Terkait