Sekilas Sejarah dan Problematika Pembahasan RKUHP
Problematika RKUHP:

Sekilas Sejarah dan Problematika Pembahasan RKUHP

Dengan beragam persoalan itu, apakah Panja DPR dan tim pemerintah mampu merampungkan pembahasan dan mengesahkan RKUHP pada tahun 2018 sesuai harapan semua elemen masyarakat.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Sejak puluhan tahun silam, upaya rekodefikasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional sebenarnya sudah digagas. Tepatnya, saat digelarnya Seminar Hukum Nasional I di Semarang pada 1963, salah satunya membahas Rancangan KUHP (RKUHP) selain Rancangan KUHAP KUHPerdata, KUHDagang. Seminar ini disebut-sebut menjadi titik awal sejarah pembaruan KUHP di Indonesia yang setahun kemudian mulai dirumuskan oleh tim pemerintah.       

 

Sebab, substansi RKUHP yang ada saat ini sebagian masih mengacu hasil seminar tersebut diantaranya menambahkan ataupun perluasan delik-delik (tindak pidana) kejahatan keamanan negara (kejahatan ideologi); delik ekonomi; hukum adat (living law); delik kesusilaan. Beberapa tahun terakhir, diadopsinya delik korupsi; delik penyebaran kebencian terhadap pemerintah; penghinaan kepala negara (presiden); contempt of court; kualifikasi delik penghinaan; dan beberapa delik yang selama ini tersebar di luar KUHP.            

 

Namun, lebih dari setengah abad lamanya, RKUHP ini tak kunjung rampung dibahas dan disahkan menjadi KUHP nasional. Bila dihitung periode kepemimpinan presiden, berarti sudah tujuh presiden berganti. Kalau dilihat berapa banyak menteri hukum dan HAM (dulu menteri kehakiman), kira-kira sudah ada 13 kali pergantian menteri. Bahkan, tim penyusun yang pernah terlibat menyusun RKUHP, sekitar 17 orang telah wafat. Hal ini pernah diungkap Guru Besar Universitas Diponegoro Prof Barda Nawawi Arief pada Maret 2016 lalu.

 

Dari 17 anggota tim penyusun yang telah wafat, ada 7 diantaranya guru besar senior bidang hukum, dosen, atau pejabat negara. Seperti, Guru Besar Universitas Diponegoro (alm) Prof Soedarto. Pengganti (alm) Prof Soedarto yang wafat tahun 1986 yakni Guru Besar Universitas Gadjah Mada (alm) Prof Roeslan Saleh yang juga wafat sekira tahun 1998. Selain itu, mantan Menteri Kehakiman ke-9 Prof Moeljanto dan (alm) Prof Satochid Kartanegara wafat sekira tahun 1971.

 

Disusul mantan Ketua Mahkamah Agung (alm) Prof Oemar Seno Adji yang wafat sekira tahun 1991. Selanjutnya, sekira tahun 2007, (alm) Prof Andi Zainal Abidin Farid juga wafat. Kini, nama tim perumus yang masih tersisa, selain Barda sendiri, ada Prof Muladi. Selebihnya, anggota tim penyusun RKHUP yang bergabung belakangan, seperti Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII Yogyakarta) Prof Mudzakir dan Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda.  

 

Baca Juga: Morat-Marit Nasib RKUHP Hingga Ditinggal 7 Guru Besar Hukum

 

Dalam sebuah kesempatan Simposium Nasional dan Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi di Banjarmasin, Mei 2016 lalu, Barda sempat bergurau menyebut RKUHP layaknya bayi dalam kandungan seorang perempuan yang tidak lahir-lahir dan tidak mati-mati. “Janinnya ini sudah terlalu tua,” ujarnya. Catatan Barda, draft RKUHP, sebagai ide dasar/pokok pemikiran para tim penyusun itu, sudah pernah diserahkan ke DPR pada tahun 2013 dan 2015.

 

Sejak saat itu, pembahasan draft RKUHP mulai intensif dibahas antara Panitia Kerja (Panja) DPR dan tim pemerintah. Berbagai masukan sejumlah elemen masyarakat sudah ditempuh baik melalui media maupun rapat dengar pendapat umum (RDPU). Janji wakil rakyat pernah terlontar untuk segera merampungkan pembahasan RKUHP. Panja DPR yang diketuai Benny K Harman ini pernah mentargetkan pembahasan RKUHP bakal rampung akhir 2013. Tapi hingga berakhirnya DPR periode 2009-2014, pembahasan RKUHP tak selesai.

 

Berlanjut DPR periode 2014-2019, Presiden Jokowi mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) pada 5 Juni 2015 mengenai kesiapan pemerintah dalam pembahasan RKUHP, yang terdiri dari Buku I dan Buku II dengan jumlah 786 pasal. Saat penyerahan draft RKUHP untuk kedua kali, pemerintah dan DPR sepakat merampungkan pembahasan dalam waktu 2 tahun hingga akhir 2017. Hingga pertengahan 2016, Panja DPR dan pemerintah baru merampungkan Buku I RKUHP meski ada beberapa pasal pending pembahasannya.  

 

Target mundur

Target pembentuk undang-undang (UU) menyelesaikan pembahasan RKUHP akhir Desember 2017 kembali mundur. Sedianya, Panja RKUHP dijadwalkan menggelar Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Hukum dan HAM pada 5 Desember 2017, tetapi tidak terlaksana. Padahal, Panja RKUHP dan pemerintah telah mentargetkan penyelesaian pembahasan RKUHP ini. Agenda Raker rencananya menyampaikan laporan ketua Panja RKUHP, pendapat mini fraksi, sambutan dari pemerintah terkait pembahasan RKUHP, dan pengambilan keputusan dilanjutkan penandatanganan naskah RKUHP. Namun, Panja RKUHP yakin dapat merampungkan dan mengesahkan RKUHP pada periode DPR 2014-2019 ini.   

 

Sebab, sebagian besar pasal dalam Buku I dan Buku II sudah rampung dibahas dan disepakati. Misalnya dalam Buku II telah disepakati masuknya delik tindak pidana khusus yakni korupsi dan narkotika dalam RKUHP; contempt of court; kualifikasi delik penghinaan; delik penyebaran kebencian terhadap pemerintah; penghinaan kepala negara (presiden) yang sebelumnya menimbulkan kritikan/protes beberapa elemen masyarakat dan pemangku kepentingan.   

 

Baca Juga: Empat Aturan dalam RKUHP Ini Ancam Kebebasan Berekspresi

 

Belakangan diketahui hasil pembahasan RKUHP itu masih menyisakan sejumlah persoalan karena masih ada beberapa pasal yang belum disepakati dan pending pembahasannya. Berdasarkan pemantauan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, masih ada pasal-pasal Buku I masih pending disepakati; beberapa pasal Buku II masih pending untuk disepakati; dan ada beberapa pasal Buku II belum dibahas sama sekali. Pasal-pasal Buku I yang telah disepakati Panja DPR ini sudah masuk ke tim perumus dan tim sinkronisasi Panja RKUHP setelah dibaca ulang tim proofreader (tim pemerintah).    

 

Pasal-pasal Buku I yang pending disepakati mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat/hukum adat dan hukuman mati. Diantaranya, Pasal 2 RKUHP yang mengatur hukum yang hidup di masyarakat, Pasal 8 ayat (4) RKUHP tentang pengecualian pemberlakukan pidana mati bagi warga negara Indonesia di negara Abolisionis. Kemudian Pasal 14 ayat (3) tentang permufakatan jahat yang diancam pidana mati; Pasal 20 tentang pidana denda kategori I bagi pelaku percobaan tindak pidana.

 

Lalu, Pasal 21 ayat (2) tentang pidana maksimum 10 tahun bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup; Pasal 23 ayat (1) huruf a tentang pembantuan; Pasal 62 tentang pidana tutupan; Pasal 136 tentang diversi, tindakan dan pidana bagi anak mengenai kewajiban adat; serta sinkronisasi sejumlah pasal yang mengatur ketentuan pidana mati.

 

Sementara pembahasan Buku II RKUHP belum selesai seluruhnya oleh tim proofreader pemerintah. Ada sebanyak 603 pasal telah ditelaah tim pemerintah, khususnya Bab XXV tentang tindak pidana yang mengakibatkan mati atau luka karena kealpaan dari total 567 pasal Buku II (Pasal 219 s.d. Pasal 786 RKUHP). Dengan demikian, Tim Proofreader telah menyelesaikan penelaahan 14 Bab di Buku II dari total bab di Buku II berjumlah 39 bab.   Tim proofreader saat ini masih menyelesaikan penelaahan Buku II untuk kepentingan Tim Perumus Panja RKUHP sebelum masa reses DPR pada 14 Desember 2017.

 

Baca Juga: Pembahasan RKUHP Masih Menyisakan Banyak Persoalan

 

Misalnya, Buku II, Bab XVI tentang tindak pidana kesusilaan, bagian keempat terkait zina (Pasal 484), pembahasan cukup alot dan mengundang perdebatan. Sebab, ada 3 fraksi meminta aturan ini dihapus, sehingga di-pending pembahasannya. Pemerintah bersikeras mempertahankan perluasan tindak pidana zina dalam KUHP saat ini. Artinya, zina dalam RKUHP diperluas, tidak hanya menyasar salah satu pihak terikat hubungan perkawinan, tetapi juga menyasar seluruh pasangan yang tidak terikat perkawinan (seks bebas/kumpul kebo). Sama halnya, dengan delik pencabulan sesama jenis/homo seksual (Pasal 495).   

 

Hal ini sejalan dengan putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 pada 14 Desember 2017 yang menolak permintaan perluasan pasal perzinaan (Pasal 284), pemerkosaan (Pasal 285), pencabulan sesama jenis (Pasal 292) dalam KUHP yang dimohonkan Guru Besar IPB Prof Euis Sunarti Dkk. Nampaknya, polemik perluasan pasal-pasal kesusilaan terkait kriminalisasi perilaku seks bebas dan lesbian, gay, biseksual, transgender atau LGBT ini bakal terus berlanjut di parlemen seperti halnya di sidang-sidang MK sebelumnya.

 

Baca Juga: MK Tegaskan Tak Bisa Kriminalisasi Delik Kesusilaan

 

Kini, pembahasan RKUHP berlanjut di tahun 2018. Tentu, sejumlah permasalahan rumusan pasal tersebut seyogyanya segera diatasi. Terlebih, RKUHP ini masuk sebagai salah satu RUU Prolegnas Prioritas 2018. Hal ini agar tidak menimbulkan polemik dan menuai “gugatan” setelah nantinya disahkan dalam rapat paripurna DPR. Karena itu, pembentuk UU perlu lebih terbuka untuk mensosialisasikan hasil pembahasan terutama pasal-pasal yang masih menjadi polemik di masyarakat. Dengan beragam persoalan itu, apakah Panja DPR dan tim pemerintah mampu merampungkan pembahasan dan mengesahkan RKUHP pada tahun 2018 sesuai harapan semua elemen masyarakat? Kita tunggu saja!    

Tags:

Berita Terkait