Sekelumit Kisah Gedung DPR
Edsus Akhir Tahun 2012:

Sekelumit Kisah Gedung DPR

Keterbatasan gedung kala itu mengharuskan persidangan anggota Dewan berpindah tempat.

RFQ
Bacaan 2 Menit

Rencananya, pembangunan proyek tersebut diperuntukan bagi penyelenggaraan  konferensi internasional di bidang politik untuk menggalang persatuan bangsa-bangsa. Proyek tersebut dinamakan Conference of the New Emerging Forces (Conefo). Sesuai ketentuan, proyek Conefo akan selesai pada 17 Agustus 1966. Bangunan yang dirancang oleh seorang arsitek bernama Wirjoatmo Dipl. Ing itu lengkap dengan maket. Dalam mengerjakan rancangan bangunan, Wirjoatmo dibantu oleh seorang teknisi muda Ir Sutami yang handal dalam menghitung konstruksi bangunan.

Pada penghujung 1966, pemerintah dan DPR membahas penggunaan gedung. Satu-satunya gedung yang mampu menampung persidangan wakil rakyat adalah Gedung Conefo yang sedang dalam tahap pembangunan. Soeharto meneruskan proses pembangunan.

Soeharto meluangkan waktu mengunjungi bangunan utama Conefo. Pada saat itu, stuktur dan bentuk bangunan telah nampak. Setelah menerima berbagai masukan, terbitlah surat No.79/U/Kep/11/1966 tertanggal 9 November 1966. Dalam surat itu, Presidium Kabinet Ampera memutuskan, pembangunan proyek Conefo terus berlanjut. Namun peruntukannya tidak lagi untuk calon penyelenggaraan Conefo, tetapi  diganti menjadi Gedung MPR/DPR.

Mengingat waktu yang pendek dan tidak berbanding lurus dengan besarnya bangunan, maka dibutuhkan sejumlah tenaga kontraktor dan pekerja dalam jumlah banyak. Sejumlah tenaga dosen dan mahasiswa didatangkan dari seluruh perguruan tinggi jurusan teknik. Bahkan puncak pekerjaan sempat dikerjakan sekitar 27.000 tenaga dari berbagai macam latar belakang pendidikan. Tak tanggung-tanggung, pekerjaan dibagi menjadi tiga shif dalam waktu 24 jam.

Untuk bisa menutupi kekurangan tenaga pengawasan teknis lapangan ikut dikerahkan tenaga dosen dan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada, dan Institut Teknik Surabaya (ITS). Ini pula yang disebut sebagai ‘armada semut’ lantaran pengerjaan bangunan secara bergotong royong dengan menggunakan prinsip padat karya.

Penyerahan gedung tahap pertama yang telah berganti nama menjadi MPR/DPR dilakukan Dirjen Cipta Karya kepada Sekjend DPR GR pada 15 Maret 1968. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan berbagai macam kebutuhan dan pelayanan, pembangunan lanjutan terus bertambah. Apalagi saat ini jumlah anggota dewan berjumlah 560 orang, sehingga penambahan bangunan bertambah.

Sejatinya, DPR menjadi rumah bagi seluruh rakyat Indonesia dalam menyampaikan aspirasinya. Berbeda dengan era kali pertama DPR dibentuk dengan menempati gedung yang terletak di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, siapapun dapat dengan mudah bertandang ke rumah rakyat. Beda dengan gedung DPR sekarang yang dibentengi pagar tinggi.

Tags: