Sekelumit Kisah Gedung DPR
Edsus Akhir Tahun 2012:

Sekelumit Kisah Gedung DPR

Keterbatasan gedung kala itu mengharuskan persidangan anggota Dewan berpindah tempat.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR yang terletak di tepi Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Foto: Sgp
Gedung DPR yang terletak di tepi Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Foto: Sgp

Siapa yang tak kenal Gedung DPR. Bangunan mewah pada zamannya, terletak di tepi Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Bangunan yang ditempati para wakil rakyat sudah sering mendapat sorotan dan menjadi pusat demontrasi.

Siapa sangka gedung yang digunakan untuk merumuskan, pembahasan dan mengesahkan sejumlah Undang-Undang (UU) itu ternyata bermula di samping Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Periode 1964 silam, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) yakni H Arudji Kartawinata  berencana meremajakan bangunan tempat bersidang mereka di samping Lapangan Banteng.

Sejak Februari 1965, DPR-GR pindahke Senayan, menempati gedung eks-Komando Urusan Pembangunan Asian Games (KUPAG). Bangunan diperluas agar dapat menampung dan memadai aktivitas para anggota DPR GRagar bisa menggelar sidang. Penyelenggaraan rapat pleno digelar di gedung basket. Begitupun penyelenggaraan sidang MPRS pada 1966 dan sidang istimewa MPRS periode 1967 menggunakan Gedung Istana Olahraga. Minimnya tempat dan bangunan yang digunakan tak menyurutkan semangat untuk menunjukan Indonesia adalah negara demokrasi di mata dunia.

Jumat (17/8/1945) pagi, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Kemerdekaan yang telah didambakan ratusan tahun itu akhirnya tiba. Itu artinya, titik awal pemerintahan negeri khatulistiwa ini dimulai. Hiruk-pikuk rakyat di seluruh penjuru nusantara berderu. Namun tidak disadari, kala itu bangsa Indonesia belum memiliki perangkat kelengkapan pemerintahan.

Selang sehari sejak proklamasi, Soekarno ditetapkan sebagai presiden, sedangkan M Hatta sebagai wakil presiden. Kabinet pertama menggunakan sistem presidensial. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan UUD 1945 sebagai konstitusi. Dalam konstitusi disebutkan beberapa alat kelengkapan negara terdiri MPR, Presiden, Dewan Pertimbangan Agung, Kementrian Negara, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Hanya lembaga kepresidenan dan kementrian yang dimiliki. Sebagai pemegang penuh kekuasaan, aspirasi rakyat perlu ditampung sehingga pemerintahan tetap berjalan. Karena itulah mandat rakyat belum dapat terealisasi sepanjang belum terdapat lembaga negara. Alhasil, dibentuklah lembaga baru bernama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Lembaga baru KNIP, bertugas membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan.

Anggota KNIP dilantik pada 29 Agustus 1945 di Gedung Schouburg –kini Gedung Kesenian Jakarta-. Kemudian, persidangan pertama digelar dipimpin Mr Kasman Singodimedjo. Karena keterbatasan tempat, sekretariat KNIP bertempat di Gedung Jawa Hookookai berdekatan dengan Lapangan Banteng. Mengingat gentingnya keadaan kala itu, pekerjaan KNIP dijalankan oleh Badan Pekerja yang kemudian disingkat menjadi BP KNIP. Anggota BP KNIP berjumlah 15 orang dengan ketua Sutan Sjahrir.

Pada sidang kedua pada 16-17 Oktober 1945,  sekretariat KNIP menggunakan bangunan di Jalan Cilacap –Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-. Belakangan, terjadi pergolakan perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer. Sutan Sjahrir ditunjuk menjadi perdana menteri. Secara bertahap dimulailah pembagian tugas  antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun terdapat kendala.

Lagi-lagi, persoalan keterbatasan tempat alias gedung. KNIP pun belum jua memiliki tempat permanen yang dapat digunakan untuk bersidang.  Sidang pun terpaksa berpindah tempat. Sidang ketiga pada 25-27 November 1945 menempati sebuah gedung CBZ di Jalan Pangeran Diponegoro –kini digunakan oleh SMA PSKD-. Sebannyak tiga kali menggelar persidangan, KNIP hanya berpindah tempat di dalam kota Jakarta.

Namun sidang selanjutnya berpindah ke luar kota, misalnya di Gedung Republik Indonesia, Solo pada persidangan keempat 28 Februari- 3 Maret 1946. Sedangkan kesekretariatan BP KNIP berpindah ke gedung bekas Hotel Van Laar di Jalan Kutoardjo –kini Jalan Jenderal Soedirman- Purworedjo. Sedangkan persidangan kelima digelar pada 25 Februari- 6 Maret 1947 di gedung bekas Sociteit Concordia Malang Jatim.

Singkat cerita, berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950, pemilihan umum untuk memilih  anggota parlemen dan anggota konstituante dapat digelar pada pertengahan 1955. Akibat terbatasnya gedung milik pemerintah, wakil rakyat mesti melakukan persidangan berpindah tempat dari satu kota ke kota lain. Pengalaman itu pula dialami  anggota DPR hasil Pemilu 1955. Pasalnya, para wakil rakyat itu mesti bersidangan di Jakarta, sementara tempat persidangan anggota kontituante terpaksa diselenggarakan di gedung bekas Sociteit Concordia di Bandung, Jawa Barat.

Seiring berjalannya waktu, politik kala itu mengalami perubahan. DPR hasil Pemilu 1955 dengan jumlah anggota 262 orang, akhirnya dibubarkan melalui Penetapan Presiden No.3/1969. Alasannya, DPR kala itu tak menyetujui APBN yang diajukan pemerintah. Sebagai gantinya, Soekarno menerbitkan Penetapan Presiden No.4/1960 pada 24 Juni 1960 dengan membentuk DPR GR diketuai H, Zainal Arifin. Selama beberapa tahun, DPR GR  yang anggotanya berjumlah 283 orang itu tetap menggunakan gedung Sociteit Concordia.

Bahkan Sidang Umum pertama MPRS tahun 1960, kedua pada 1963, dan ketiga pada 1965 tetap menggunakan Sociteit Concordia yang saat itu telah berganti nama menjadi Gedung Merdeka. Kendati bersidang di Bandung, toh sebagian besar anggota MPRS berdomisili di Jakarta. Atas dasar itulah dibentuk sekretariat cabang dengan mengambil Gedung  Stannia di bilangan Cik Ditiro.

Pada 8 Maret 1965, Presiden Soekarno menerbitkan surat Keputusan Presiden (Keppres) No.48/1965. Dalam Keppres itu, Soekarno menugaskan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT) Soeprajogi agar melaksanakan  pembangunan  proyek political venues di Jakarta. Pembangunan proyek tersebut ternyata bersebelahan dengan Gelanggang Olah Raga Senayan. Bertepatan dengan perayaan Dasawarsa Konfrensi Asia Afrika yang jatuh pada 19 April, dipancangkan tiang pertama pembangunan proyek political venues di Komplek Senayan.

Rencananya, pembangunan proyek tersebut diperuntukan bagi penyelenggaraan  konferensi internasional di bidang politik untuk menggalang persatuan bangsa-bangsa. Proyek tersebut dinamakan Conference of the New Emerging Forces (Conefo). Sesuai ketentuan, proyek Conefo akan selesai pada 17 Agustus 1966. Bangunan yang dirancang oleh seorang arsitek bernama Wirjoatmo Dipl. Ing itu lengkap dengan maket. Dalam mengerjakan rancangan bangunan, Wirjoatmo dibantu oleh seorang teknisi muda Ir Sutami yang handal dalam menghitung konstruksi bangunan.

Pada penghujung 1966, pemerintah dan DPR membahas penggunaan gedung. Satu-satunya gedung yang mampu menampung persidangan wakil rakyat adalah Gedung Conefo yang sedang dalam tahap pembangunan. Soeharto meneruskan proses pembangunan.

Soeharto meluangkan waktu mengunjungi bangunan utama Conefo. Pada saat itu, stuktur dan bentuk bangunan telah nampak. Setelah menerima berbagai masukan, terbitlah surat No.79/U/Kep/11/1966 tertanggal 9 November 1966. Dalam surat itu, Presidium Kabinet Ampera memutuskan, pembangunan proyek Conefo terus berlanjut. Namun peruntukannya tidak lagi untuk calon penyelenggaraan Conefo, tetapi  diganti menjadi Gedung MPR/DPR.

Mengingat waktu yang pendek dan tidak berbanding lurus dengan besarnya bangunan, maka dibutuhkan sejumlah tenaga kontraktor dan pekerja dalam jumlah banyak. Sejumlah tenaga dosen dan mahasiswa didatangkan dari seluruh perguruan tinggi jurusan teknik. Bahkan puncak pekerjaan sempat dikerjakan sekitar 27.000 tenaga dari berbagai macam latar belakang pendidikan. Tak tanggung-tanggung, pekerjaan dibagi menjadi tiga shif dalam waktu 24 jam.

Untuk bisa menutupi kekurangan tenaga pengawasan teknis lapangan ikut dikerahkan tenaga dosen dan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada, dan Institut Teknik Surabaya (ITS). Ini pula yang disebut sebagai ‘armada semut’ lantaran pengerjaan bangunan secara bergotong royong dengan menggunakan prinsip padat karya.

Penyerahan gedung tahap pertama yang telah berganti nama menjadi MPR/DPR dilakukan Dirjen Cipta Karya kepada Sekjend DPR GR pada 15 Maret 1968. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan berbagai macam kebutuhan dan pelayanan, pembangunan lanjutan terus bertambah. Apalagi saat ini jumlah anggota dewan berjumlah 560 orang, sehingga penambahan bangunan bertambah.

Sejatinya, DPR menjadi rumah bagi seluruh rakyat Indonesia dalam menyampaikan aspirasinya. Berbeda dengan era kali pertama DPR dibentuk dengan menempati gedung yang terletak di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, siapapun dapat dengan mudah bertandang ke rumah rakyat. Beda dengan gedung DPR sekarang yang dibentengi pagar tinggi.

Tags: