Sejumlah Usulan untuk Reformasi TNI
Berita

Sejumlah Usulan untuk Reformasi TNI

Pemerintah dan DPR harus melakukan evaluasi regulasi dan kebijakan keamanan yang bermasalah antara lain UU PSDN, UU Peradilan Militer, dan MoU TNI dengan kementerian dan instansi lain.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Memperingati hari jadi TNI ke-74, secara umum masyarakat menginginkan TNI yang kuat dan profesional. Salah satu konsideran UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI menyebut TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara mengacu nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, HAM, ketentuan hukum nasional dan internasional yang sudah diratifikasi dengan dukungan anggaran negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel.

 

Imparsial mencatat sejak 1998 reformasi TNI telah membuahkan hasil yang positif antara lain mencabut peran sosial-politik TNI (dwi fungsi) dan penghapusan bisnis TNI. Meski demikian masih ada agenda reformasi militer stagnan dan cenderung mengalami kemunduran.

 

Peneliti Imparsial Annisa Yudha mencatat sedikitnya ada 7 agenda reformasi militer yang harus diselesaikan pemerintah. Pertama, keterlibatan militer di ranah sipil semakin luas. Ini ditandai dengan banyaknya MoU antara TNI dengan kementerian dan instansi lainnya.

 

“Sedikitnya ada 30 MoU TNI dengan kementerian dan instansi lain telah dibentuk dalam kerangka pelaksanaan tugas perbantuan TNI (operasi militer selain perang). MoU ini bertentangan dengan Pasal 7 ayat (3) UU TNI,” kata Annisa dalam diskusi di Jakarta, Jumat (4/10/2019). Baca Juga: Kini, Ada Komando Operasi Khusus di Struktur Markas Besar TNI

 

Kedua, Annisa mencatat ada sejumlah regulasi dan kebijakan yang mengancam demokrasi dan HAM. Misalnya, UU tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) yang belum lama ini disahkan pemerintah dan DPR. Substansi UU PSDN dinilai tidak mengadopsi secara penuh prinsip HAM dalam pembentukan komponen cadangan. Beleid, ini berpotensi disalahgunakan untuk menguasai sumber daya alam termasuk yang dikelola oleh perseorangan dan swasta dan bertentangan dengan prinsip sentralisme anggaran.

 

Ketiga, sampai saat ini pemerintah dan DPR belum merevisi UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Menurut Annisa, ini jantung reformasi TNI, selama peradilan militer belum direvisi berarti reformasi TNI belum selesai. Reformasi peradilan militer merupakan mandat Pasal 65 ayat (2) UU TNI yang menyebut prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.

 

Keempat, restrukturisasi komando teritorial (koter) yang harusnya satu paket dengan pencabutan dwifungsi TNI. Restrukturisasi koter, menurut Annisa merupakan mandat UU TNI yang menyebut pergelaran koter tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan. Kelima, membangun transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan alutsista. Praktiknya, selama ini pengadaan alutsista menyimpang dari kebijakan pembangunan postur pertahanan dan sarat dugaan mark-up (penggelembungan harga).

 

Keenam, masih banyak kasus kekerasan yang dilakukan aparat TNI terhadap masyarakat sipil dan pembela HAM. Motif kekerasan ini beragam seperti persoalan pribadi, solidaritas terhadap korps yang keliru, sengketa lahan, dan penggusuran. Ketujuh, untuk mewujudkan profesionalisme, pemerintah dan DPR harus meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI.

 

Koordinator Peneliti Imparsial Ardi Manto berharap Komisi I DPR dapat melanjutkan reformasi militer yang belum tuntas. Paling penting untuk direformasi yakni restrukturisasi koter dan peradilan militer. Praktik peradilan militer selama ini tidak transparan, sehingga menjadi sarang impunitas dan penyimpangan. “Ada prajurit TNI yang dijatuhi hukuman, tapi bisa bebas dan menempati jabatan strategis,” kritiknya.

 

Peneliti senior Imparsial Anton Aliabbas berpendapat sedikitnya ada 2 isu penting dalam kebijakan bidang pertahanan pada era kepemimpinan Jokowi periode 2014-2019. Pertama, manajemen anggaran. Sejak 2014, ada peningkatan anggaran yang signifikan dari Rp86 triliun menjadi Rp108 triliun tahun ini, dan direncanakan tahun depan mencapai Rp127 triliun. Tapi peningkatan anggaran itu tidak dibarengi arah modernisasi alutsista yang jelas. Dari 3 jenis pembiayaan TNI, belanja modal termasuk pembelian alutsista menjadi prioritas terakhir setelah komponen rutin dan belanja barang.

 

Kedua, tentang manajemen personil. Anton mengingatkan ada ribuan perwira TNI yang nonjob. Karena itu, penting bagi Presiden Jokowi untuk melakukan pembaharuan manajemen anggaran dan personil TNI. Presiden Jokowi harus turun langsung karena dia yang menandatangani surat pengangkatan jabatan atau promosi perwira tinggi TNI. “Presiden Jokowi harus mendorong pembenahan ini,” usulnya.

 

Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan ada sejumlah agenda reformasi militer/TNI yang stagnan dan cenderung mundur. Misalnya, MoU TNI dengan lembaga lain berkontribusi memperluas peran militer di ranah sipil dan keamanan dalam negeri. Penempatan perwira TNI di kementerian dan instansi lainnya seperti di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bertentangan dengan UU TNI.

 

“Kenapa  reformasi militer/TNI stagnan dan mengalami kemunduran salah satunya karena lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dan DPR,” paparnya.

 

Guna membenahi persoalan itu, Gufron mengusulkan sedikitnya 8 hal. Pertama, pemerintah dan DPR harus melakukan evaluasi terhadap sejumlah regulasi dan kebijakan keamanan yang bermasalah seperti UU PSDN. Kedua, pemerintah dan DPR segera merevisi UU Peradilan Militer. Ketiga, pemerintah dan DPR segera membentuk UU tentang Tugas Perbantuan sebagai dasar hukum pelibatan militer dalam operasi militer selain perang.

 

Keempat, pemerintah dan DPR perlu meningkatkan kesejahteraan prajurit.Kelima, pemerintah dan DPR perlu melakukan modernisasi alutsista secara transparan dan akuntabel. Keenam, menyelesaikan semua kasus kekerasan melalui mekanisme peradilan yang bersih dan adil (fair trial). Ketujuh, DPR harus meningkatkan kualitas pengawasan yang efektif terhadap TNI demi penguatan profesionalisme TNI. Kedelapan, restrukturisasi koter sebagai bagian dari mandat UU TNI.

Tags:

Berita Terkait